OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 04 Agustus 2018

Demi Selamatkan Muka Jokowi, Sri Mulyani Tega “Bohongi” Publik?

Demi Selamatkan Muka Jokowi, Sri Mulyani Tega “Bohongi” Publik?

 

Referensi pihak ketiga

10Berita, Geleng-geleng saya membaca pernyataan Menteri Keungan Sri Mulyani Indarwati (SMI) tempo hari. Dimintanya agar rakyat Indonesia jangan mencemaskan nilai tukar rupiah yang terus melorot terhadap dolar AS. Padahal per hari ini (27/7/2018), diketahui rupiah sudah melorot ke angka Rp 14.470,25 per 1 dolar AS.

Bahkan SMI menyebut untuk penurunan Rp 100 atas dolar AS, pemerintah mendapat Rp 1,7 triliun net. Pendapatan ini ditopan oleh penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdampak pelemahan kurs rupiah, serta naiknya harga minyak dunia. Fantastis bukan?

Dari pernyataan SMI ini kita pun menyadari, pantas saja kalau ekonomi Indonesia kacau-balau. Sebab Menteri Keuangannya punya pandangan yang aneh. Dan jika pola pikir ini tidak lekas diantisipasi, saya yakin “kiamat” perekonomian kita akan berlarut-larut bahkan semakin parah.

Dari pernyataan SMI ini telah menerapkan konsep perekonomian “setengah bohong”. Maksudnya, apa yang disampaikan SMI bisa jadi benar; tetapi tidak semua kebenaran ia sampaikan. Ia hanya menyampaikan kebenaran yang secara positif mendukung kinerjanya, tetapi sengaja menyembunyikan kebenaran yang bisa menghancurkan citra yang hendak dibangunnya. Padahal, keduanya: baik yang tersurat maupun tersirat; saling kait-mengait, saling mempengaruhi.

Hal ini tak bisa dilepaskan dari tekanan rakyat terhadap wajah perekonomian di era Jokowi. Dan Jokowi yang sedang butuh citra positif menjelang Pilpres, kemudian balas menekan tim ekonominya, termasuk SMI. Akhirnya, SMI terpaksa berbuat sesuatu yang “tabu”. SMI pakai jurus menyampaikan kabar yang menggembirakan, tetapi kabar duka di balik itu semua sengaja disembunyikan.

Lantas, apa yang terjadi bila rupiah terus melemah?

Pertama, aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Saat ini, mencapai Rp 8,6 triliun (year to date/ytd) sejak awal 2018. Itu dampak dari yield treasury atau surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun loncat ke 2,9 persen tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Otomatis yield spread dengan Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia makin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dan memburu surat utang AS. Bisa terbaca, sejak Janurai-Maret sudah Rp 8,6 triliun modal asing yang keluar dari Indonesia. Artinya: kita rugi.

Kedua, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah. Sebab beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal. Kalau dolar mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan, maka pengaruh ke profit ke pengusaha juga dapat semakin rendah. Muaranya, perusahaan-perusahan bisa gulung tikar. PHK masal berpotensi besar terjadi.

Ketiga, beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Risiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging) akan naik. Ilustrasinya begini. Total utang luar negeri Indonesia kuartal I-2018 tercatat US$ 358,7 miliar. Pada awal April di saat 1 dolar AS = Rp13.753; jumlah ini setara dengan Rp 4.933,2 triliun. Tetapi akibat kurs melorot jadi Rp 14.470,25; maka jumlah utang luar negeri menjadi Rp5.190.5 triliun. Artinya, akibat melorotnya rupiah, negeri ini rupi Rp257,3 triliun dalam tempo tiga bulan.

Keempat, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari, karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM. Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non-subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akan terus dilakukan. Sebagai catatan sepanjang 2018, BBM sudah mengalami 4 kali kenaikan; yakni pada 13 Januari 2018; 24 Februari 2018; 24 Maret 2018; dan terakhir 1 Juli 2018.

Melorotnya nilai rupiah ini akan berdampak negative terhadap rakyat sebab akan memicu kenaikan harga pangan untuk rakyat. Selain itu, BUMN yang benar-benar terkait dengan kesejahteraan rakyat; yakni PLN dan Pertamina. Muaranya, kenaikan harga BBM dan tariff dasar listrik. Ujung-ujungnya rakyat lagi yang teraniya.

Jadi, kalau SMI menyebut untuk penurunan Rp 100 atas dolar AS, pemerintah mendapat Rp 1,7 triliun net. Saya pikir hasil ini cuma omong kosong. Karena dampak negatifnya jauh lebih besar lagi.

Lagipula, kalau SMI yakin dengan konsepnya itu, ya sudah. Kita minta saja rupiah jadi tembus Rp20 ribu terhadap dolar. Biar pemerintah dapat untung sekitar Rp 8,5 triliun. Beranikah pemerintah? Tentu saja tidak karena dampak negatifnya jauh lebih besar lagi.

Pertanyaannya, beranikah SMI mengakui kebenaran yang dia sembunyikan?

Oleh: Bagas Wicaksono, pengamat ekonomi politik

Sumber; politiktoday.com