OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 08 November 2018

Kami Dibiarkan Buta Pak Presiden

Kami Dibiarkan Buta Pak Presiden



10Berita  - Dua sepeda itu masih terpakir di atas marmer berwarna putih. Selain berdebu, ada sedikit perbedaan ketika pertama kali kendaraan roda dua itu pertama kali terpakir di gedung merah putih ini.
Jika dahulu masih diletakan diatas sebuah dengan karpet berwarna hitam, kini bersentuhan langsung dengan marmer. Jika dahulu bersanding dengan banner bertuliskan “16 bulan Gelap Gulita”, kini terdapat baner baru bertuliskan “Kami Dibiarkan Buta, Presiden Kemana?
Memang sejak pertama kali sayembara ini dibuat, belum ada satu pun yang berhasil menjawab siapa pelaku penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan. Slogan “Tuan Presiden Janjinya mana” pun hanya sekedar slogan, karena pertanyaan itu belum juga terjawab sebab kini tuan Presiden sibuk kampanye.
Kini 500 hari sudah sejak subuh kelabu itu merenggut salah satu bola mata milik Novel. Sejak 11 April 2017 itu pula janji-janji akan untuk mengusut tuntas diucapkan. Namun selama 500 hari itu pula, belum terungkap siapa orang yang melakukan penyiraman air keras itu.
Presiden Jangan Takut
Yang lebih menyakitkan lagi, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga tidak kunjung dibentuk. Hal ini yang kemudian membuat Novel menarik kesimpulan bahwa kasusnya sengaja tidak diungkap.
“Saya ingin menyampaikan bahwa penyerangan kepada saya adalah penyerangan yang sengaja tidak diungkap. Saya katakan, sengaja tidak diungkap,” ujar dalam diskusi di Gedung Penunjang KPK, Jalan Kuningan Persada, Kamis (1/11/2018).
Novel pun tidak percaya jika kemudian ada yang menyebut kasus penyerangannya sedang diproses. Dalam beberapa kali kesempatan, pihak Kepolisian senantiasa menyebut masih melanjutkan proses penyelidikan kasus ini.
Terbaru, Wakapolri Ari Dono Sukmanto saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (1/11/2018), menegaskan penyelidikan polisi atas teror Novel sudah maksimal.
“Jadi, kalau seumpama diterangkan ada proses yang berlangsung, saya katakan proses itu formalitas,” kata dia
Novel juga menyatakan, kunci penyelesaian kasus kekerasan yang menimpa dirinya ada dalam tiga bulan pertama. Jika sudah lewat masa tiga bulan itu, menurutnya, tidak mungkin kasusnya diproses hingga akhirnya tuntas.
“Kunci proses penyelesaian ini ada di tiga bulan. Setelah tiga bulan, hampir tidak mungkin bisa diproses,” kata dia.

