OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 17 Juli 2018

The Power of Ulama

The Power of Ulama



Oleh:

Aulia Fiddien*

ALHAMDULILLAH, Multaqo atau Pertemuan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa V pada awal Juli 2018 ini telah berhasil dilaksanakan. Acara yang menghadirkan 400 ulama ini juga dihadiri Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selain itu hadir pula sejumlah tokoh Islam terkenal seperti KH Ma’ruf Amin, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, dan lainnya.

Di malam puncak acara Pertemuan Ulama, para peserta menanti suatu momen yang ditunggu-tunggu. Para ustadz masyhur yang selama ini memenuhi ruang-ruang di media sosial, yakni Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat pada malam itu duduk pada satu meja. Mereka bergantian berceramah di hadapan para ulama dan syeikh dari berbagai negara, dan dengan intensif berbahasa Arab.

Dengan dimoderatori Ustadz Zaitun Rasmin, Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) diberi giliran pertama dan berbicara menyinggung soal persatuan dan lemahnya kondisi umat Islam saat ini dalam politik, ekonomi, dan bidang strategis lainnya. Selanjutnya, Ustadz Abdul Somad (UAS) mengawali ceramahnya dengan memperkenalkan diri kepada para syeikh mengenai latar belakang pendidikan dan asal-usulnya.

Dalam ceramahnya, UAS membawa masalah perbedaan madzhab fikih dengan pembawaan yang ringan. Dia bahkan terkadang menyelipkan humor yang tak jarang membuat para peserta dan para ulama yang lengkap dengan gamis dan kefiyyehnya itu tak mampu menahan tawa. “Persis, NU, Muhammadiyah semuanya adalah saudara kami. Perbedaan-perbedaan yang ada hanyalah bersifat furu’iyah (cabang) bukan ushuliyah (landasan atau dasar-dasar agama),” ucap UAS.

Sementara Ustadz Adi Hidayat (UAH), dengan gaya bahasa yang puitis, yang didukung dengan penyebutan ayat-ayat al-Qur’an yang dikontekstualisasikan dengan sejarah Islam di Indonesia berkali-kali membuat para peserta berdecak kagum. Seakan dia ingin berpesan, bahwa datangnya rahmat Allah ke Indonesia tidak dapat dilepaskan begitu saja dari peran para ulama terdahulu yang telah menyebarkan agama Islam ke berbagai penjuru Tanah Air.

Acara kemudian diakhiri dengan diskusi antara peserta dari berbagai negara mengenai materi yang disampaikan ketiga ustadz tersebut. Tampak Ustadz Felix Siauw dan artis Arie Untung juga hadir dan tampak menikmati suasana acara yang berjalan dengan khidmat. (www.hidayatullah.com)

Ulama Dalam “Jebakan”

Banyak pihak berharap, pertemuan ulama ini dapat menjadi wasilah persatuan umat di tengah-tengah kondisi bangsa yang saat ini mengarah pada perpecahan dan kerusakan moral yang parah. Seperti yang disampaikan Prof. Dr. Didin Hafidhuddin yang menyampaikan pentingnya persatuan umat Islam. “Kita semua terutama para ulama harus menghindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan, misalnya ashobiyah (fanatik kelompok). Tidak boleh ada ashobiyah di kalangan ulama. Nabi mengatakan, bukan umat-Ku orang yang mengajak kepada kesukuan, berperang karena kesukuan atau kebangsaan. Jadi kita ini umat yang satu, tidak boleh berpecah,” ujarnya.

Tidak heran jika pertemuan ulama menjadi harapan umat. Sebab ulama selama ini memang dikenal sebagai pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari.

Posisi ulama dalam kehidupan sehari-hari sangat urgen sekali. Saking urgennya, sebagian masyarakat berdalih bahwa segala sesuatu harus didasarkan pada fatwa atau hasil keputusan para ulama. Keputusan ulama itu dianggap sebagai keputusan yang bijak dan berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga layak dijadikan sebagai landasan dalam mengerjakan segala sesuatu.


Namun sayangnya, kini ulama adalah mahluk langka. Dari yang langka ini, lebih banyak yang lemah dan tidak mampu memimpin umat keluar dari keterpurukannya. Bahkan mereka menjadi bagian dari sistem yang menindas umat (pragmatisme). Hal ini nampak dari realita umat yang makin merosot agama dan moralitasnya.

Faktor-faktor apakah yang membuat ulama menjadi lemah? Secara umum ada tiga “jebakan” untuk memperlemah ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri. Pemikiran yang dimaksud adalah sekulerisasi secara halus. Pahit untuk diakui, ulama kita banyak yang canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam.

Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, dll. Mereka juga hanya peka pada gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Namun, mereka canggung ketika membahas pengaturan sumber daya alam menurut Islam atau mengatasi krisis ekonomi sesuai syariah. Seolah-olah Islam tidak mempunyai solusi lengkap.

Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Jebakan ini dapat memaksa ulama yang semula kuat karena ikhlas, menjadi lemah karena bias. Ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan masyarakat awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama melakukan hal-hal yang diopinikan negatif dikalangan masyarakat (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa “ulama juga manusia”.

