Apa yang Paling Ditakuti dari Reuni 212?
Oleh: Hersubeno Arief
Angin perubahan (wind of change) itu sepanjang pagi hingga siang hari ini, Ahad (2/12), berhembus kencang dari arah lapangan Monas, Jakarta.
Hembusannya pasti terasa sangat kuat menelusup dan menebus ruang-ruang Istana Kepresidenan yang lokasinya hanya berjarak sepelemparan batu di sebelah Utara. Angin Selatan itu bahkan sesungguhnya sudah mulai terasa sejak sore, malam, hingga dini hari, ketika massa mulai berbondong-bondong mendatangi lapangan Monas dari berbagai arah penjuru mata angin.
Mereka tidak hanya hanya datang dari kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), namun datang dari berbagai kota di seluruh Indonesia, bahkan juga kota-kota di dunia. Mereka merangsek ke pusat jantung kekuasaan di Indonesia.
Romantisme dan kerinduan pada suasana Aksi 212 dan dorongan keras angin perubahan, membawa mereka datang berbondong-bondong dengan menggunakan berbagai moda transportasi darat, laut, dan udara menuju Monas. Arena yang diapit Istana Presiden, Istana Wakil Presiden, Balai Kota DKI Jakarta dan sejumlah kantor pemerintahan, Markas Kostrad TNI, dan Markas Besar TNI AD--menjadi saksi besarnya kekuatan rakyat.
Tak perlu diperdebatkan, apakah jumlah massa yang hadir 5 juta, 7 juta, 10 juta, atau hanya 300 ribu seperti diberitakan CNN, atau bahkan hanya 20 ribu seperti diprediksi Ketua IPW, Neta S Pane.
Melihat visual udara membludaknya massa, jumlah peserta reuni kali ini setidaknya sama, bahkan bisa jadi lebih besar dibandingkan Aksi 212 tahun 2016. Stasiun TV One memperkirakan jumlahnya lebih besar, hal itu setidaknya dapat dilihat dari padatnya shaf ketika peserta sedang salat.
Fakta ini menunjukkan sebesar apapun kekuatan yang dikerahkan, akan sulit melawan kehendak rakyat, apalagi kehendak alam. Seorang penguasa dalam falsafah Jawa memang seharusnya peka terhadap tanda-tanda alam. Tanggap ing sasmito. Peka terhadap hal-hal yang bersifat simbolis.
Beberapa pekan sebelum pelaksanaan acara, aparat keamanan, dan sejumlah tokoh penting, termasuk para pemuka agama mencoba membangun opini, reuni ini tidak penting dan mengada-ada. Tak cukup hanya dengan membangun opini, ada kelompok yang mengancam akan membubarkan dan membuat acara tandingan serupa.
Menariknya, mereka yang melakukan ancaman ini mengadakan jumpa pers di Markas Polda Metro Jaya. Kelompok yang menamakan diri “Jaga Indonesia” ini juga mengancam akan melakukan sweeping bendera tauhid. Foto-foto para aktivis “Jaga Indonesia” bersama pejabat Polda Metro Jaya tersebar luas di dunia maya.
Sejumlah spanduk yang mengecam dan mendiskreditkan reuni disebar masif di berbagai sudut Kota Jakarta. Para peserta reuni digambarkan sebagai kelompok yang akan memecah belah persatuan bangsa dan anti-NKRI.
Di media sosial, para buzzer kubu petahana juga diinstruksikan untuk tidak satupun menanggapi aksi reuni 212. Bahkan, untuk sindiran atau satir pun tidak diperbolehkan. Mereka mencoba menenggelamkan isu tersebut di medsos dan media konvensional dengan mengangkat berbagai isu lain.
Yang coba mereka tampilkan adalah #AndaiNikahanku10M. Tagar ini diambil dari kisah pernikahan seorang anak taipan di Surabaya yang digelar secara besar-besaran. Isu ini memang tengah digoreng oleh sejumlah media online besar yang sering diketahui digunakan untuk menggoreng isu yang mendeskreditkan kelompok oposisi.
Selain itu, para influencer dan petinggi partai pendukung petahana mencoba menggoreng isu korupsi keluarga Cendana dan pidato Prabowo di Singapura. Semua itu hanyalah pengalihan isu, sehingga perhatian publik teralihkan dari Reuni 212.
Tak cukup hanya dengan itu, aparat keamanan juga melakukan gelar pasukan besar-besaran di Lapangan Monas, hanya dua hari menjelang pelaksanaan reuni. Yang mencolok dari gelar pasukan kali ini adalah hadirnya personel dan peralatan tempur TNI dalam jumlah besar.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sampai mengaku terkejut dengan jumlah pasukan yang dikerahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjono jumlahnya mencapai 43 ribu. Sementara itu, Polri hanya mengerahkan sembilan ribu personel.