Dirinya memandang adanya kebuntuan dari aparatur penegak hukum maupun petinggi Polri. Dari informasi yang diperolehnya, Novel menduga adanya kekhawatiran dari para petinggi Polri yang takut untuk mengungkap kasus tersebut. Novel menilai ketakutan tersebut kemungkinan karena adanya intervensi dari pihak pihak politik atau pun pihak lainnya
Oleh karena itu, menurutnya Presiden Joko Widodo harus mendorong untuk menuntaskan kasus ini. Terlebih, Presiden dalam beberapa kesempatan kerap mengumbar janji dan mendukung pengungkapan kasus ini.
“Tetapi mendukung itu tidak cukup dengan hanya komitmen saja, harus ada suatu langkah nyata. Saya berharap presiden mau dan serius untuk melihat perkara ini dengan benar,” kata dia.
Di awal terpilihnya Joko “Jokowi” Widodo sebagai Presiden, ia sempat berkomitmen untuk tegas memberantas tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu. Namun, pada kenyataannya, menurut Novel komitmen itu mulai luntur. Contoh nyata yakni kasus teror yang menimpa dirinya tidak juga diungkap.
Jokowi memang sempat memanggil Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian ke Istana dan menanyakan perkembangan pengusutan kasusnya. Kalau Tito mengaku tidak sanggup, barulah mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan memikirkan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Namun faktanya, hingga saat ini tim itu tidak juga terbentuk
“Pertanyaannya, kira-kira Presiden takut enggak mengungkap ini?,” kata dia.
Bagi Novel, Presiden adalah sosok yang paling diharapkan untuk menuntaskan kasus yang membuat penglihatannya tak lagi sempurna itu. Menurut dia, kalau Presiden yang memimpin negara saja sudah tidak bisa dijadikan tumpuan harapan, maka ia harus kepada siapa lagi.
“Maka, saya kecewa,” kata dia.
Novel sendiri pernah menagih hal serupa kepada Presiden Jokowi. Bahkan ia mengingatkan kepada mantan Wali Kota Solo tersebut kalau masa Pilpres 2019 sebentar lagi akan tiba. Yang artinya ia berharap Jokowi mau memberesken kasus tersebut sebelum masa jabatan satu periodenya selesai tahun depan.
“Saya harap Bapak Presiden, Pak Jokowi punya kesempatan untuk realisasikan janjinya untuk ungkap ini. Tentunya ungkap dengan tidak setengah-setengah, tapi tuntas,” kata Novel di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (17/7).

Istri Novel, Rini Emilda pun mempunyai keraguan yang sama atas sikap Presiden Jokowi.”Presiden menyampaikan bahwa sementara memberikan waktu kepada Polri untuk mengungkap, lalu presiden butuh waktu berapa lama lagi?” kata Rini.
Pun soal pembentukan TGPF, Rini sepertinya sudah pesimistus. Menurut Rini, dia dan keluarga sudah berkali-kali meminta kepada Jokowi untuk segera membentuk TGPF.
“TGPF sudah diminta beberapa kali, tapi presiden mau bentuk tim lain. Kita enggak tahu tim apa, kita lihat saja,” kata Rini.
Senada istri mendiang Aktivis HAM Munir, Suciwati pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap Presiden Joko Widodo. Menurut dia, tidak sepatutnya Jokowi bersikap diam.
“Apa karena mereka tunduk pada penjahat, pada pelakunya atau mereka memang tidak punya martabat membiarkan para penjahat itu berkuasa. Atau begitu sibuknya sehingga kasus-kasus yang penting itu justru diabaikan,” Ujar Suciwati di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 1 November 2018.
Sama dengan Novel, Suciwati pun kerap kali menuntut keadilan agar kasus pembunuhan Munir dapat dituntaskan, bahkan sudah 14 tahun.
“Saya minta polisi bekerja dengan profesional jangan karena ketakutan dia jadi tidak profesional sehingga dia tidak bisa menginvestigasi, tidak tahu apa-apa ilmunya jadi tumpul,” bebernya.
Sementara Partai Gerindra menilai adanya kesengajaan dari pihak Istana untuk menutupi ketidakmampuan Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus Novel Baswedan.
“Joko Widodo yang sebenarnya ternyata otoriter, pintar bohong, dan kebijakannya mendukung konglomerasi. Kasus Novel Baswedan ini menjelaskan bahwa istana dan lingkungannya bukan hanya tidak mampu menangani kasus ini, tapi justru menutupinya,” ujar Waketum Gerindra Ferry Juliantono kepada wartawan, Kamis 1 November 2018.
Ia menilai, kasus Novel bukan hanya pidana biasa namun merupakan bukti pelanggaran hak asasi manusia. Dan tindak pidana pelanggaran HAM justru kerap terjadi dalam masa kepemimpinan Jokowi.
“Di era pemerintahan Joko Widodo ini banyak pelanggaran hak asasi manusia mulai dari intimidasi, persekusi, dan kriminalisasi termasuk kasus Novel Baswedan,” kata dia.

