OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 06 Desember 2018

Menista Islam dari Masa ke Masa

Menista Islam dari Masa ke Masa

10Berita, SEDARI dulu, ulu hati kehormatan umat Islam telah diinjak-injak oleh musuh-musuhnya lewat penistaan agama.Aksi nista mereka telah ciptakan keresahan dan benturan di tengah masyarakat. Di abad ke-18, hidup seorang haji yang pernah menggemparkan daerah Tuban, pesisir Jawa Timur. Namanya Ahmad Mutamakin. Ia telah mengabaikan syariat dan mengajarkan ilmu hakikat kepada orang-orang.
Diceritakan oleh seorang pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura I, bahwa“Ajarannya tentang ilmu mistik yang sesat/karena (ia meyebut dirinya) sama dengan kekuasaan kemauan Tuhan/yang menjadi perselisihan/dengan kukuh, keras dn kasar/ia menguraikan keyakinannya tanpa bisa dihentikan/yang berakibat adanya tuduh-menuduh/dan ini menjadi sunggh-sungguh dan luar biasa/pesisir timur (Jawa) ada dalam kekacauan/dan daerah Tuban Haji Ahmad Mutamakin/menjadi musuh banyak orang.”
Menyaksikan ulahnya itu, para ulama menasihatinya agar tidak melanggar hukum Islam. Namun ia tak berubah dan gentar dengan kemungkinan adanya hukuman raja. Bahkan gilanya, ia menamai anjing-anjingnya: Abdul Kahar (nama seorang penghulu) dan Kamarudin (nama seorang Ketib Tuban). Nasihat tak juga mempan, para ulama pesisir kemudian berkumpul dan memutuskan untuk melaporkannya kepada Raja Kartasura yang kala itu adalah Sunan Amangkurat IV. Lebih dari itu, para ulama pesisir juga mengedarkan surat undangan kepada ulama-ulama Pajang, Mataram, Kedu, Pagelan, dan mancanegara untuk bersama-sama melaporkan ulah Mutamakin kepada Raja.
BACA JUGA: Inilah Istana-Istana Peninggalan Peradaban Islam di Dunia
Berangkatlah mereka menuju ibukota kerajaan dengan dipimpin oleh Ketib Anom Kudus. Namun sayangnya, bersamaan dengan itu, sang raja wafat. Penyelidikan kasus Mutamakin pun ditangguhkan sampai raja berikutnya yaitu Paku Buwana II. Semua ulama dari distrik-distrik pesisir utara: Pajang, Mataram, dan Pagelan datang ke ibukota Kartasura dan berkumpul di rumah Patih Kerajaan, Danureja. Bupati-bupati pesisir, mancanegara dan Kartasura sepakat bahwa Mutamakin harus dibakar pada tonggak.
Penyelidikan kemudian dilakukan oleh Bupati Jero, Raden Demang Urawan. Dipanggillah Mutamakin menghadap. Dalam perkembangannya, seperti dilaporkan oleh Demang Urawan kepada sang raja, bahwa Mutamakin tidak tidur setelah shalat isya, tapi membaca kitab Bhima Suci. Dalam perjalanan ke Kartasura pun, lanjutnya, Mutamakin telah membacakan kitab yang sama, diawali dengan cerita Bhima yang melompat ke samudera untuk mendapatkan air kehidupan.
Mendengar laporan itu, raja memutuskan tidak menyetujui keputusan yang telah diambil oleh patih dan ulama. Raja menganggap tidak tepat bila Mutamakin dijatuhi hukuman mati karena Mutamakin tidak menyebarkan ilmu mistik kepada orang lain dan tidak mengubah akidah seluruh masyarakat Jawa. Raja lalu memerintahkan Raden Demang Urawan untuk menyampaikan keputusan kerajaan dan ketidaksenangan raja kepada patih, ulama, dan bupati.
Esok harinya, Raden Demang Urawan menyampaikan hal itu kepada mereka. Selain itu, ia menuduh Ketib Anom Kudus telah menimbulkan keragu-raguan dan kegelisahan di antara para ulama dengan melaporkan sesuatu yang belum pasti kepada Patih.
