OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 11 Desember 2018

Kinerja Ekonomi Buruk, Pamor Jokowi Makin Redup

Kinerja Ekonomi Buruk, Pamor Jokowi Makin Redup


10Berita  - Beberapa waktu lalu lembaga survei mendapati suara dukungan terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin tak bergerak alias stagnasi. Salah satu indikator penyebabnya adalah capaian kinerja ekonomi tidak sesuai dengan janji-janji manis Sang Presiden.
Apalagi janji-janji manis itu dibumbui oleh Menteri Keuangan bahwa target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 akan melampaui target. Betulkah itu kabar gemgira? Mestinya ya, karena selama empat tahun terakhir penerimaan APBN selalu di bawah target.
Pertanyaan lain, kalaupun di atas target, benarkah itu capaian untuk pertama kalinya bagi Indonesia? Pendek kata, kinerja buruk ekonomi iini disinyalir akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2019.
Perdebatan ini awalnya muncul ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis pendapatan negara bisa menembus target Rp1.936 triliun, melampaui Rp42 triliun atau 2,21% dari target APBN 2018 sebesar R[1.894 triliun. Menkeu mengklaim capaian pendapatan negara yang melampaui target itu adalah yang pertama kali diraih dalam UU APBN.
“Ini pertama kalinya penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam UU APBN,” jelas Sri Mulyani beberapa hari lalu.
Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penerimaan negara per 30 November 2018 baru mencapai Rp1.654,5 triliun atau 87,3% dari target dalam APBN 2018 yang sebesar Rp1.894 triliun.
Kendati realisasi penerimaan negara benar mencapai 100% pada APBN 2018, terlalu bombastis bila Menkeu menyatakan bahwa hal ini baru pertama kali terjadi. Mengingat pada 2007 dan 2008 Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono malah pernah terjadi realisasi penerimaan negara melampaui target APBN secara berturut-turut.
Pada 2007, target penerimaan APBN sebesar Rp690,3 triliun, realisasi penerimaan negara melampaui 2,54% mencapai Rp707,8 triliun. Hal yang juga terjadi di tahun 2008, saat itu target penerimaan APBN sebesar Rp895 triliun, realisasi penerimaan bahkan melampaui 9,68% hingga mencapai Rp981,6 triliun (Gede Sandra, rmol.com).
Dengan demikian klaim Menkeu bahwa apabila capaian penerimaan negara 2018 benar melampaui target APBN 2018 adalah prestasi yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah, adalah tidak benar. Seharusnya Sri Mulyani ingat, bukankah tahun 2007 dan 2008 dirinya juga selaku Menteri Keuangan di Pemerintahan SBY. Mengapa tidak jujur? Apakah takut memberikan kredit kepada Pemerintah SBY, yang berhasil dua tahun berturut-turut melampaui target penerimaan APBN? Tapi, ya sudahlah, kita coba bandingkan saja situasinya.
Pertanyaannya, apakah faktor yang menyebabkan realisasi penerimaan negara kalaupun harus melampaui target APBN 2018? Sedikitnya ada tiga faktor, dua yang pertama datang dari eksternal, bukan berdasarkan kinerja internal permerintah, yang ketiga malah datang dari kelemahan pemerintah sendiri.
Pertama, perbedaan antara asumsi harga minyak di APBN dan realisasi harga minyak dunia. Pada APBN 2018, asumsi harga minyak dipatok sebsar US$48, sementara realisasi harga minyak di tahun 2018 secara rerata sudah US$70 per barel. Antara asumsi dan realisasi terdapat selisih hampir 50%. Tingginya realisasi harga minyak dunia tahun ini menyebabkan per 30 November 2018 realisasi penerimaan PPh migas sebesar Rp59,8 triliun atau 156,7% dari target Rp38,1 triliun.
Faktor utama yang menyebabkan realisasi penerimaan melampaui target di 2018 juga mirip dengan apa yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Pada tahun 2007, asumsi harga minyak APBN US$60, APBN-P US$63, sementara realisasi harga minyak rata-rata 2007 sebesar US$73 per barel.
Pada tahun 2008, asumsi harga minyak APBN US$60, APBN-P US$83, sementara realisasi harga minyak rata-rata 2008 sebesar US$100 per barel. Bahkan pada 2008 harga minyak dunia sempat menembus angka US$148 per barel. Artinya, bila ada kondisi harga minyak dunia jauh di atas asumsi harga minyak APBN, realisasi penerimaan negara dipastikan akan melampaui target.
Kedua, naiknya harga komoditi batubara. Meskipun beberapa hari ini sudah kembali melemah ke kisaran 92 dolar AS/ton, sejak April hingga Oktober 2018 harga komoditi ini sempat menembus di atas US$100 per ton. Faktor harga komoditi batubara inilah yang sebabkan realisasi PNBP per 30 November 2018 mencapai Rp342,5 triliun atau 124,4% dari target yang hanya Rp275,4 triliun.
Ketiga, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang diakibatkan oleh defisit transaksi berjalan yang sangat lebar (3,37% terhadap PDB). Rupiah yang sempat melemah beberapa waktu hingga di atas Rp15.260, belakangan sudah bergerak di level Rp14.500, jauh di atas asumsi APBN sebesar Rp13.400 per dolar AS. Menurut Sri Mulyani sendiri, pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS dapat menambah penerimaan APBN sebesar Rp900 miliar hingga Rp1,5 triliun [bersambung].(Jft/Nusantaranews)
Sumber :  Konfrontasi 
Artikel ini tidak mewakili pandangan UC