212 dan Ketidakadilan Media
Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblatnet anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
10Berita – Mungkin tak pernah terlintas dalam pikiran kita bahwa lebih dari satu abad yang lalu, pers Islam telah muncul di tengah-tengah umat. Al-Imam, pers Islam pertama itu membawa misi dakwah di tengah umat pada tahun 1906.Pada 1915 muncul pula media Islam yang masih terbit hingga saat ini, yaitu Soeara Moehammadijah. Menjadi salah satu dari pelopor media organisasi Islam. Hingga Sarekat Islam pun muncul. Di Surabaya ada Oetoesan Hindia yang menjadi corong Sarekat Islam Surabaya. Media-media Islam muncul bak cendawan. Ada Pembela Islam yang digawangi Moh. Natsir. Ada pula Berita NO yang mewakili Nadhlatul Ulama (NU), dan lainnya.
Media-media Islam di masa lalu telah menjadi satu seruan di tengah-tengah tanah air. Surat Kabar Pedoman Masjarakat yang dipimpin Buya Hamka pun menjadi salah satunya. Meski jauh dari pusat kekuasaan pemerintah kolonial, Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan berhasil memperoleh oplah hingga 4000 eksemplar. Satu pencapaian luar biasa untuk masa itu.
Peran pers Islam kala itu memang bukan pinggiran. Selain mewakili suara umat, pers Islam juga menjadi pertarungan gagasan dan bahkan para tokoh nasionalis sekular kerap menulis di media-media Islam untuk menyuarakan pendapatnya.
Seratus kemudian realita tak secakap masa lalu. 2018 ini kita dipertontonkan dengan kedangkalan pers arus utama (mainstream). Sikap partisan dalam politik elektoral ditunjukkan dengan ketelanjangan luar biasa. Sinisme terhadap umat Islam dan aspirasinya disemburkan dengan tudingan semacam radikal dan intoleran. Puncaknya di penghujung tahun ini. Aksi damai “Reuni 212” di monas beberapa hari yang lalu tak dianggap sebagai satu peristiwa bernilai.
Surat kabar besar arus utama (mainstream) seperti Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia tidak memuat berita aksi 212 di halaman depan mereka. Harian Kompas misalnya, hanya memuat berita kecil di halaman bagian belakang mereka. Media lain seperti Metro TV bahkan lebih parah dengan tidak memuat kabar tentang aksi 212. Mereka bahkan tidak mau memuat dengan framing dan sudut pandang yang mereka kehendaki.
Kompas mungkin dapat berlindung di balik independensi politik pemberitaan mereka, meski hal itu terlihat kentara ketidakberpihakannya. Namun bagi mereka yang tidak memuat sama sekali, nyatanya ini adalah pengabaian bagi hak publik untuk mendapatkan informasi dan penggelapan suatu peristiwa berpengaruh.
Media arus utama bukannya tidak mengakomodasi tema-tema Islam, tetapi melakukannya dalam bentuk yang sudah dikomodifikasi dan dikomersialisasi. Pesan-pesan relijius diubah menjadi jualan produk.Setidaknya hal ini memberikan dua hal tersirat bagi kita. Pertama menunjukkan ketidakberdayaan mereka terhadap aksi reuni 212 yang begitu massif sehingga mereka tak berdaya bahkan untuk memberitakan dengan framing negatif sekalipun, karena mereka mungkin memang sulit untuk menemukan aspek dan fakta negatif dari aksi ini. Kedua, yang lebih mengenaskan hal ini menunjukkan betapa biasnya pers di Indonesia saat ini. Betapa independensi pers sebenarnya sudah lama menghilang dari ruh jurnalistik di sebagian besar pers arus utama di Indonesia.
Media di tangan kaum oligarki
Terlacurkannya independensi pers Indonesia saat ini dapat ditelusuri dari rekam jejak kepemilikan media di Indonesia saat ini. Mayoritas perushaan pers arus utama di Indonesia hanya dimiliki segelintir konglomerat. Dari Kepemilikan stasiun televisi di Indonesia misalnya, konglomerat Hary Tanoesoedibjo memiliki 4 stasiun televisi; RCTI, MNC TV, Global TV,dan I-News. Sedangkan Chairul Tanjung adalah sosok di balik kepemilikan 2 stasiun TV, yaitu Trans TVdan Trans 7. Aburizal Bakrie adalah nama di balik TV-One dan ANTV. Sementara Grup Emtek di bawah Soeriaatmadja bersaudara membawahi SCTV, Indosiar,dan O-Channel. Sedangkan Surya Paloh menjadi figur di belakang Metro TV.
Munculnya era digital yang memungkinkan warga untuk memperoleh akses informasi alternatif bukan berarti dapat meloloskan publik dari hegemoni informasi yang dikuasai oleh kongolmerasi ini. Kajian dari Ross Tapsell dalam Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital (2018) membuktikan bahwa kaum oligarki mampu beradaptasi dengan menguasai lanskap media digital di Indonesia. Mereka mampu menguasai beragam media lintas lanskap mulai dari televisi, radio media cetak hingga media digital.