Dituduh seperti itu, Ketib Anom Kudus menegaskan bukan maksud para ulama untuk mengganggu raja, melainkan melindungi dan membela raja. Ia menilai tindakan Mutamakin tidaklah pada tempatnya. Kalau pengaruh kegiatannya itu makin meluas, lanjutnya, maka akan menjadi tantangan terhadap kewibawaan raja.
“Raja sama bagi pembela agama, haruslah berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar Sunah Nabi. Bila raja perbuat demikian, maka cahaya kerajaan akan redupdan kedudukan raja di jagad ini akan menurun. Raja adalah jantung dunia, sebagaimana manusia harus menyelematkan raja dan semua karyanya. Bila raja berbuat salah, maka rakyatlah yang akan menderita.”
Mendengar itu, Raden Demang Urawan tertundukkan. Kemudian ia kembali ke Keraton untuk melaporkan hasil pembicaraannya kepada raja. Setelah mendengar laporannya, raja memerintahkannya untuk mengampuni kejahatan yang dilakukan Mutamakin dengan syarat Mutamakin harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya yang tidak patut.
Raden Demang Urawan lalu menyampaikan rasa terima kasih raja kepada para ulama yang telah melindungi raja dari ancaman ajaran mistik yang sesat. Selain itu, ia juga mengungkapkan, meski raja telah memaafkan Mutamakin, tapi raja menilai Mutamakin telah berdosa dan hampir saja berkhianat.
Ejekan Minor untuk Sang Mayor
Memasuki abad ke-20, umat Islam tak hanya berperang dengan kolonial Belanda, tapi juga dengan nostalgia seabad silam. Kali ini mereka ditembaki peluru penistaan agama yang berbeda-beda. Di masa itu, kota Surakarta pernah diguncang oleh surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 No.5. Surat kabar yang diterbitkan N.V.Mij. t/v d/z Albert Rusche&Co. dan dipimpin Martodarsono itu, memuat artikel Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”. Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Artikel Djojodikoro tersebut menuliskan antara lain,“Marto: ‘Ah, seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek ajam tjengoek brendel. Sebab Goesti Kangdjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjioe A.V.H. dan minum madat, kadang kadang kletet djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.’
Karena artikel ini menghina umat Islam, maka timbul reaksi keras dan amarah terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hiswara Peristiwa ini oleh sejarawan Deliar Noer dipandang sebangai pertarungan antara kaum santri dan abangan. Sebab sejak beberapa tahun sebelumnya dan setelah peristiwa tersebut, kaum nasionalis Jawa yang abangan selalu melihat Islam sebagai tandingan yang berasal “dari luar”, yang hendak menekan “kepercayaan Jawa”. Mereka kemudian mendirikan Comite Voor Het Javaansch Nationalism (Panitia Kebangsaan Jawa) untuk menyalurkan aspirasi ideologis mereka.[6]
Guncangan di Surakarta turut dirasa saudara seiman di Surabaya. Mengetahui Nabi-nya dinista, api tauhid dalam dada umat Islam Surabaya berkobar-kobar. Maka pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit-seorang pemimpin Al-Irsyad Surabaya dan juga komisaris Centraal Sarekat Islam- mengadakan pertemuan maraton Sarekat Islam (SI) secara besar-besaran di Surabaya, untuk membahas penistaan agama a la Djawi Hiswara
Sementara itu, Abikoesno Tjokrosoejoso, adik dari Tjokroaminoto yang juga sekretaris SI Surabaya, lewat tulisannya di majalah Medan Moeslimin, mengecam ulah Martodarsono dan Djodjodikoro, mendorongsunan agarmenghukum keduanya, serta menggerakkan kaum muslimin untuk membela Islam
“Soenggoeh si Marto,teroetama sekali penoelis si Djojodikoro (laanahoellahoe) soenggoeh berniat dan segadja menghina Nabi kita (s.a.w) dan djoega menghina koerang lebih 300.000.000 orang menoesia jang memeloek igama Mohammadiah.
