OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 08 Juni 2018

KEJI! Kamp ‘Cuci Otak’ Penyiksa Muslim Pemerintah China [3]

KEJI! Kamp ‘Cuci Otak’ Penyiksa Muslim Pemerintah China [3]

10Berita, Instruktur dan para tahanan lain kamp re-edukasi mengisahkan cerita yang sama.

Pada pertengahan 2017, seorang etsnis Uighur, mantan reporter untuk TV Xinjiang dikenal sebagai Eldost, direkrut untuk mengajarkan sejarah dan budaya China di sebuah kamp indoktrinasi karena dia sangat fasih berbahasa Mandarin. Dia tidak punya pilihan lain.

Sistem re-edukasi, kata Eldost, menggolongkan para tahanan menjadi tiga tingkat keamanan dan durasi hukuman.

Kelompok pertama biasanya terdiri dari para petani minoritas yang tidak melakukan “kejahatan” nyata selain tidak berbicara bahasa Mandarin. Kelompok kedua terdiri dari orang-orang yang memiliki konten keagamaan atau mereka sebut “materi separatis” di rumah atau di smartphone mereka, seperti ceramah intelektual Uighur Ilham Tohti.

Kelompok terakhir terdiri dari mereka yang telah belajar ilmu agama di luar negeri dan kembali, atau dianggap berhubungan dengan elemen asing. Para tahanan yang digolongkan kelompok terakhir seringkali dijatuhi hukuman 10 hingga 15 tahun, kata Eldost.

Ketika dia mengajar di kamp re-edukasi, Eldost pernah melihat 20 pelajar dibawa ke lapangan. Dua baris penjaga telah menunggu mereka dan memukuli mereka tidak lama setelah mereka keluar dari mobil polisi. Dia kemudian mendengar bahwa para tahanan itu merupakan pendatang baru yang telah mempelajari ilmu agama di Timur Tengah.

Muslim Uighur yang tertindas

Eldost mengatakan instruksi ini bertujuan untuk menunjukkan betapa terbelakangnya budaya Uighur dan betapa represifnya fundamentalis Islam dibandingkan Partai Komunis yang progresif. Pengakuan para tahanan akan keterbelakangan mereka membantu mendorong poin itu.

“Para tahanan diperintahkan untuk mengulang pengakuan tersebut hingga titik, di mana, ketika mereka akhirnya dibebaskan, mereka meyakini bahwa mereka berutang banyak pada negara, bahwa mereka tidak pernah dapat membayar kembali partai,” kata Eldost, yang dapat meninggalkan China pada Agustus setelah membayar uang suap.

Orang-orang Menangis Setiap Malam

Eldost mengatakan dia berusaha dengan hal-hal kecil untuk membantu para tahanannya. Ditugaskan mengajarkan Tiga Karakter Klasik,sebuah standar Konghucu yang diajarkan secara luas di sekolah dasar, dia akan membuat perangkat memonik untuk membantu murid-muridnya – termasuk para orang tua atau petani Uighur buta huruf yang hampir tidak mengetahui bahasa mereka sendiri – melafalkan beberapa kalimat.

Dia juga menyarankan para pelajar untuk menghentikan kebiasaan mereka mengatakan “segala puji bagi Allah” dalam bahasa Arab atau Uighur karena instruktur lain akan menghukum mereka karena itu.

Setiap kali dia tidur di ruangan dengan 80 lainnya, dia mengisahkan, hal terakhir yang dia dengar adalah suara kesedihan.

“Saya mendengar orang-orang menangis setiap malam,” katanya. “Itu adalah pengalaman paling menyedihkan dalam hidup saya.”

Mantan tahanan lain, seorang etnis Uighur dari Hotan di Xinjiang selatan, mengatakan pusat indoktrinasinya yang baru dibangun hanya memiliki 90 orang di dua kelas pada tahun 2015. Di sana, seorang instruktur pemerintah mengatakan bahwa wanita Uighur dulunya tidak menggenakan pakaian dalam, mengepang rambut mereka menandakan ketersediaan seksual mereka, dan memiliki lusinan pasangan seksual.

“Itu membuat saya sangat marah,” kata mantan tahanan itu. “Penggambaran wanita Uighur semacam itu membuat saya terhina. Saya masih teringat cerita ini setiap kali saya memikirkan tentang kamp, Saya merasa sebuah pisau menusuk dada saya.”

Kayrat Samarkan, seorang Kazakh China dari Astana yang ditahan ketika melakukan urusan di kantor polisi Xinjiang utara pada Desember, dikirim ke kamp di Karamagay di Xinjiang utara dengan 5.700 murid.