Amatan Tapsell mencatat setidaknya ada delapan konglomerat yang menguasai lanskap digital di Indonesia yang masing-masing terintegrasi dengan bisnis media lain yang mereka miliki. Pertama CT Corp di bawah Chaerul Tanjung yang selain memiliki 2 stasiun televisi (Trans TV dan Trans 7), juga menguasai Detik.com dan CNN Indonesia. Kemudian Global Media Commilik Hary Tanoesoedibjo yang menguasai 4 stasiun TV juga menguasai Okezonedan Sindonews. Kemudian EMTEK yang menguasai 3 stasiun TV dan Liputan6.com.
Ada pula Grup Lippo yang menguasai jaringan Berita Satu baik televisi maupun media online. Tak ketinggalan gurita media Kelompok Kompas Gramedia yang menguasai berbagai media cetak dan Kompas TV serta Kompas.com dan Tribun News. Selanjutnya Aburizal Bakrie menguasai TV-One dan ANTV juga memiliki Viva. Dahlan Iskan lewat jaringan media Jawa Posmemiliki JawaPos TVdan jaringan media online JPNN. Terakhir Surya Paloh yang memiliki jaringan media cetak (Media Indonesia dan lainnya), serta Metro TVdan Metrotvnews.com juga Mediaindonesia.com.
Cengkraman kaum oligark yang begitu kuat terhadap akses informasi di Indonesia membuat mereka mampu memanfaatkan media yang mereka miliki untuk kepentingan mereka. Surya Paloh misalnya, mengatakan, “Secara jujur harus saya akui, bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau tidak, apa lagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan tidak senang ya salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit.” (Ross Tapsell: 2018)
Don Bosco Selamun, pemimpin redaksi Metro TV yang diwawancara baru-baru ini juga menyatakan media harus objektif tetapi juga harus berpihak untuk alasan yang bagus. Oleh sebab itu ia tak menampik jika berpihak pada kubu Calon Presiden 2019, Joko Widodo.
“Misalnya di sini, kita harus dukung Jokowi. Sekarang pertanyaannya, you punya alasan adekuat gak untuk mendukung itu? Harus jujur. Kalau kita jujur dan mengatakan kita punya reason, why not? Untuk saya, Jokowi punya track record bagus,”jelas Don Bosco. Ia juga mengakui bahwa Surya Paloh mengatakan bahwa ia harus membantu Jokowi dalam pemberitaan Metro TV. “Perintahnya (Surya Paloh-pen) tentang Jokowi, you harus bantu,” demikian jawab Don Bosco.
Ketelanjangan dukung-mendukung satu calon atau partai bukan hal aneh lagi. The Jakarta Post pada Pilpres 2014 secara terang-terangan mendukung Joko Widodo dengan dalih menolak praktek politik transaksional ala Orde Baru. Yang tidak mereka nyatakan secara terang-terangan adalah fakta bahwa Sofjan Wanandi, pemilik mereka menjadi salah anggota satu Tim Sukses Joko Widodo kala itu. (Ross Tapsell: 2018)
Begitu pula Jawa Pos Grup yang mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014 secara terbuka. Hary Tanoe yang terang-terangan memakai jaringan televisi miliknya secara besar-besaran mengenalkan Partai Perindo miliknya. Aburizal Bakrie juga memanfaatkan hal yang sama. (Ross Tapsell: 2018)
Hal ini membuktikan bahwa di alam demokrasi di Indonesia, pers menjadi pilar keempat dalam demokrasi, sesungguhnya berada di tangan oligarki. Sumber daya material berupa kepemilikan media (perusahaan pers) dikuasai segelintir orang. Media digital sukses dikooptasi oleh para konglomerat. Ross Tapsell secara tajam melihat praktek kapitalistik dalam industri media (termasuk perusahaan pers) di Indonesia.
Menurutnya. “Sekelompok pengusaha dengan cepat berhasil mendominasi era konvergensi, mengonsolidasikan sebagian besar industry. Media kapitalis di Indonesia pun menjadi “konglomerat digital”: pemimpin dalam produksi berita multiplatform, proses yang mendorong dibelinya pesaing-pesaing yang lebih kecil. Sebagian besar infrastruktur komunikasi di era digital berbiaya mahal. Perusahaan-perusahaan kecil menghadapi fakta bahwa mereka tidak memiliki modal untuk bersaing melawan raksasa konglomerat digital dengan dana lebih besar.”(Ross Tapsell: 2018)
Tak heran jika media yang besar semakin besar, ‘memakan’ media-media yang kecil. Konglomerasi media digital ini memungkinkan para konglomerat lebih kuat secara politis. Maka bukanlah suatu hal yang ajaib ketika mereka semakin partisan. Termasuk memandang aspirasi umat Islam dalam aksi 212 dan Reuni 212 tahun ini.
Media arus utama bukannya tidak mengakomodasi tema-tema Islam, tetapi melakukannya dalam bentuk yang sudah dikomodifikasi dan dikomersialisasi. Pesan-pesan relijius diubah menjadi jualan produk. (Ross Tapsell: 2018) Sinetron reliji, tayangan reliji berselingkuh dengan hiburan, atau infotainment ghibah berbalut “syar’i” mendominasi tema Islam dalam media arus utama.
Sumber :Kiblat.