Kendati dibungkus sebagai apel Operasi Lilin, yakni operasi pengamanan Natal dan Tahun Baru, namun agak sulit untuk membantah, gelar pasukan itu sebagai show of force untuk menakut-nakuti kafilah yang akan hadir dalam reuni.
Pada tahun 2016, apel Operasi Lilin dilaksanakan pada tanggal 21 Desember, sementara tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal 22 Desember. Artinya hanya beberapa hari sebelum Natal. Sementara tahun ini sudah digelar pada awal bulan Desember yang kebetulan kok hanya dua hari menjelang reuni.
Pasukan TNI dengan jumlah jauh lebih besar dibandingkan Polri juga menimbulkan pertanyaan. Sebab, kehadiran pasukan TNI dalam operasi semacam itu adalah perbantuan untuk memperkuat Polri. Demikian pula halnya peran Panglima TNI yang bertindak sebagai inspektur upacara. Biasanya, apel semacam ini dipimpin oleh Kapolri.
Acara akbar seperti reuni 212 ini bukan kali pertama digelar. Jika dihitung sejak Aksi Bela Islam (ABI) 1, sampai puncaknya Aksi 212 yang menghadirkan jutaan orang, terbukti selalu berlangsung aman. Jadi, tidak perlu pengamanan yang berlebihan, apalagi menghadirkan peralatan tempur.
Di lapangan pada hari ini, aparat kepolisian dan TNI boleh dikatakan relatif nganggur. Mereka hanya menatap kosong para kafilah yang mengalir deras ke Monas. Sebagian tergagap dan kemudian mengumbar senyum ketika diberi salam dan diajak berjabat tangan oleh para peserta reuni.
Momentum Prabowo
Mengapa pemerintah dan aparat keamanan seperti sangat ketakutan dengan kegiatan tersebut? Mengapa mereka mengerahkan segala cara agar acara tersebut gagal, atau setidaknya pesertanya tidak membludak?
Jawabannya cukup jelas. Keberhasilan kegiatan ini adalah indikasi berhasilnya konsolidasi umat, terutama muslim perkotaan menjelang Pilpres 2019. Aksi serupa pernah berhasil menumbangkan Ahok pada Pilkada DKI 2017, maka bukan tidak mungkin juga bisa mengancam Jokowi. Apalagi, Pilpres tinggal beberapa bulan lagi.
Secara afiliasi politik, para pendukung 212 adalah penentang Jokowi karena dia dianggap sebagai pendukung utama Ahok. Dalam hal ini, posisi Prabowo lebih diuntungkan. Kehadiran Prabowo pada acara reuni semakin mempertegas itu.
Kendati hanya berpidato pendek karena khawatir dituding melakukan kampanye, namun kehadiran Prabowo merupakan sinyal politik yang sangat jelas. Apalagi kehadiran Prabowo mendapat sambutan yang luar biasa dari hadirin.
Reuni ini juga semakin menegaskan bahwa dari arah angin politik yang berhembus beberapa bulan menjelang Pilpres, sebagai penantang Prabowo mendapat momentum.
Dari dunia internasional, Prabowo mendapat angin segar dengan tampil pada forum 500 Gobal CEO yang digelar majalah The Economist di Singapura, dan endorsement dari PM Singapura Lee Hsien Loong yang menerimanya secara resmi di kantornya. Sementara di dalam negeri, keberhasilan Reuni 212 juga menunjukkan keberhasilan konsolidasi kelompok oposisi.
Publikasi survei yang menunjukkan selisih elektabilitasnya dengan Jokowi semakin menipis, menjelaskan mengapa pemerintah dengan berbagai cara mencoba mencegah Reuni 212.
Momentum kini di tangan Prabowo. Untuk kawasan perkotaan dan muslim terdidik, Prabowo dipastikan sudah lebih unggul. Pekerjaan rumah terbesar Prabowo adalah masuk ke kelompok miskin, pendidikan rendah, dan pedesaan. Di basis suara ini, Jokowi masih sangat kuat, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Masih ada waktu selama lima bulan yang tersisa. Prabowo harus bisa memanfaatkan momentum angin perubahan yang saat ini tengah berhembus kencang.
Seperti kutipan syair lagu 'Wind of Change' dari grup band terkenal asal Jerman, Scorpions: The future is in the air/I can feel it everywhere/blowing with the wind of change/take me to the magic of the moment.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di https://www.hersubenoarief.com/artikel/apa-yang-paling-ditakuti-dari-reuni-212/