Kisah Nina yang Selamat Satu Jam Sebelum Tsunami
10Berita , PANDEGLANG Langit di Pandeglang, Sabtu (22/12/2018), nampak begitu cerah. Matahari mengeluarkan sinar terangnya tanpa ragu, tidak seperti hari-hari sebelumnya.
“Wah enak nih hari ini cerah. Jemuran bisa kering,” canda warga Desa Caringin, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten. Maklum, kawasan Pandeglang beberapa hari terakhir selalu diguyur hujan dan angin besar.
Maka saat mentari mulai menyembul dari persembunyiannya, warga senang bukan kepalang. Kendati demikian, mereka tetap merasa awas, sebab Anak Gunung Krakatau beberapa kali berdentum dengan keras.
“Tumben ya Anak Krakatau, letusan dan getarannya besar bener. Gak kayak biasanya. Bisa takut nih wisatawan. Tahun baru bakal sepi,” komentar mereka.
Meski demikian, aktivitas berlangsung seperti biasa, tanpa kekhawatiran apa-apa. Mumpung cuaca hari itu begitu cerah, salah satu warga Desa Caringin, Nina (28) berniat menghadiri Festival Selancar Carita di Pantai Carita dengan keluarga. Mereka ingin memanfaatkan waktu liburan bersama sebelum kembali bekerja.
Belum sempat mereka menikmati suasana pantai, tiba-tiba saja keponakan Nina yang bernama Al Fariz, berlaku tidak seperti biasanya. Ia sangat rewel. Berbagai cara dilakukan untuk menenangkan, tapi tetap tidak berhasil.
Tak sabar karena Al Fariz tak kunjung tenang bahkan saat mereka sudah sampai pantai, bocah itu kian rewel. Maka, mereka pun memutuskan untuk pulang. Padahal, acara sudah mencapai puncak.
“Serius mau pulang? Kan masih ada hiburan band,” salah seorang keluarga Nina merasa ragu. Namun, akhirnya mereka pulang juga karena Al-Fariz sudah merengek. Tepat satu jam sebelum tragedi itu, mereka memutuskan meninggalkan Festival Selancar Carita. Tanpa tahu, bencana begitu dekat di belakang mereka.
Dan benarlah. Sekitar pukul 22.00 WIB, seperti diceritakan Nina kepada INA News Agency (INA)—sindikasi berita yang dikelola Jurnalis Islam Bersatu (JITU) saat menemuinya di masjid tempatnya mengungsi, Selasa (25/12)—dentuman suara Anak Krakatau terdengar menggelegar. Sangat keras.
Booommm! Booommm! Suaranya dentuman mengguncang, membuat jantung berdebar sangat kencang. Dentuman yang lebih keras dibanding suara pagi tadi. Ini diikuti dengan air laut yang mendadak surut, bahkan hingga sejauh 20 meter dari bibir pantai.
Lalu, tanpa bisa dibayangkan, gelombang air naik. Ombaknya bergulung-gulung, menjulang setinggi 17 meter dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Zraass! Gulungan ombak seketika menghantam kawasan Pantai Carita dan Tanjung Lesung. Tanpa pandang bulu, ia melibas benda apapun di depannya. Gelombang tsunami itu menerjang rumah-rumah, mobil, hingga manusia—bahkan menyedotnya ke dalam air.
Mereka yang bertahan di dalam pusaran ombak, berusaha menggapai apapun untuk berjuang hidup. Dengan tubuh babak belur dihantam batang pohon, hingga menabrak dinding rumah warga, mengerahkan diri sekuat tenaga untuk lepas dari jeratan gelombang ombak.
“Tsunami! Tsunami!” teriak orang-orang yang berlari lebih dulu saat menangkap tanda-tanda bencana. Masyarakat berlari kencang ke tempat yang lebih tinggi. Tak terpikir menyelamatkan harta benda, semua orang sibuk menyelamatkan diri.
Nina mendengar semua kisah itu dari kawannya yang bekerja di sebuah restoran dekat Pantai Carita. Melalui telepon, ia terengah memberi kabar bahwa tsunami datang menghantam mereka.
“Cepat Nin mengungsi, air pasang sangat tinggi!” perintah teman Nina, yang juga tengah berjuang menghindari tsunami.
Tanpa ba-bi-bu, Nina segera memboyong kedua orang tua, adik serta anaknya untuk lari ke tempat yang lebih tinggi. Mereka berdiam di Masjid Al Hidayah, mengevakuasi diri bersama orang-orang lainnya yang menyelamatkan diri.
“Pantas tadi Fariz rewel, udah firasat mungkin ya anak kecil,” ungkap Nina kepada INA.
Qadarullah, wasilahnya dari Fariz, Nina dan keluarga bisa selamat dari terjangan tsunami. Kini, meski dengan kondisi syok, ia masih mengungsi dari kediamannya guna menanti sampai kondisi kondusif dan aman untuk kembali. (Tommy/INA News Agency)
Sumber : Salam Online