Dan Hoofd redacteur (Sie!) Martodarsono (laanahoellahoe) sama djahatnja djoega dengan si Djojodikoro (laanahoellahoe). Soenggoehpoen “Hred” (Martodarsono) soedah menerangkan dalam nootnja, bahwa perkataan jang demikian itoe tiada boleh dimuat dalam soerat kabar, sebab mesti mendjadikan marahnja orang-orang jang sama “tidak mengerti”, tetapi “Hred” (Martodarsono) soedah koerang-adjar sekali soeka memoeatkan toelisan itoe djoega.
Bagaimana djoega si Djojodikoro dan si Martodarsono akan boleh mendjawab dan membantah, tetapi kita telah ketahoei dengan sendjata-sendjatanja: di Djawi Hisworo ada termoeat toelisan, jang sangat menghina djoendjoengan Nabi kita (s.a.w) dan menghina djoega kita sekalian kaoem Islam!
Kami ta’dapat perkata’an boeat menjeboetkan kedjahatannja doea orang ini, karena soedah menulis dan memoeat perkata’an jang sangat kedji itoe.
Hal ini kami serahkan kepada fikiranja semoea kaoem kita (kaoem Islam). Teroetama boeat sekarang ini kami mempersembahkan perkataan pendek ke bawah doeli Seri Soesoehoenan di Soerakarta:
‘Baginda ketahoeilah, di dalam dairah negeri baginda (Solo) ada terbit satoe soerat kabar, jang memoeat perkata’an perkata’an amat kedji dan sangat menghina djoendjoengan Nabi dan menghina kita kaoem Islam semoea itoe. Betapakah fikiran baginda?
Patik mengetahoei baginda, bahwa baginda seboetkan diri baginda: Abdurrachman Sajiddin Panotogomo. Patik pertjaja dengan jakin, bahwa baginda akan mendapat alasan dan sebab-sebab, boeat memberi pembahasan kepada kedjahatan, jang menghina Nabi dan kita sekalian kaoem Islam itoe. Pergoenakanlah baginda ampoenja kekoesa’an!’
Lain daripada itoe maka pengharapan kami kepada sekalian saudara kaoem Moeslimin, lebih doeloe saudara-saudara kaoem Moeslimin jang tinggal di Soerabaja gerakkanlah dirimoe masing-masing gerakkanlah bestuurnja perhimpoenanmoe masing-masing, boeat mengoempoelkan daja-oepaja akan memberi pembalasan sepatoetnja kepada orang-orang jang telah menghina Nabi dan menghina kita sekalian kaoem Moeslimin itoe. Boekannja pembalasan dengan kekoeatan tangan-kaki dan lain-lain sebagainja, tetapi pembalasan jang memboektikan keroekoenan dan persatoean kita.
Di dalam vergadering-vergadering, jang kami harap lekas kedjadian di Soerabaja, kami akan memboeka bitjara pandjang-lebar tentang perkara djahat terseboet di atas. Ketjoeali perkara-perkara jang lain, haroeslah vergadering-vergadering itoe mempersembahkan satoe motie ke bawah doeli Seri Soesoehoenan di Soerakarta dan Pemerintah Agoeng di Hindia.
Hai, saudara-saudarakoe kaoem Islam, toendjoekkanlah, kamoe boleh berbuat apa dalam perkara ini!”
Kemudian pada awal Februari , Tjokroaminoto mendirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya, untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim.” Diketuai oleh Tjokroaminoto sendiri, Sosrokardono sebagai sekretaris, dan Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib, seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya, menjadi bendahara.
Pengaruh seruan TKNM untuk membela Islam tampak sangat memukau.Tjokroaminoto dan kawan-kawan berhasil membangun opini publik dan membuat isu Surakarta itu menasional. Ketika Vergadering(rapat umum) di Surabaya pada 6 Februari, TNKM berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Aksi protes yang diadakan serentak pada 24 Februari di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari 10.000 gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Yogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali di bawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM.
BACA JUGA: Tancapkan Pohon di Atas Kuburan, Adakah Anjurannya Dalam Islam?
Dukungan TKNM juga datang dari H. Misbach, seorang muballigh yang juga pimpinan majalah Medan Moeslimin. Ia menyebarkan pamflet yang mengecam ulah Martodarsono dan Djojodikoro, serta meminta diorganisirnya vergadering protes dan dibentuknya subkomite TNKM. Lebih dari itu, ia bersama pedagang batik muslim menyumbang paling banyak kepada TNKM dan juga mempercayakan kepemimpinan TKNM pada pegawai keagamaan, kiai, dan guru ngaji.