Pernyataan Ferry pun ditimpali Ketua DPP Gerindra Sodik Mudjahid. Ia membandingkan penanganan kasus Novel Baswedan dengan sikap kepolisian saat mengungkapkan kasus hoaks Ratna Sarumpaet.
“Ini salah satu keajaiban dunia. Terorisme dan kasus lain, termasuk terakhir kasus Ratna, bisa diungkapkan sangat cepat,” kata Sodik.
Pihak Istana melalui Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, menilai justru tidak semestinya semua persoalan dituntut ke Presiden Joko Widodo.
“Jangan semua ke Presiden. Kan masing-masing punya otoritas yang mesti diberesin di lingkungan kerjanya,” ungkap Moeldoko usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat 2 November 2018.
Meski mengakui kalau kasus Novel masuk ranah HAM, namun Moeldoko lantas menyerahkan tanggung jawab tersebut ke Polri.
Selain itu ia menilai jika kasus Novel yang tak kunjung selesai bisa menjadi senjata bagi pihak oposisi.
“Kalau masih dalam batas kemampuan ya mesti diserahkan pada teknis (Polri), kalau di luar batas kemampuan ya negara ambil atau Presiden ambil. Itu aja rumusnya,” ungkap Moeldoko.
Sejauh ini, Moeldoko mengaku belum mendapatkan laporan perkembangan penyelidikan kasus Novel dari Polri. Namun, Moeldoko menampik ada anggapan kasus tersebut sengaja tak diselesaikan. Ia yakin Polri telah melaksanakan penanganan secara maksimal.
“Enggaklah (sengaja dibiarkan), menurut saya enggak ada kebijakan untuk itu, enggak ada. Hanya saya enggak ngerti secara teknis dari kepolisiannya seperti apa kok enggak bisa,” kata dia.
Sementara Wakapolri Ari menegaskan penyelidikan polisi atas teror Novel sudah maksimal.

“Proses penyelidikan maksimal sudah kita kerjakan,” kata Wakapolri Komjen Ari Dono Sukmanto tanpa menjelaskan sejauh mana ke-maksimalan Polri mengusut kasus ini, di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 1 November 2018.
Novel Curigai Pimpinan KPK Saat Ini Ikut Berkompromi
Selasa 11 April 2017. Saat itu Novel baru saja menyelesaikan sholat subuh berjamaah di Masjid Al Ikhsan, di Jalan Deposito RT 03/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa 11 April 2017.
Saat hendak perjalanan pulang, tiba-tiba saja terdapat dua orang laki-laki berboncengan sepeda motor menyiramkan air keras ke arah wajah Novel. Akibat siraman cairan korosif itu, mata kiri Novel mengalami kerusakan sampai 95 persen. Dari situ hari-hari Novel diselimuti kegelapan.
Novel mengungkapkan, serangan kepada dirinya bukan lah kali pertama terjadi. Sejumlah teror dan ancaman pun pernah dia alami, bahkan bukan hanya terjadi kepada dirinya, tetapi juga kepada banyak pegawai KPK lainnya. Berbagai bentuk ancaman dan serangan ini, sambung dia, sudah diketahui penyidik Polri.
Dalam catatan Wadah Pegawai KPK terdapat setidaknya delapan kali teror yang diarahkan kepada pegawai KPK dalam menjalankan tugas. Teror dan intimidasi tersebut, antara lain:
1. kriminalisasi terhadap pegawai KPK,
2. Penyerbuan dan teror terhadap fasilitas KPK,
3. Ancaman bom ke rumah penyidik,
4. Penyiraman air keras ke rumah dan kendaraan milik penyidik KPK,
5. Ancaman pembunuhan terhadap pejabat dan pegawai KPK;
6. Perampasan perlengkapan penyidik KPK,
7. Penangkapan dan penculikan terhadap pegawai KPK yang sedang bertugas,
8. Percobaan pembunuhan terhadap penyidik KPK;
“Pegawai KPK itu pernah diserbu, diculik, dan bahkan rumahnya dibom. Walau setelah dicek itu bom palsu,” kata Novel.
Namun, setiap kali tindakan teror tersebut dilaporkan ke polisi, tidak pernah ada tindak lanjutnya. Padahal, teror terhadap penyidik, bukan karena pelaku dendam terhadap individu yang bersangkutan. Melainkan hal itu merupakan satu bentuk teror terhadap KPK sebagai institusi.
“Padahal, perlindungan yang baik itu, apabila ada (pegawai KPK) yang diteror kemudian dibuka. Ini bukan suatu hal yang biasa. Karena ini sama saja serangan terhadap institusi KPK,” katanya lagi.
Menurut Novel, jika kasus tersebut tidak dituntaskan, maka perbuatan tersebut akan terus ada kepada aparat penegak hukum. “Perlindungan kepada aparatur bukan di jaga 24 jam, tetapi perlindungan terbaik adalah setiap ada serangan itu diproses dan diusut dengan akhirnya memberi sanksi kepada pelaku,” kata dia.
Novel melanjutkan, selain tidak ada political will yang kuat dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam penuntasan teror ini, Ia pun mulai merasa kalau tempatnya bekerja kini mulai terlihat berkompromi.

