Bencana (dan) Literasi
Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net
Dengan takdir Tuhan yang Ghani,Besar gelombang tidak terperi,
Lalulah masuk ke dalam negeri
Berlarian orang kesana kemari.
Syair Lampung Karam: 1888
10Berita – Rakyat Indonesia kembali berduka. Bencana kembali melanda tanah air. Kali ini tsunami menyapa pulau Jawa. Angka kematian sudah menyentuh lebih dari 400 orang, dan masih ada 150 lebih yang hilang, serta lebih dari 20 ribu orang mengungsi. Angka ini tampaknya masih akan terus bertambah seiring proses pencarian yang terus dilakukan.
Seakan bencana terus hadir di tengah-tengah kita. Padahal belum lama gempa mengguncang Lombok, tsunami dan gempa mengerikan menerkam Palu, hingga kemudian Selat Sunda berguncang dan air laut menelan korban di Selat Sunda. Setidaknya sudah 5.000 orang meninggal dunia dalam 3 bulan terakhir ini akibat bencana alam yang terus terjadi, di 3 wilayah yang berbeda.
Tsunami di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Termasuk di Selat Sunda. Tahun 1883, tepatnya 26-28 Agustus 1883, Gunung Krakatau menyemburkan isinya. Abu panas diletuskan hingga setinggi 70 km. Letusan Krakatau terdengar hingga ke Sri Lanka, Manila, Papua dan Perth (Australia). (Suryadi: 2010)
Lebih mengerikan lagi, letusan ini mengakibatkan gelombang tsunami hampir setinggi 40 meter, menghantam wilayah Ketimbung di Lampung. Ombak menggunung yang dikirim dari perairan Selat Sunda mencapai pantai Australia selang 5 jam kemudian, Sri Lanka 6 jam kemudian, Kalkutta (India) 9 jam kemudian, hingga Cape Town, Afrika Selatan 13 jam kemudian. 8.330 orang tewas seketika. Di Teluk Betong, 2.263 orang juga menjadi korban keganasan tsunami. Total korban tewas akibat letusan Krakatau kala itu mencapai 36.417 orang. (Suryadi: 2010 & 2012)
Menariknya peristiwa itu kemudian dicatat oleh salah seorang pribumi yang bernama Muhammad Saleh. Ia adalah seorang alim, yang bermigrasi dari Bone ke Lampung. Di Lampung, ia menjadi imam Masjid Jami Al Anwar, di Teluk Betung, Lampung. Masjid ini kemudian hancur akibat dari letusan Krakatau. (Suryadi : 2012)
Muhammad Saleh menulis kesaksiannya dalam bentuk syair berbahasa melayu, berjudul Syair Lampung Karam (Suryadi: 2010). Muhammad Saleh menggambarkan betapa dahsyatnya peristiwa tersebut.
Dengan takdir Tuhan yang Ghani,
Besar gelombang tidak terperi,
Lalulah masuk ke dalam negeri
Berlarian orang kesana kemari.
Ada yang memanjat kayu yang tinggi,
Masing2 membawanya gaduh,
Ada yang gaduh mencari bini,
Ada yang berkata: “Allahurabi.”
Setelah sampai setengahnya malam,
Dilihat gelombang sudahlah redam,
Kembalilah umat di atas makam,
Berbaring2 di atas tilam.
Sampai kepada siang harinya,
Berjalanlah orang mencari hartanya,
Ada yang mencari mayat anaknya,
Yang banyak mati kepada malamnya.
Kepada masa ketika itu,
Datang gelombang bukan suatu,
Banyak umat berharu biru,
Lari seperti dikejar hantu.
Mana yang tidak sempatnya lari,
Masuk ke rumah bersembunyi diri,
Disangkanya tidak rusaknya lagi,
Di dalam rumah yang banyak mati.
Ada kira2 pukul Sembilan,
Datanglah gelab tidak kelihatan,
Pada masa itu tidak ketahuan,
Angin keras pun membawa hujan.
Hujan nan turun seperti batu,
Tidak tertahan di tempatnya itu,
Kebesaran Tuhan memberitahu,
Supaya tobat qabla an tamutu.
Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi Meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isinya sangat ketakutan,
Kerasnya bunyi tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Menghadang mata umat sekalian.
Banyaklah lari membawa hartanya,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Di pukul gelombang hilang dianya,
Harta, perahu, habis semuanya.
Dari untaian kata Syair Lampung Karam kita terbayang betapa mengerikan letusan Krakatau yang menimbulkan tsunami kala itu. Orang-orang menganggapnya seperti kiamat. Syair itu juga mengingatkan kita untuk mengambil hikmah dari bencana itu. Meminta umat bertaubat.
Sayangnya, syair ini seperti hilang ditelan zaman. Ia tak lagi dibaca, diingat atau bahkan sekedar dikenalkan pada masyarakat sekitar Selat Sunda. Padahal seharusnya lewat syair ini setidaknya masyarakat dapat dikenalkan dengan satu peristiwa yang pernah melanda para leluhur mereka.
Persoalan masyarakat kita dengan lingkungan, potensi bencana alam memang berakar pada literasi. Sejak dini, kita tidak pernah dikenalkan dengan potensi bencana alam yang dapat melanda wilayah kita. Padahal Indonesia adalah negeri “Cincin Api.” Negeri dimana berdiri gunung berapi dan potensi gempa yang melintasi sejauh 40 ribu kilometer mengelilingi cekungan pasifik.
Pun demikian, sejak kecil kita tidak pernah dikenalkan dalam pendidikan sekolah tentang potensi dan bahaya yang bersemayam dalam negeri yang kita diami ini. Bacaan-bacaan mengenai berbagai bencana tak mudah diakses. Padahal pengenalan sejak dini membuat kita dapat meminimalisir kerawanan bencana dan mengatur mitigasi yang tepat.
Literasi Bencana
Pendidikan modern semacam sekolah nampaknya kalah dengan tradisi lokal masyarakat kita. Di Simeulue, Aceh, tradisi lisan lokal tentang tsunami diwariskan secara turun temurun. Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh tahun 2004, pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut membantu mereka mawas terhadap tsunami. Dari 70 ribu penduduk Simeulue, hanya tiga orang yang meninggal dunia akibat bencana tsunami tersebut.
Masyarakat Kepulauan Simeulue mengenal tsunami dengan istilah Smong. Smong sendiri berarti hempasan gelombang. Kisah ini dikenalkan masyarakat Simelue setelah gempa besar yang diikuti tsunami melanda mereka pada 1907. Mereka meyakini peristiwa itu dapat berulang kembali dikemudian hari. Dari peristiwa ini mereka mengenalkan Smong secara turun temurun lewat lisan.
Kisah mengenai Smong disisipkan melalui tradisi lokal yang disebut Nafi-nafi. Nafi-nafi adalah budaya tutur dalam masyarakat Simeulue berupa cerita yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu. Nafi-nafi biasanya diceritakan pada anak-anak ketika mereka selesai menanam cengkeh, atau selepas sholat magrib dan selepas membaca Al-Qur’an.
Sumber : Kiblat