Permintaan H. Misbach dikabulkan. Vergadering lalu diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta, dan dihadiri oleh lebih dari 20.000 umat Islam. Sumbangan kemudian dikumpulkan, dan pendirian subkomite TKNM diputuskan. Hisamzainijnie terpilih sebagai ketua, Poerwodihardjo menjadi sekretaris, dan orang Arab, Kiai, serta pegawai keagamaan kesunanan menjadi bendahara, komisaris dan penasihat.
Darmogandul Tafsirkan Ayat Al-Qur’an Cabul
Di abad 20 , umat Islam tak hanya berperang dengan kolonial Belanda, tapi juga dengan nostalgia seabad silam. Tumbuh suburnya aliran kebatinan di Jawa tak lepas dari pengaruh kitab-kitab Jawa, termasuk diantaranya kitab Darmogandul. Kitab yang ditulis pada masa kolonial Belanda itu sebagian besar menceritakan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Parahnya, kitab itu banyak melecehkan Islam, seperti menafsirkan ayat suci Al-Qur’an dengan kata-kata porno.
“Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba, fihi, hudan lilmuttaqin artinya menurut Darmogandul ialah Alif adalah huruf, hidup tak kena mati. Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit). Kitabu la: kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa. Raiba fihi: perempuan yang pakai kain. Hudan:telanjang. Lil muttaqin: sesudah telanjang kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita.”
Mengetahui adanya pelecehan Islam dalam kitab itu, maka pada pertengahan Maret tahun 1925, Muhammadiyah di Yogyakarta memrotes kitab Darmogandul yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie (penerbit Tionghoa yang berada di Kediri, Jawa Timur).
Mencaci Ibadah Haji
Masih di masa kolonial Belanda, kembali terjadi penistaan agama lewat media massa. Sekitar bulan Desember tahun 1930, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia dan dipimpin oleh Dr. Soetomo, memuat berbagai tulisan yang menghina ibadah haji. Dalam tulisan-tulisan itu, penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya “menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam untuk pergi keDemak saja daripada ke Mekah.
Maka gegerlah umat Islam. Ormas Islam yang bergerak di bidang politik, sosial, dan keagamaan lalu mengadakan rapat-rapat umum yang menyerang penulis, Dr. Soetomo, dan Studieclub Indonesia. Di berbagai kota dibentuklah panitia-panitia untuk membentuk opini publik dalam menghadapi serangan orang-orang “kebangsaan”.
Setelah melihat reaksi umat Islam, Dr. Soetomo berusaha berdandan dengan mengatakan kepada pers bahwa ia dan ayahnya juga seorang muslim dan sering menyumbang kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Pernyataan itu oleh Tokoh Persis, M.Natsir, dalam Majalah Pembela Islam disebut sebagai ‘sahadat model baru’.
Kehebohan Soeara Oemom habis terbenam, terbitlah tulisan nista lainnya yang dikarang oleh seorang berinisial Tj. W. di surat kabar Soeara Indonesia. Dalam tulisan itu, ia menghina rukun dan perintah agama Islam. Salah satu rukun Islam yang dihina, masih sama dengan yang sebelumnya, yaitu ibadah haji. Tulisan itu lalu dikritisi oleh M. Natsir dengan tulisannya di Majalah Pembela Islam.
“Tuan Tj. W. yang katanya mementingkan ‘Ichonomie’ amat pandai menghitung ‘beberapa kerugian’ Indonesia karena ada orang naik haji tiap-tiap tahun, tidak pernah berlaku jujur dan mempertimbangkan keluar uang itu dengan kemanfaatan yang diterima oleh orang Indonesia, dalam penghidupan politik dan ekonomi, yang nyata-nyata kelihatan tiap-tiap hari.
Apakah ini karena kebenciannya kepada Islam? Tuan Tj. W. c.s. yang amat pandai dan rajin menghitung dengan jarinya ‘kekayaan Indonesia’ yang katanya ‘hanyut’ ke tanah Arab itu, tapi tak pernah mau menghitung berapa kekayaan Indonesia yang hanyut ke tanah Eropa karena pemuda-pemuda Indonesia yang pergi ke sana beberapa tahun supaya sesudah kembalinya jadi buruh pemerintah atau kapital asing.”