Ketiga: jebakan sistem. Sejarah terus berulang. Para penguasa korup agen penjajah zaman manapun selalu melihat para ulama sebagai penghalang tujuan mereka. Karenanya, penguasa semacam ini akan berupaya melemahkan para ulama. Cara yang mereka tempuh antara lain, pertama: ulama dimarjinalkan dari kancah politik. Dihembuskan opini bahwa Islam itu suci, politik itu kotor. Sehingga tidak layak seorang ulama berkecimpung di dunia politik. Ini tidak terlepas dari strategi penjajah yang berusaha menjauhkan ulama dalam mengurusi umat.

Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekedar bertahan hidup dalam sistem sekuler. Islam hanya untuk ranah pribadi. Akibatnya, ulama akhirnya diam ketika penguasa mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan publik. Seperti kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan pajak yang makin menindas rakyat. Dakwah pun tidak lagi untuk kepentingan umat, namun “yang penting aman”.

Ketiga: godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta, dan wanita. Ulama diberi kucuran dana, dilamar menjadi caleg atau pejabat. Namun, tentu saja tidak ada “makan siang gratis”. Akibatnya dengan perut kenyang, ulama menjadi sulit untuk bicara kritis.

Membangkitkan The Power of Ulama

Tak dipungkiri, umat ini membutuhkan ulama yang kuat. Ulama yang mampu memberi teladan dan memimpin umat menuju kebangkitan. Dalam sejarah Islam yang panjang, ulama adalah warasatul anbiya’ (pewaris para nabi). Merekalah yang mewarisi tugas para nabi dan rasul untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam Al qur’an dijelaskan pengertian ulama:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para ulamaSesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Rasulullah SAW bersabda:

Seluruh mahluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan dalam air, semuanya beristighfar untuk para ulama. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang hamba yang suka beribadah bagaikan keutamaan bulan di antara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris paranabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain dinyatakan:

“Di tengah-tengah umat,, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing, dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur”. (HR. Imam Ahmad)

Berkaitan dengan hal di atas, dapat diketahui bahwa ulama merupakan hamba Allah yang beriman, menguasai ilmu secara mendalam (fakih fid dien), dan memiliki pengabdian tinggi semata-mata mencari keridlaan Allah, bukan manusia. Di hadapan penguasa, ulama adalah barisan terdepan yang melakukan tugas memberikan kritik dan nasihat agar penguasa senantiasa menjalankan hukum-hukum Allah. Dalam menjalankan misi dakwahnya, mereka tidak gentar atau merasa takut terhadap resiko yang akan menimpa.

Disebutkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika menerima jabatan sebagai khalifah, beliau mengatakan, “Siapa saja yang melihatku menyimpang, tegurlah aku.”Di antara hadirin ada yang menjawab, “Umar, jika Anda menyimpang dari hukum Allah, kami akan meluruskan Anda dengan ketajaman pedang kami.” Lalu ada seorang lagi yang berkata, ”Umar, takutlah Anda kepada Allah.” Orang yang terakhir ini ditegur oleh temannya, “Mengapa engkau berkata demikian kasarnya terhadap Umar?”

Akan tetapi, Umar membenarkan orang yang menegur dirinya. Dan dengan bangga Umar berkata, “Bukan suatu kebaikan bagi kalian jika kalian tidak menegur orang yang salah. Bukan pula kebaikan bagi kami jika kami tidak menerima teguran.”

Seorang ulama yang ikhlas akan senantiasa mengorbankan segala-galanya demi menegakkan kebenaran. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, secara berulang-ulang pernah mengalami penyiksaan, pemukulan dengan 110 kali cambukan, serta lama mendekam di penjara. Semua itu beliau alami demi mempertahankan kebenaran bahwa Al qur’an bukanlah mahluk, tapi kalam Allah.

Dalam keadaan menyedihkan itu, Imam Ahmad tetap memuji kebesaran Allah. Beliau rela meringkuk dalam penjara yang sempit, kotor, dan gelap selama 29 bulan. Beliau dengan tersenyum berkata, “Penjara bagiku bukanlah apa-apa. Aku di rumah atau di penjara sama saja. Allah tetap mengetahui dan melihat di manapun aku berada. Aku tidak gentar memikul pukulan cambuk. Aku pun tidak takut leherku dipancung dengan pedang terhunus. Yang sangat aku takuti ialah jika imanku tergoyahkan dan keyakinanku runtuh.”

Demikianlah cuplikan beberapa kisah tentang keberanian ulama yang terukir dalam sejarah. Sikap ulama terdahulu dalam melakukan amar makruf nahi mungkar mestinya bisa diteladani ulama zaman sekarang. Hal ini selaras dengan gelar sosial dan kepercayaan umat yang disematkan kepada para ulama. Oleh karena itu, untuk membangkitkan The Power of Ulama (kekuatan ulama), ulama harus menegakkan kembali fungsi utamanya dalam menjaga pemikiran umat agar tidak menyimpang dari Islam, membangun kesadaran politik umat, serta melakukan kontrol terhadap penguasa.

Ulama saat ini mestinya tidak sekedar mencari ketenaran dan dunia yang sangat singkat, dibandingkan akhirat yang kekal abadi. Sehingga membiarkan umat ini dalam kesesatan dan keterpurukan. Naudzubillahi min zalik. *Penulis adalah seorang pemerhati masalah sosial, tinggal di Jember, Jawa Timur

Sumber :Voa-islam.com