OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 21 Juli 2018

Membedah Sikap Persaudaraan Alumni 212

Membedah Sikap Persaudaraan Alumni 212

10Berita – Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) beberapa kali mengeluarkan pernyataan politiknya soal tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam aksi 212 pada 2017 lalu. Di antaranya, soal keputusan politik Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) dan pengacara Habib Rizieq, Kapitra Ampera. Di mana, TGB menyatakan mendukung Jokowi dua periode, sedangkan Kapitra Ampera didaftarkan sebagai caleg dari PDIP.

Saat aksi 212 lalu, TGB secara pribadi ikut turun langsung ke lapangan melakukan aksi yang menuntut keadilan atas pernyataan mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terkait penistaan ayat dalam Alquran. Sedangkan, Kapitra Ampera menjadi pengacara Habib Rizieq dan pernah bergabung dengan Presidium 212 sebelum namanya berubah menjadi PA 212.

Namun, ketika tiga pekan lalu TGB mengeluarkan pernyataan mendukung Jokowi dua periode, PA 212 menyatakan mengeluarkan nama TGB dari daftar capres yang direkomendasikan PA 212. Sedangkan Kapitra Ampera, begitu diketahui namanya didaftarkan sebagai caleg PDIP, langsung dituding sebagai pengkhianat oleh PA 212.

Bagaimana sebenarnya sikap politik PA 212. Berdasarkan latar belakangnya, aksi 212 adalah gerakan untuk menuntut keadilan atas pernyataan Ahok. Bukan gerakan untuk ‘memusuhi’ Jokowi ataupun PDIP.

Menanggapi hal tersebut, PA 212 menegaskan tetap menghormati hak politik setiap warga negara. Namun, perjuangan yang selama ini dilakukan PA 212 sudah jelas, yakni tidak mengizinkan bergabung dengan parpol pendukung penista agama.

“Perjuangan kami jelas, arahan imam besar (Habib Rizieq) sebagai pembina PA 212 (yaitu) tidak mengizinkan siapa pun di bawah binaan beliau, baik di GNPF ataupun di FPI, untuk bergabung dengan partai penista agama,” ungkapnya.

Habib Rizieq, papar Slamet, bukan hanya melarang siapa pun di bawah binaannya bergabung ke partai pendukung penista agama, tapi juga partai pendukung revisi UU Ormas yang diawali dengan terbitnya Perppu Ormas. Dan, partai yang terlibat dalam kriminalisasi ulama.

“Kita berjuang menenggelamkan ini semua sehingga ketika Pak Kapitra bergabung dengan partai itu, secara otomatis kita tidak izinkan dan tidak akan mendukung. Kita hormati tapi tak mendukung, karena enggak rasional dan sesuai dengan perjuangan kami,” ungkapnya.

Soal status Kapitra, Slamet menyatakan, Kapitra Ampera sudah tidak memegang lagi jabatan apa pun setelah Presidium Alumni 212 berubah nama menjadi PA 212 melalui musyawarah nasional di Cisarua, Bogor, Januari lalu. Saat masih presidium, Kapitra punya posisi di dewan penasihat.

“Sejak itu Pak Kapitra sudah tidak menjadi salah satu penasihat di PA 212. Jadi, bukan sejak sekarang. Itu sudah lama. Tapi, silaturahim memang masih terbangun. Jadi, secara formal Kapitra sudah tidak menjabat apa pun setelah munas itu,” jelas Slamet kepada Republika.co.id, Jumat (20/7).

Lagi pula, Slamet melanjutkan, selama enam bulan terakhir, Kapitra selaku advokat yang selama ini membantu Habib Rizieq Shihab menyelesaikan kasusnya, pun sudah tidak aktif lagi. “Jadi, yang kita dengar begitu,” tutur dia.

Sementara, Kapitra Ampera tidak terima bila disebut berpindah haluan karena setuju menjadi calon anggota legislatif dari PDIP. Ia menegaskan, akan tetap memiliki tujuan yang sama, yakni membela kehormatan agama Islam dan menyerap aspirasi umat Islam dalam kondisi apa pun dan di manapun.

“Kalau agama saya terganggu, hari ini dilantik sore dipecat saya siap,” ujar Kapitra kepada wartawan, Rabu (18/7).

Ia menilai, dengan menjadi caleg atau anggota DPR dari PDIP bukan berarti menjadikannya seorang kafir, murtad, dan munafik. Pandangan soal PDIP yang anti- Islam, menurutnya, harus dikoreksi oleh masyarakat. Termasuk menjustifikasi seolah PDIP anti-Islam dan tidak menyuarakan aspirasi umat Islam.

“Jangan cepat nge-judge seseorang, berarti kalau saya masuk cebong dong, gak boleh ke masjid dong, ngawur aja,” katanya.

Tuduhan ini, menurut Kapitra, salah besar karena masih banyak umat Islam yang bergabung dalam struktur kepengurusan di PDIP dan banyak umat Islam yang juga memilih PDIP. Ia juga meminta masyarakat melihat secara lebih luas karena banyak parpol pendukung Aksi Bela Islam yang berkoalisi dengan PDIP di pilkada serentak. Belum lagi tak adanya parpol Islam yang mengusung Habib Rizieq Shihab sebagai calon presiden.

Karena itu, ia kembali menegaskan pencalonannya sebagai anggota legislatif dari PDIP merupakan pilihan pribadi yang dijamin oleh konstitusi. “Yang penting bagi saya bagaimana menjadi jembatan kebaikan, itu gol saya. Bagaimana bisa menjaga agama saya sehingga tidak seenaknya orang saling caci maki dan seenaknya negara dipecahkan karena perbedaan persepsi. Ini yang terjadi selama ini,” katanya menjelaskan.

Sedangkan, TGB pernah menjelaskan soal dukungannya kepada Jokowi. Menurut TGB, dukungannya tersebut dilandaskan berdasarkan sejumlah pertimbangan.

“Semata karena pertimbangan maslahat bangsa, umat, dan akal sehat agar pembangunan yang tengah berjalan di seluruh penjuru bisa dituntaskan dengan maksimal sesuai hajat masyarakat,” ujar TGB kepada Republika.co.id, Kamis (5/7).

TGB yang sudah dua periode menjabat sebagai gubernur NTB sejak 2008 menilai, proses pembangunan membutuhkan waktu yang tidak singkat. “Pengalaman saya di NTB, tidak cukup satu periode untuk menuntaskan tugas-tugas besar membangun daerah, apalagi membangun Indonesia yang sangat luas dan kompleks ini,” ungkap TGB. (rol)

Sumber : Eramuslim