Dua tulisan yang merendahkan haji ituseperti mendukung kebijakan haji pada masa Hindia Belanda. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan bermacam-macam aturan yang membatasi dan menghambat pelaksanaan ibadah haji. Alasannya karena pemerintah Belanda trauma dengan perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda banyak digerakkan oleh para haji dan ulama.
Teror PKI di Orde Sang Proklamator
Meski mendapat kecaman yang keras, namun penistaan agama masih saja berlanjut di masa orde lama. Sejak pemilu 1955, posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) Surabaya semakin menguat, terlebih didukung aparat tentara. Dengan kekuatan itu, maka pada tahun 1962 segerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani yang garang, menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya.
Mereka lalu menginjak-injak tempat suci itu sambil bernyanyi Genjer-genjer dan menari-nari. Lebih dari itu, mereka juga menginjak-injak dan membakar Al-Qur’anserta kitab-kitab lainnya.Mereka juga bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani. Terjadilah benturan antara warga Nahdiyyin dan pendukung PKI. Pasukan NU berhasil menang dan akhirnya PKI diseret ke pengadilan.
Dasar PKI, tak kapok-kapok juga, setahun kemudian, PKI kembali berulah.Pada tahun 1962, mereka menghina Islam dengan pementasan reog, ludruk, dan ketoprak dengan lakon matinya Tuhan. Akibatnya, perkelahian antara NU dan mereka pun tak terhindarkan.
Hinaan Kasar untuk Nabi Muhammad di Makassar
Tumbangnya orde lama dan tegaknya orde baru, rupanya tak juga menghapus penistaan agama. Bila sebelumnya Nabi Muhammad dihina oleh media massa, kali ini dihina oleh oknum guru beragama Kristen di Sekolah Tinggi Ekonomi, Makassar, H.K. Mangunbahan. Di hadapan murid-muridnya yang mayoritas muslim itu, i amuntahkan kata-kata penuh kebencian.
“Nabi Muhammad adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol, sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.”Mendengar itu, meletuslah perasaan hati dan menaiklah darah murid-murid muslim tadi. Akibatnya, pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh mereka.
Kala itu Pelajar Islam Indonesia (PII) berkumpul di depan Pusat Kesehatan Muhammadiyah Makassar. Di sana, PII membuat deklarasi yang menyatakan bahwa mereka siap mati sebagai syuhada demi membela Islam. Pada saat yang bersamaan, melalui stasiun radio HMI, pemimpin HMI, Jusuf Kalla ( yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI), menginstruksikan semua anggota HMI dan organisasi muslim lainnya untuk datang ke daerah dekat masjid pada pukul 8 malam. Setelah shalat Isya, terjadi penyerangan oleh beberapa orang. Mereka mulai merusak beberapa bangunan kaum Kristen. Teriakkan“Allahu Akbar, belaa agamamu, jadilah syahid!”keluar dari pengeras suara masjid.[Setelah itu, barulah Dewan Gereja IndonesiaMakassar mengkonfirmasi bahwa pernyataan H.K. Mangunbahanadalah pernyataan pribadi dan menyalahkan perbuatan oknum guru tersebut.
Berita pengrusakkan beberapa gereja di Makassar, tersiar sampai Jakarta. Di Jakarta, Tokoh Dewan Dakwah, M. Natsir, menilai aksi tersebut tidak baik dan tentu melukai kaum Kristen. Namun, Perdana Menteri pertama Indonesia itu menegaskan hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatic approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan.
“Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius.”
BACA JUGA: 73 Nama Bayi Laki-laki Islami Beserta Maknanya
Sahabat M.Natsir, Buya Hamka, juga turut menanggapi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu menegaskan sesungguhnya tidak ada orang Islam yang menyukai pengrusakkan gereja. “Kalau merusak gereja memangajaran Islam, lanjutnya, maka sudah lamalah beratus-ratus gereja di kota-kota yang mayoritas penduduknya muslim dan sadar akan agamanya, telahdirusak dan diruntuhkan orang. Namun kenyataannya berpuluh tahun sebelum anak-anak merusak gereja di Makassar itu , telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.”
