OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 11 Juli 2018

MIRIS, Usulan BNPT Awasi Masjid Tiru Thailand, dimana Masjid Diawasi Tentara

MIRIS, Usulan BNPT Awasi Masjid Tiru Thailand, dimana Masjid Diawasi Tentara

"Intinya, tidak semua penelitian adalah kegiatan ilmiah yang menjelaskan fakta di lapangan. Tapi sering juga dilakukan untuk memilih fakta yang didasari oleh ideologi yang tidak ilmiah."

Peneliti senior INSISTS Dr Henri Shalahuddin.

10Berita – Hasil penelitian Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menyebut bahwa 41 dari 100 masjid di lingkungan pemerintahan baik di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga negara, maupun kementerian terindikasi telah disusupi paham radikal, sebenarnya bukanlah berita baru yang menghebohkan.

Demikian penjelasan Peneliti Senior INSISTS Dr Henri Shalahuddin MIRKH menyikapi pernyataan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) soal hasil penelitian tersebut yang dirilis baru-baru ini.

Dr Henri menjelaskan, jauh sebelumnya, pada Mei 2003, jurnal Relief (vol. 1. no. 2), juga telah meneliti (baca: memata-matai) khutbah Jumat di sepuluh masjid.

“Kesimpulan (penelitian)nya, bahwa di masjid-masjid itu para khatib selalu mengajarkan hanya Islam agama yang benar. Mereka tidak mau meyakini agama lain juga memiliki kebenaran yang sama. Di kover belakang jurnal ini juga terpampang pernyataan yang provokatif: “…Kenapa kita ribut menyalahkan orang ateis bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal Tuhan sendiri ateis. Ia tidak ber-Tuhan”,” ungkap Henri kepada hidayatullah.com Jakarta saat dimintai tanggapannya, Selasa (10/07/2018).

Baca juga: Soal Hasil Penelitian, Dr Henri: Benarkah Radikalisme Masuk Masjid?


Meskipun kata dia tidak dinafikan adanya pemahaman radikal di kalangan sebagian umat Islam, namun sangat disayangkan jika tuduhan radikalisme hanya diarahkan pada masjid dan mengabaikan tempat peribadatan lainnya.

“Ini merupakan langkah kemunduran bagi kehidupan sebuah bangsa yang berketuhanan,” imbuhnya.

Apalagi, lanjut Henri, sebagai solusinya Ketua DPR Bamsoet meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BUMN, lembaga negara, dan seluruh kementerian di Indonesia untuk meningkatkan pengawasan di dalam rumah ibadah di lingkungannya dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Bhinneka Tunggal Ika.

“Usulan agar BNPT mengawasi tempat ibadah (dalam hal ini masjid) oleh Ketua DPR ini mirip yang terjadi di Thailand, dimana beberapa masjid diawasi tentara, dan jika ini diterapkan di Indonesia tentunya sangat disayangkan.

Karena di samping mendorong kebangkitan rezim represif terhadap umat Islam, hal ini juga akan memicu kesalahpahaman bahwa masjid adalah sarang tumbuhnya terorisme, anti nasionalisme, dan anti kebinekaan,” ungkapnya.

Padahal, jelas Henri, fakta sejarahnya sejak dulu orang Islam cinta keutuhan NKRI. Ini terbukti dari mosi integral NKRI yang diusulkan oleh tokoh yang tumbuh besar dari masjid pada 3 April 1950.

“Nasionalisme dan kebinekaan tidak bisa dimaknai sebagai netral agama, apalagi menjauhi agama. Bahkan bagi yang phobiaIslam, menuduh kemunduran Indonesia dan maraknya korupsi disebabkan karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal sama-sama diketahui bahwa ajaran Islam hampir tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kebijakan publik dan pencegahan korupsi,” jelasnya.

Ia mengatakan, umat Islam dan simbol-simbol keislaman sudah terlalu sering dijadikan komoditas politik, apalagi tahun ini adalah tahun politik. Suara umat seakan-akan tidak boleh terkonsentrasi pada satu kekuatan politik. Strategi dengan menggunakan stigmatisasi radikal sudah sejak lama dipraktikkan oleh penjajah Belanda. Menurut Alwi Shahab, lanjutnya, Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis.

Tentunya perilaku penguasa Belanda sangat tidak layak dipertahankan bagi siapa pun yang memimpin negeri ini. Apalagi tanpa menjelaskan lebih lanjut maksud dari terminologi “radikal” dan “radikalisme”, serta penyematannya pada masjid. “Intinya, tidak semua penelitian adalah kegiatan ilmiah yang menjelaskan fakta di lapangan. Tapi sering juga dilakukan untuk memilih fakta yang didasari oleh ideologi yang tidak ilmiah.”

“Akhirul kalam, kita sepakat bahwa radikalisme yang menafikan keberadaan umat beragama lain perlu dihentikan, tapi jangan gara-gara radikalisme, peran dan gerak agama dibatasi, diawasi dan di-bully. Jangan karena kaki Mbappe terkilir patah, lalu sepakbola dilarang di negeri ini. Apa kata dunia?!” pungkasnya.*

Rep: SKR

Editor: Muhammad Abdus Syakur

Sumber : Hidayatullah.com