Kegoncangan Ekonomi dan Taipan Istana
(ilustrasi/aktual.com)
10Berita, Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) tidak sesuai harapan, yang mana pada saat kampanye, rakyat dijanjikan kesejahteraan dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, namun implementasinya hanya dikisaran 5 persen.
Ketidakmampuan pemerintah mewujudkan capaian ekonomi tersebut menjadi senjata bagi kubu oposisi. Malang bagi Jokowi, menjelang proses pencalonan kembali dirinya sebagai Presiden RI untuk periode 2019-2024, situasi ekonomi semakin liar. Indikasinya, nilai tukar rupiah semakin terpukul terhadap dolar, defisit transaksi berjalan makin lebar hingga penurunan cadangan devisa.
Menjadi logis, pada Kamis (26/7) Jokowi mengundang setidaknya 40 orang kaya yang diantaranya selama ini kerap disandangkan dengan sebutan Taipan. Kepada para Taipan, Jokowi meminta dukungan agar para konglomerat itu bersedia mendatangkan dolar ke tanah air untuk mempertebal cadangan devisa. Jika hal itu berhasil dilakukan, setidaknya Taipan telah menyelamatkan Jokowi atas goncangan ekonomi nasional pada saat tahun politik.
Kegoncangan Ekonomi Akibat Impor
Tentunya para Taipan tidak bisa lepas dari hitung-hitungan bisnis atas sejumlah permintaan Jokowi. Para orang kaya itu dengan kerajaan bisnisnya akan mengkalkulasi aspek untung-ruginya. Namun sebelum dibedah lebih dalam, patut untuk diketahui kondisi terkini perekonomian nasional hingga mengancam cadangan devisa.
Untuk diketahui Realisasi belanja APBN Triwulan II 2018 mencapai Rp 523,70 triliun (23,58 persen) atau tumbuh 5,26 persen. Bahkan diantaranya terlihat realisasi bantuan sosial (Bansos) triwulan II-2018 Rp 27,19 triliun, naik 67,57 persen dibandingkan dengan triwulan II-2017. Belum lagi ditambah Tunjangan Hari Raya (THR) pegawai negeri sipil. Sehingga menjadi wajar jika berkontribusi pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2018.
Sayangnya, kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, akselerasi belanja Pemerintah tersebut hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif (konsumsi rumah tangga). Sementara sektor produktif justru mengalami penurunan, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya.
“Artinya, dampak dari peningkatan belanja Pemerintah hanya berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga dari 4,95 persen pada triwulan I 2018, menjadi 5,14 persen pada triwulan II 2018. Termasuk ditopang oleh momentum lebaran dengan adanya THR dan Pilkada,” kata dia.
Kejanggalan kesehatan ekonomi mulai terlihat ketika sektor perdagangan meningkat namun tidak diiringi oleh pertumbuhan industri. Pada triwulan II 2018, sektor perdagangan tumbuh 5,24 persen, lebih tinggi dari triwulan I 2018 (4,93 persen) dan Triwulan II 2017 (3,47 persen). Namun sektor penghasil barang yang diperdagangkan (yaitu sektor industri pengolahan) justru mengalami perlambatan. Industri pengolahan non migas hanya 4,41 persen, lebih rendah dari triwulan I 2018 (5,07 persen).
Artinya mengkonfirmasi bahwa peningkatan sektor konsumsi dengan dana belanja pemerintah yang digelontorkan kepada masyarakat baik berupa Bansos, THR dan sebagainya diserap oleh produk impor. Terbukti sektor industri pengolahan dalam negeri atau industri pengolahan non migas tidak mampu tumbuh lebih baik dari triwulan sebelumnya.
“Meningkatnya sektor perdagangan yang diiringi dengan merosotnya pertumbuhan industri mencerminkan bahwa barang-barang yang diperdagangkan bukan didominasi produk domestik, melainkan lebih banyak barang impor. Hal ini terklarifikasi dari pertumbuhan impor yang meningkat hingga 15,17 persen (yoy), sementara ekspor hanya meningkat 7,7 persen,” tuturnya.
Neraca Perdagangan Defisit.
