OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 17 Juni 2018

Siap-siap 4 Tahun Puasa dan Lebaran Tidak Sama, Dimulai Idul Adha

Siap-siap 4 Tahun Puasa dan Lebaran Tidak Sama, Dimulai Idul Adha

Ilustrasi

10Berita , JAKARTA – Pemerintah boleh bersyukur penetapan awal puasa dan lebaran tahun 2018 bersamaan. Tetapi jika penyatuan kalender Islam atau kalender hijriyah global tidak segera ditetapkan, kekompakan itu hanya bertahan sampai 2021.

Perbedaan penetapan awal puasa dan lebaran diprediksi akan mulai terjadi pada tahun 2022 sampai 2025. Dimulai pada penetapan Idul Adha 2022. Saat itu, posisi hilal yakni 1,9 derajat di atas ufuk.

Selanjutnya pada 2023 terjadi perbedaan penetapan lebaran Idul Fitri sekaligus Idul Adha. Sebab pada saat lebaran tinggi hilal 1,7 derajat dan saat penetapan Idul Adha tinggi hilal 0,9 derajat.

Lantas pada 2024 bakal terjadi perbedaan penetapan awal Ramadan karena tinggi hilal hanya 0,8 derajat di atas ufuk. Berikutnya pada 2025 kembali terjadi perbedaan pada penetapan Idul Adha karena tinggi hilal hanya 1,4 derajat.

Potensi perbedaan ini bisa dicegah jika pemerintah menetapkan kalender hijriyah dengan kriteria tinggi hilal minimal tiga derajat.

Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Muhammadiyah Amin mengatakan, selama ini mereka sudah menjalankan berbagai upaya untuk penyatuan kalender hijriyah global.

“Termasuk 2017 telah melakukan seminar internasional tentang fiqih falakiyah dengan menghadirkan peserta dari seluruh dunia,” kata Amin, Jumat (15/6/2018).

Amin mejelaskan ketika sudah ada penyatuan kalender hijriyah nanti, bisa jadi kegiatan sidang isbat seperti selama ini, tidak ada lagi.

Dia menjelaskan selama ini Kemenag menjalankan sidang Isbat lantar menjalankan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 tahun 2004.

Dia mengatakan bisa jadi setelah adanya kalender (hijriyah, Red) global, MUI akan mengeluarkan fatwa baru. Dimana isinya supaya merujuk kepada kalender global tersebut.

Ketika nanti pemerintah sudah menetapkan adanya penyatuan kalender hijriyah atau kalender hijriyah global, maka seluruh ormas Islam harus mengikutinya.

Ormas yang selama ini mengacu pada kriteria wujudul hilal (pokoknya hilal di atas nol derajat) seperti Muhammadiyah harus menerapkan kalender hijriyah global.

Kemudian ormas yang selama ini menggunakan rukyat atau pengamatan hilal, seperti Nahdlatul Ulama, juga harus mengacu pada penyatuan kalender hijriyah.

“(Sampai sekarang, Red) masih dilakukan pembahasan intensif dengan ormas,” jelas Amin. Dia menuturkan setelah lebaran ini, pembahasan tentang penyatuan kalender hijriyah akan dibahas kembali.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin pada seminar internasional Falah tahun lalu, telah dirusumkan Rekomendasi Jakarta 2017.

Isinya di antaranya adalah kriteria masuknya awal bulan hijriyah adalah tinggi hilal atau bulan minimal 3 derajat.

“Terkait adanya Rekomendasi Jakarta 2017 itu, Lapan sudah menyampaikan saran,” katanya.

Saran dari Lapan itu adalah supaya Rekomendasi Jakarta 2017 menjadi pedoman Menteri Agama Indonesia dalam koordinasi di forum Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dan OKI agar terwujud kalender Islam global yang mempersatuan umat.

Lapan juga menyarankan supaya Rekomendasi Jakarta 2017 menjadi pedoman pemerintah dan seluruh ormas supaya ada kalender hijriyah yang mapan dan jadi pedoman umat.

Sumber : pojok satu