Beda Pilkada, Beda Pilpres
oleh: Tony Rosyid,
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
10Berita, 2018, ada 171 pilkada sedang digelar. Utamanya di pulau Jawa. Jumlah pemilihnya 100 jutaan. Ada tiga propinsi di Jawa yang ikut Pilkada. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dilihat dari koalisi partai, acak Adut. Tak menunjukkan keterbelahan koalisi istana vs koalisi oposisi. Di Jateng, PKB berkoalisi dengan PKS, PAN dan Gerindra. Di Jatim, Gerindra dan PKS berkoalisi dengan PKB dan PDIP. Di Jabar, koalisi partai pendukung istana pecah. Ada tiga paslon.
Di Jabar, terjadi persaingan ketat antara pasangan Ridwan Kamil-Uu (diusung Nasdem, Hanura, PKB dan PPP) vs Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi (diusung Golkar dan Demokrat). Sama-sama partai koalisi pendukung Istana. PDIP punya calon sendiri. Sementara partai oposisi, PKS, PAN dan Gerindra kompak, usung Sudrajat-Saikhu.
SBY meradang ketika rumah dinas mantan Wagub Jabar, Dedy Mizwar, digeledah. Bahkan menuduh "oknum" TNI, Polri dan BIN tidak netral. Tantang BIN untuk ciduk SBY kalau gak terima. Kalau begini, berarti sudah cukup serius. Seolah benar-benar ada operasi khusus untuk mengalahkan pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Ridwan Kamil-Uu adalah calon yang dibesut istana. Jokowi dicurigai ikut memberi dukungan kepada pasangan ini. Sementara, Dedy Mizwar sudah ada MoU dengan Demokrat. Diantara isi MoU itu, Dedy Mizwar akan mendukung siapapun capres-cawapres yang didukung Demokrat.
Jabar punya jumlah pemilih paling besar. Lebih dar 30 juta. Siapapun bakal capres-cawapres, punya kepentingan terhadap Jabar. Jokowi 3-5 kali setiap bulan "sidak" ke Jabar. Sidak atau pengkondisian? Beda tipis.
Jika bukan calon dari istana yang menang, Jabar bisa tak terkendali. Ikhtiar dan ritual kunjungan Jokowi ke Jabar akan dianggap sia-sia. Sementara SBY berupaya mengambil Jabar dengan memenangkan pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Di Jawa, calon istana berpeluang menang. Di Jabar, elektabilitas Ridwan Kamil-Uu paling tinggi. Meski Dedy-Dedi dan pasangan Sudrajat-Saikhu berupaya mengejar. Di Jateng, Ganjar-Yasin yang dibesut istana mengungguli Sudirman Said-Fauziyah. Di Jatim, Khofifah-Emil Dardak, calon yang diidamkan Jokowi, melampui suara Gus Ipul-Puti.
Apakah jika paslon istana menang di Pilkada, terutama di Jawa, otomatis akan melanggengkan Jokowi di pilpres 2019? Tidak. Pertama, koalisi istana tidak tunggal. Terbelah oleh kepentingan koalisi. Silang koalisi terjadi di beberapa wilayah. Partai pemerintah dan oposisi campur aduk. Kedua, calon tidak merepresentasikan kepentingan istana maupun lawan istana.
Pilkada, bagi para pemilih, lebih merepresentasikan figur. Bukan representasi istana atau partai. Kalau toh ada, tidak terlalu dominan. Prosentasenya tidak terlalu signifikan. Artinya, hasil pilkada 2018 tidak terlalu berpengaruh pada hasil pilpres 2019. Pemilih pilkada sangat cair, tidak dikotomis. Beda dengan pemilih di pilpres, pendukung istana dan oposisi terbelah. Kelompok "Ganti Presiden" berhadap-hadapan, tidak saja secara politik, tapi juga secara emosional dengan kelompok pendukung Jokowi. Siapapun pemenang pilkada, pilpres punya variabel yang berbeda.
Kecuali di Jabar. Sedikit agak beda. Sebab, pertama, partai oposisi punya pasangan sendiri. Kedua, heroisme 212 berasal dari Jabar. Ketiga, Jabar paling besar jumlah pemilihnya. Jika pasangan oposisi menang, benar-benar bisa jadi sunami buat Jokowi di pilpres 2019. Oposisi kalah, tak terlalu berpengaruh. Sebab, partai koalisi istana pecah.
Kesimpulannya, pilkada Beda dengan pilpres. Pemilih walikota, bupati, terutama gubernur di tiga wilayah Jawa, Sumut dan Sulsel, tidak terafiliasi secara otomatis dengan capres dan cawapres di 2019. Seandainya pasangan yang dicalonkan istana menang di tiga wilayah Jawa, tak otomatis mereka akan pilih Jokowi. Pendukung Khofifah, bukan identik pendukung Jokowi. Pendukung Gus Ipul, bukan juga pendukung lawan Jokowi. Itupun jika Jokowi dapat tiket dan berkesempatan maju di pilpres 2019. Sebab, jika PDIP dan Golkar tarik diri, Jokowi tak jadi nyapres. Bisa terjadi? Sangat bisa!
Pendukung Gus Yasin di Jawa Tengah, para ulama dan santri K.H. Maemoen Zubair, tidak bisa diidentifikasi sebagai pendukung Jokowi. Banyak dari mereka ikut demo 212 dan tidak simpatik ke Jokowi. Begitu juga pendukung Fauziyah dari PKB, belum tentu tidak dukung Jokowi.
Di Jabar lebih susah lagi. Cagub-cawagubnya ada empat. Punya agenda setting masing-masing. Kalau toh pasangan Ridwan Kamil-Uu menang, suaranya tidak akan sampai 50%. Itupun belum tentu dukung Jokowi. So? Hasil pilkada, bukanlah gambaran dari pilpres. (*)
Sumber : Indopos