Apabila oknum guru tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad SAW di depan murid-muridnya, maka tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu.
Prahara Sastra
Pada tahun 1968, dunia sastra dihebohkan dengan terbitnya Cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karangan Kipandjikusmin. Cerpen yang dimuat di majalah Sastra edisi Agustus 1968 No. 8 Th. VI itu dinilai telah menodai kesucian agama Islam.
Dalam Cerpennya, Kipandjikusmin menceritakan kondisi masyarakat Indonesia pada saat zaman Gestapu yang masih dikuasai oleh paham Nasionalisme Agama Komunisme (Nasakom). Idenya menulis Cerpen itu berawal dari rasa geli melihat golongan yang dahulu mendukung PKI, malah berbalik menyerang PKI setelah PKI terganyang. “Saja mau bilang bahwa umat Islam ikut bersalah djuga dengan meletusnja Gestapu!”[31]. Namun masalah mencuat manakala ia mengimajinasikan Tuhan, Nabi, dan Malaikat seperti makhluk biasa dalam Cerpennya. Tuhan digambarkan menggeleng-gelengkan kepala, memakai kacamata emas,dan mengangguk-angguk.
“Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng2kan kepala, tak habis pikir pada ketidak_puasan dibenak manusia.”
“Kemarau kelewat pandjang disana. Terik matahari terlalu lama membakar otak2 mereka jang bodoh. (Katjamata model kuno dari emas diletakkandiatas medja dari emas pula).”[33]
“Tuhan hanja mengangguk2, senjum penuh pengertian-penuh kebapaan.”
Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril dilukiskan menyamar menjadi seekor elang.
“Sampai djuga ketelinga Muhammad dan Djibrail jang mengubah_diri sepasang burung_ elang. Mereka bertengger dipuntjak menara emas bikinan pabrik Djepang. Sepasang elang terbang di udara sendja Jakarta jang berdebu, menjesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.“
Kontroversi pun akhirnya pecah. Para ulama dan masyarakat memrotes Kipandjikusmin. Protes pertama terjadi Medan. Karya ini dinilai menghina dan melecehkan agama Islam. Sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang dan menyita majalah Sastra No. 8 edisi Agustus tahun 1968.
Menghadapi itu, Pimpinan majalah Sastra, Darsjaf Rahman, malah balik protes dan menuntut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Protes ini dilayangkannya atas dasar nilai-nilai asasi perjuangan kemerdekaan pers yang menjiwai pers Indonesia. Ia juga meminta bantuan dan dukungan penuh dari SPS, PWI, serta seluruh simpatisan majalah Sastra.
HB Jassin, selaku Pemimpin Redaksi majalah Sastra juga ikut protes. Menurutnya, Cerpen Kipandjikusmin tidak menghina agama Islam. “Bagi saja pengarangnja mentjoba mengatakan, bagaimana seandainja para Nabi menjaksikan kebobrokan jang ada di sekitar kita. Ia menggambarkan suatu idee, bukan Tuhan dan Nabi sendiri. Saja anggap tuduhan ‘menghina agama Islam’ tidak bisa dikatakan setjara mutlak. Pengertian ‘penghinaan’ itu relatif sekali. Bagi saja LANGIT MAKIN MENDUNG tidak menghina agama.”
Setelah itu, sekelompok pemuda dari Ormas Islam mendatangi kantor majalah Sastra dan rumah HB. Jassin. Mereka menuntut Darsjaf Rachman untuk menarik kembali Cerpen Kipandjikusmin “Langit Makin Mendung” dan meminta maaf kepada umat Islam. Apabila tuntutannya tidak dikabulkan,maka mereka mengultimatum tidak akan bertanggung jawab manakala terjadi tindakan fisik di kantor majalah Sastra dan kepada pemimpin-pemimpinnya. Tindakan fisik itu, kata mereka, akan datang dari pemuda-pemuda Ansor, Muhammadiyah, PMII, dan HSBI.