Tingginya impor dan lemahnya ekspor menyebabkan neraca perdagangan pada triwulan II 2018 defisit USD 1,02 miliar. Untuk pertama kalinya sejak 2014, peranan neraca perdagangan menjadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi di periode ini, dimana pangsanya 0,52 persen. Padahal pada triwulan I 2018, neraca perdagangan masih berperan positif bagi pertumbuhan ekonomi (0,33 persen).
Sebagai catatan, defisitnya transaksi ini terjadi kendati pergerakan ekspor masih tumbuh 7,7 persen (yoy). Lebih parah ternyata angka itu jika dibandingkan triwulan I 2018 justru mengalami penurunan sebesar 0,89 persen, sementara impor tetap meningkat 0,48 persen (q to q). Perlahan tapi pasti, peranan ekspor terhadap PDB juga semakin luntur. Pada 2015 ekspor masih berperan 21,16 persen terhadap PDB, namun pada triwulan II menyusut menjadi 20,35 persen. Sebagai pembanding, ekspor Thailand dan Malaysia berkontribusi lebih dari 70 persen terhadap PDB, sedangkan di Vietnam mencapai 93 persen.
“Daya saing ekspor merosot. Daya saing merupakan salah satu kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Namun hingga saat ini sektor produksi belum mampu menunjukkan kemampuannya dalam persaingan di pasar global, bahkan kian sulit bersaing di pasar domestik,” jelas Ahmad.
Adapun pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia kian menurun. Pada 2013, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia mencapai lebih dari 1 persen, namun pada 2017 pangsanya menyusut menjadi 0,9 persen. Sepanjang 2013-2016, pangsa ekspor Vietnam terhadap ekspor dunia naik dari 0,7 persen menjadi 1,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor Indonesia telah “direbut” oleh negara kompetitor, artinya produk-produk domestik masih sulit melakukan penetrasi di pasar global.
“Peningkatan belanja pemerintah hingga 2 kali lebih tinggi dari triwulan I 2018 tidak menunjukkan fungsinya sebagai stimulus untuk menggerakkan sektor produksi. Hal ini terlihat dari melambatnya investasi (PMTB) dan industri pengolahan yang kemudian berdampak terhadap menurunnya ekspor dibandingkan triwulan I,” tutur dia.
Karena itu, dia mensinyalir penetrasi produk impor kian merajalela dan membuat Indonesia menjauh dari kemandirian dan kedaulatan. Sepanjang semester 1 tahun 2018, impor barang konsumsi telah tumbuh melebihi impor bahan baku, yakni sebesar 21,64 persen, sementara impor bahan baku tumbuh 21,54 persen. Jauh dari pada itu, akibat defisit transaksi berjalan yang kian melebar akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan menggerus cadangan devisa.
“Perlahan tapi pasti, porsi impor barang konsumsi telah semakin melebar. Pada 2013, porsi impor barang konsumsi masih 7 persen, namun saat ini telah mencapai 9,2 persen,” pungkasnya.
Pintu Masuk Taipan
Kegentingan ekonomi di tengah hiruk-pikuk politik 2019 akan sangat rentan menjadi pemicu perpecahan sosial. Karenanya pengamat Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng mengaku tak heran atas pertemuan Jokowi dengan para Taipan.
Daeng menjelaskan, dukungan para Taipan untuk membawa kekayaannya ke dalam negeri akan sangat membantu meningkatkan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah. Jika nilai rupiah dapat membaik, pemerintah akan sangat terbantu dari aspek pembayaran bunga utang dalam bentuk dolar.
“Presiden cukup beralasan mengingat banyaknya uang para Taipan yang ditabung di luar negeri hasil berbagai kegiatan ekonomi di Indonesia. Presiden tampaknya mengacu kepada data tax amnesty bahwa setidaknya ada Rp10 ribu triliun dana orang kaya Indonesia tersimpan di luar negeri,” ujar dia.
Namun bagi para Taipan yang notabene adalah pebisnis, tentunya mereka tidak akan begitu saja bersedia mau membantu pemerintah tanpa ada timbal balik atau keuntungan yang didapat. Justru di tengah kesulitan ekonomi Indonesia, dapat dijadikan daya tawar Taipan di depan Jokowi.
