OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 19 November 2018

Jokowi Serahkan 54 Bidang Industri Kepada Asing. Bentuk Kepanikan karena Dana Infrastruktur Mengering?

Jokowi Serahkan 54 Bidang Industri Kepada Asing. Bentuk Kepanikan karena Dana Infrastruktur Mengering?

10Berita  JAKARTA,- Sosiolog UI Thamrin Amran Tomagola dalam cuitan twiternya mengungkapkan, ada beberapa kemungkinan: (1) Jokowi tidak baca daftar usaha yang direlaksasi asing boleh kuasai 100 %: (2) tidak paham betapa strategisnya Bank & Lab jaringan sel bagi survival bangsa; (3) Pak De panik karena dana buat infrastruktur mengering.
Seorang netizen menuturkan: ''Astagfirullah. lihat No 54. Bank & lab jaringan sel ! Ini kl asing yg menguasai akan sgt mengerikan. Seluruh plasma nutfah SDH kita dg bebas dikuasai. Justru disitulah letak kekayaan bangsa kita. Gene bank di negara manapun diproteksi negara. Kok bs ini mau diserahkan ke asing?''
Pemerintahan Joko Widodo seharusnya memberikan kesempatan kepada rakyat dan UKM untuk berusaha di ke-54 bidang industri yang baru saja dilepaskan dari Daftar Negatif Investasi (DNI).
Keputusan pemerintah untuk memberikan peluang kepada pihak asing menguasai hingga 100 persen bidang-bidang itu sangat memprihatinkan.

Di mata ekonom senior DR. Rizal Ramli, Presiden Joko Widodo tampak seperti orang yang sudah berputus asa. Ia tak sungkan menegur langsung Jokowi lewat akun Twitter.

“Mas @jokowi,, kok ini kaya sudah putus asa? Sektor2 yg seharusnya untuk rakyat, UKM, dibebaskan 100% untuk asing spt warung internet, renda, pengupasan umbi2an, jasa survei, akupuntur, content internet dll ? Terus rakyat mau jadi kuli saja?” tulis Rizal Ramli yang pernah menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya
Beberapa tahun lalu, Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie menilai Presiden Joko Widodo sudah bertindak menyalahi Undang-Undang Dasar 1945 karena menerapkan harga bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar. "Presiden Jokowi sudah melanggar konstitusi," kata Kwik dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/3/2015).
Ekonom tersebut menjelaskan, pada 2003, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ketentuan pasal ini menyerahkan proses pembentukan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar. Pasal 28 ayat (2) UU Migas tersebut dinilai bertentangan dengan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang sumber daya alam yang penting dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. (/KCM/RMOL)
Sumber : Konfrontasi