Hal kuat yang menjadi indikasi yakni, atasannya tidak ikut mendorong secara kuat agar semua teror yang pernah menimpa pegawainya agar segera diusut, sebab hingga kini, belum ada satu kasus teror pun yang berhasil diungkap.
“KPK kan masih berjalan sampai saat ini. Jangan sampai institusi ini menjadi yang sudah mulai berkompromi,” kata Novel.
Sebab, menurut dia, pemberian perlindungan yang terbaik apabila semua teror yang menimpa pegawai KPK diungkap.
“Sampai sekarang pimpinan KPK belum pernah perjuangkan hal itu. Saya ucapkan terimakasih,” ujar dia.
Menurut Novel, seharusnya pimpinan KPK bisa menggunakan kekuatannya untuk mendorong Presiden Jokowi membentuk TGPF. Novel takut jika apa yang dialaminya akan diterima juga oleh penyidik KPK lainnya dan pegawai instansi lain.
“Tapi sejak awal sampaikan, saya tidak pernah meminta urusan penyerangan kepada saya dijadikan yang utama. Bagaimana dengan permintaan saya semua teror diungkap. Karena saya masih ingat dalam suatu kesempatan, pimpinan KPK menyampaikan juga bahwa pimpinan KPK berkeinginan melindungi kami,” kata Novel Baswedan.
Pimpinan KPK yang diwakili Alexander Marwata membantah tudingan anak buahnya tersebut. “Ketika berada di lapangan lalu mendapatkan ancaman, maka segera hubungi KPK dan kami akan lakukan koordinasi. Berbagai upaya itu sedang kami lakukan untuk melindungi pegawai KPK,” kata Alexander
Sebaliknya, Ia mengklaim pimpinan KPK akan terus menunggu kasus teror terhadap Novel akan terungkap. Walau itu membutuhkan waktu hingga 1.000 hari.
Ketua KPK Agus Rahardjo sempat menyatakan akan berunding terlebih dahulu dengan pimpinan KPK lainnya terkait desakan pembentukan TGPF. Saat itu, Agus didesak oleh mantan Komisioner KPK Bambang Widjoyanto, Najwa Shihab dan lainnya untuk segera meminta kepada Jokowi membentuk TGPF.
Namun, desakan tersebut tidak membuat KPK mengambil keputusan terkait pembentukan TGPF. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, pembentukan TGPF kasus Novel Baswedan justru dikhawatirkan akan menghentikan penyelidikan yang diklaim Polda Metro Jaya sudah dilakukan.

Saut menyatakan, jika ada pihak-pihak yang memiliki bukti dan informasi terkait penyerangan air keras tersebut lebih baik melapor langsung ke Polda Metro Jaya.
“Jalan terbaik adalah membantu Polri. Membantu Polri tidak harus membentuk tim juga. Kalau nanti dibentuk, apakah efisien. Pengalaman menunjukan tim-tim seperti itu tidak menemukan sesuatu yang baru untuk ditindaklanjuti,” kata Saut beberapa waktu lalu. (Jft.Aktual)

Sumber :Konfrontasi