Benar saja, hasil pertemuan pada (26/7) para Taipan meminta agar keran bisnis mereka dibuka lebar. Salah satu yang terlihat yakni rencana pencabutan kewajiban DMO batubara. Kebijakan itu kemudian mendapat respon negatif dari masyarakat karena selain melanggar UU Minerba No. 04 Tahun 2009, juga akan berdampak pada kenaikan tarif dasar listrik akibat ketidakpastian energi primer untuk Pembangkit Listrik.
Syukurnya perintah kembali menyelenggarakan rapat terbatas pada (31/7) dan memutuskan pembatalan atas rencana pencabutan kewajiban DMO batubara. Namun yang perlu di garisbawahi, selain terkait DMO, ada banyak negosiasi lainnya yang berbau penyelamatan ekonomi nasional namun juga membuka keran bagi para Taipan, diantaranya upaya pengurangan impor BBM dengan cara menggenjot Biodisel yang akan menyerap minyak kelapa sawit.
Konglomerat Istana
Seperti yang telah disampaikan, dalam rangka pengendalian gejolak ekonomi nasional, Jokowi mengundang sekitar 40 konglomerat ke Istana Negara Bogor, Jawa Barat pada Kamis (26/7). Diantara para konglomerat itu yakni pemilik Grup Djarum R. Budi Hartono, bos Grup Indofood Anthoni Salim, pemilik Rajawali Group Peter Sondakh, dan bos Wings Group Eddy Katuari.
Kemudian ada pula pemilik Medco Group Arifin Panigoro, Chief Executive Officer (CEO) Sritex Iwan Lukminto, Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir, Sudhamek dan beberapa pengusaha perkebunan kelapa sawit. Sederet nama tersebut bertengger mengisi daftar 50 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes tahun 2017.
-Budi Hartono tercatat menempati peringkat pertama sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sebanyak USD 32.3 B. Hartono mendapat lebih dua pertiga kekayaan mereka dari investasi di Bank Central Asia (BCA). Ia membeli saham di BCA, setelah keluarga kaya lainnya, Salims, kehilangan kendali atas bank selama krisis ekonomi Asia 1997-1998.
Akar dari kekayaan keluarga berasal dari pembuat rokok kretek Djarum, dimulai oleh ayahnya. Selain itu, keluarga Hartono juga mempunyai kepemilikan pada merek elektronik populer yaitu Polytron dan real estate utama di Jakarta.
–Antoni Salim, orang terkaya peringkat empat dengan jumlah kekayaan USD 6.9 B. Anthoni mengepalai Salim Group, perusahaan investasi dengan berbagai kepentingan seperti makanan, perbankan, dan telekomunikasi.
Group salim dimulai oleh seorang bernama Liem Sioe Liong yang memiliki hubungan dekat dengan mantan presiden Indonesia Suharto. Selama krisis keuangan Asia 1997-1998, Salim kehilangan kendali atas Bank Central Asia kepada Hartono. Salim adalah pemegang saham mayoritas (44%) dari perusahaan investasi yang terdaftar di Hong Kong First Pacific, yang memiliki aset D 17,2 miliar di enam negara. Selain itu, Keluarga ini memiliki lebih dari 50% Indofood, salah satu produsen mie instan terbesar di dunia dengan penjualan USD 5 miliar pada tahun 2016.
–Peter Sondakh, konglomerat peringkat ke tigabelas dengan kekayaan USD 1.9 B. Peter Sondakh adalah kepala Rajawali Corpora, sebuah perusahaan investasi yang didirikan pada 1984. Kelompok ini mulai membangun hotel bintang 5 di Indonesia pada tahun 1990; pada tahun 2009 meluncurkan St Regis Hotel and Resort di Bali.
Pada tahun 2001 grup tersebut membuat Velo Networks, penyedia layanan Internet. Aset lainnya termasuk perusahaan kelapa sawit PT Eagle High Plantation dan hotel Four Seasons di Jakarta. Kelompok ini juga memiliki jaringan TV Rajawali Televisi.
–Eddy Katuary, orang kaya peringkat ke limabelas dengan total kekayaan USD 1.7 B. Setelah kematian ayahnya, Eddy Katuari mengambil alih perusahaan Wings yang bergerak dalam pembuatan barang-barang rumah tangga. Kini Wings adalah salah satu pembuat sabun terbesar di Indonesia dan barang-barang rumah tangga lainnya seperti pembersih toilet, deterjen, dan pembalut wanita. Selain itu, Wings juga memproduksi mie instan yang dijual di berbagai negara.