Mereka yang tidak patuh, terlambat ke kelas atau terlibat pertengkaran, selama 12 jam akan diberi pakaian dengan bahan terbuat dari besi untuk membatasi gerakan mereka, katanya. Mereka yang masih tidak patuh akan dikunci di tiger chair selama 24 jam. Bentuk hukuman lainnya, katanya, ialah para instruktur akan memasukkan dengan paksa kepala para tahanan ke dalam bak es dan air.

Baca: Bulan Ramadhan Tidak Lewat di Turkistan Timur


Setelah tiga bulan, Samarkan tidak kuat lagi menerima pelajaran, jadi dia membenturkan kepalanya ke tembok mencoba untuk bunuh diri. Dia hanya jatuh pingsan.

“Ketika Saya terbangun, staf kamp mengancam saya, dan mengatakan jika saya melakukan itu lagi mereka akan memperpanjang hukumanku hingga 7 tahun,” katanya.

“Bunuh aku atau kirim aku kembali ke penjara.”

Setelah 20 hari, Bekali juga sempat memikirkan untuk bunuh diri. Beberapa hari kemudian, karena sikapnya yang keras dan menolak untuk berbahasa Mandarin, Bekali tidak diperbolehkan pergi ke lapangan. Sebaliknya, dia dikirim ke tingkat pengelolaan yang lebih tinggi, di mana dia menghabiskan 24 jam sehari di dalam sebuah ruangan dengan 8 orang lainnya.

Satu minggu kemudian, dia mendapat tugas pertamanya di sel isolasi. Saat itu dia melihat seorang pejabat peradilan lokal berjalan ke bangunan itu untuk inspeksi dan berteriak dengan sangat keras. Dia berpikir bahkan di bekas pusat penahanan sebelumnya, dengan kekerasan yang dia alami, akan lebih baik dari di tempat itu.

“Bawa aku kembali dan bunuh aku, atau kembalikan aku ke penjara,” teriaknya. “Saya tidak bisa lagi berada di sini.”

Dia lagi-lagi di bawa ke sel isolasi. Itu berlangsung selama 24 jam, berakhir pada sore 24 November.

Itulah ketika Bekali dibebaskan, secara tiba-tiba sama seperti penahanannya delapan bulan sebelumnya.

Seorang polisi Baijiantan yang selalu bersikap baik pada Bekali selama interogasi muncul dan membawanya keluar dari fasilitas itu.

“Kamu terlalu keras kepala, namun apa yang departemen lakukan tidaklah adil,” katanya pada Bekali dalam perjalanan mengantarnya ke Karamay.

Bekali akhirnya dibebaskan.

Baca: Muslim China Bertahan Hidup


Kebebasan, tapi hanya untuk sedikit orang

Pagi selanjutnya, pada Sabtu, kepolisian membuka kantor imigrasi mereka bagi Bekali untuk mengambil sesuatu yang tidak biasa, sebuah visa China 14 hari. Visa miliknya telah lama mati. Bekali meninggalkan China pada 4 Desember.

Mendesak kompensasi dari pemerintah China adalah mustahil. Namun Bekali menyimpan sebuah map plastik di rumahnya sebagai bukti yang mungkin berguna suatu hari nanti: pasposnya dengan stempel dan visa, catatan perjalanan dan dokumen bertanggal polisi China yang ditulis tangan dan dicetak dengan segel merah.

Dokumen itu adalah hal terdekat yang dia punya terhadap pengakuan resmi yang dia alami selama delapan bulan. Dikatakan dia ditahan karena diduga membahayakan keamanan nasional; vonis terakhir menyatakan dia dibebaskan tanpa dakwaan.

Pada awalnya, Bekali tidak ingin APmempublikasikan kesaksiannya karena takut saudara perempuan dan ibunya di China akan ditahan dan dikirim ke kamp re-edukasi.

Namun pada 10 Maret, di China, polisi menahan saudara perempuannya, Adila Bekali. Seminggu kemudian, pada 19 Maret, mereka menahan ibunya, Amina Sadik. Dan pada 24 April, ayahnya, Ebrayem.

Bekali berubah pikiran dan mengatakan dia ingin menceritakan kisahnya, apapun konsekuensinya.

“Semua sudah sampai sejauh ini,” katanya. “Saya tidak punya apa-apa lagi,” ujarnya kepada AP.*/Nashirul Haq AR

Sumber :Eramuslim