–Arifin Panigoro, pada 2016 ia masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia dan menempati peringkat 48 dengan kekayaan USD 475 M. Arifin Panigoro mendirikan Medco Energi Internasional. Pada tahun 2016 Medco Energi dan perusahaan investasi AP, Agus Projosasmito menghabiskan USD 2,6 M untuk mengakuisisi saham pengendali PT Amman Mineral Internasional, yang mengoperasikan tambang tembaga dan emas terbesar kedua di Indonesia, Batu Hijau.
Mereka membeli saham dari Newmont Mining , Sumitomo of Japan dan Bumi Resources Minerals, bagian yang dimiliki oleh keluarga Bakrie. Pendanaan untuk pembelian dilaporkan disediakan oleh 3 bank Indonesia. Panigoro juga memiliki perkebunan kelapa sawit, hotel dan saham di 2 bank.
-Iwan Lukminto menduduki peringkat empat puluh delapan orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan USD 490 M. Iwan Lukminto adalah putra sulung almarhum H.M. Lukminto, yang mendirikan Sritex Group pada tahun 1966 dengan toko batik di Solo. Sritex Group telah tumbuh menjadi perusahaan tekstil terpadu besar; Iwan telah bertugas sejak 1997. Perusahaan grup Sri Rejeki Isman, produsen tekstil, terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Grup ini memiliki sekitar 10 hotel di Solo, Yogyakarta dan Bali, termasuk Holiday Inn Express di Bali.
–Garibaldi Thohir yang kerap dikenal dengan sebutan Boy Thohir menduduki peringkat ke dua puluh tiga sebagai orang terkaya di Indoneisa dengan total pundi-pundi kekayaan sebesar USD 1.4 B. Garibaldi Thohir adalah Presiden Direktur dan pemegang saham di Adaro Energy, salah satu eksportir batubara top dunia.
Bersama mitra, Thohir mengambil alih Adaro Energy dari perusahaan Australia 12 tahun lalu. Melalui anak perusahaannya, Adaro Power saat ini membangun pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara yang akan selesai pada 2019. Thohir juga mendistribusikan motor Honda dan memiliki saham mayoritas di BFI Finance.
–Sudhamek, sebagai konglomerat menempati posisi sebagai tiga puluh delapan sebagai orang terkaya di Indonesia. Ia memiliki kekayaan USD 810 M. Sudhamek mengelola perusahaan milik keluarga Garuda Food, salah satu produsen makanan dan minuman paling terkemuka di Indonesia, bagian dari Grup Tudung.
Ayahnya, Darmo Putro, mendirikan PT Tudung, pendahulu di Garuda Food, pada tahun 1958, dimulai dengan tapioka dan kemudian menambahkan kacang goreng. Garuda Food, dengan lebih dari 13.000 karyawan, membuat biskuit, makanan ringan, produk susu dan permen. Dalam usaha patungan dengan perusahaan minuman Jepang Suntory, PT Suntory Garuda Beverage memproduksi minuman non-alkohol. Kelompok Tudung juga memiliki perkebunan kacang tanah dan fasilitas pengolahan minyak sawit.
Demikian diantara sederet nama konglomerat yang diajak bicara oleh Jokowi untuk menguraikan kekhawatiran gejolak ekonomi di tahun politik. Tetapi di sisi lain, pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengingatkan bahwa kontestasi politik tidak terlepas dari logistik atau biaya yang besar. Maka sangat memungkinkan pertemuan Jokowi dengan para Taipan berbuah transaksional. Atau setidaknya kebijakan pemerintah membuka keran bisnis bagi para Taipan.
“Kebutuhan Pilpres ini tidak sedikit, minimal Rp 7 triliun untuk saksi. Ini orang maju bukan hanya elektabilitas, ujungnya soal duit. Nah disinilah para bohir masuk dan menyandera presiden pada akhirnya. Saya kira incombent logistiknya agak aman karena Jokowi sudah membuka keran,” pungkas dia.
Sumber : Aktual.com