Tapi Darsjaf Rachman menolak tuntutan mereka. Sebab, katanya, peristiwa itu bukanlah sekadar soal antara majalah Sastra dan mereka. Ia juga menolak memberitahu nama dan alamat pengarang Kipandjikusmin ketika seseorang menanyakan hal itu. “Hal itu sepenuhnja termasuk rahasia redaksi dan saja berkewadjiban untuk tidak menjiarkannja.”
Senin malam pukul 18.30, rumah HB. Jassin didatangi enam pemuda muslim. Mereka berdebat dengan HB Jassin tentang kebebasan mencipta. Pada kesempatan itu, HB. Jassin juga menolak tuntutan mereka untuk mencabut kembali Cerpen “Langit Makin Mendung”.
Kamis pagi, sekitar lima puluh pemuda mendatangi dan mencoret-coret kantor majalah Sastra yang terletek di Jalan Kramat Sentiong No.43. Sebelum melakukan aksinya itu, sekelompok pemuda itu terlebih dahulu menanyakan keberadaan pemimpin redaksi dan penanggung jawab Majalah Sastra kepada penjaga kantor. Dan penjaga kantor menjawab tidak ada.
Setelah mendengar jawaban itu, sekelompok pemuda tersebut menempelkan pamflet dan mencoret-coret dinding kantor majalahSastra. Di pamflet dan dinding itu tertulis, “Orde Baru takkan sukses selama masih ada madjalah SASTRA”, “Ini Kantor LEKRA”, “Madjalah Sastra Komersil dari Lekra dan PKI”, “H.B. Jassin kunjuk”, “Madjalah Sastra anti Islam”, “H.B.Jassin Islam-phobi”, “Madjalah Sastra hina ummat Islam”, H.B. Jassin adalah tangan2 kotor G30S/PKI“ dan lain sebagainya. Di semua pamflet yang ditempel, terdapat stempel “Gerakan Pemuda Ansor Tjabang Senen”.Sebelum meninggalkan tempat, mereka juga sempat menurunkan dan mencoret-coret papan nama majalah Sastra.
Aksi protes juga datang dari Pemuda Mahasiswa dan Peladjar Islam (PMPI). Kamis pagi, Koordinator pusat PMPI, mengadukan Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab majalah Sastra kepada Kejaksaan Agung. Menurut pimpinan PMPI, pengaduan itu disertai fakta-fakta tentang bentuk penghinaan terhadap umat Islam, diantaranya tentang penggambaran Tuhan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Para sastrawan pun bereaksi. Situasi makin memanas. Sastrawan-satrawan yang kontra terhadap Cerpen “Langit Makin Mendung” diantaranya: Jusuf Abdullah Puar, Buya Hamka, Wiratmo Soekito, Moh. Zabidin Jacub SH, Ajib Rosidi, dan Abdul Muis[43], dan Taufiq Ismail. Buya Hamka menegaskan bahwa dalam ajaran Islam, tidak boleh menggambarkan sosok Tuhan. [44]Hal senada juga ditegaskan oleh Ajib Rosidi dan Taufiq Ismail.
Menurut Ajip, kebebasan mencipta dengan menggunakan imajinasi mempunyai batasan-batasan dan tidak sepenuhnya bebas. [45]Dan menurut Taufiq, kebebasan menampilkan Tuhan, Rasul, dan para Nabi ada batasannya. Batasannya, lanjut Taufiq, adalah adab dan logika yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. “Men-zat-kan Tuhan dalam karya sastra, mengenakan padanya jasmani duiawi, sudah merupakan usaha2 literer yang melampaui batas kebebasan bagi seorang muslim yang mengerti aqidah. Demikian Agungnya Dia, sehingga tidaklah dapat Dia dirupakan dengan sesuatu. Kalau pun Dia dirupakan dgn sesuatu, maka bukannlah dia itu Tuhan. Salah satu sifat Allah adalah “mukhalafatuhulil hawaditsi”, jakni “tidak menjerupai sesuatu.”
Mengarungi gelombang protes, Darsjaf Rahman selaku Pemimpin Umum majalah Sastra, akhirnya meminta maaf kepada umat Islam.
“Sebagai suatu imaginasi dalampengungkapan jang bersifat fiktif dalam sedjarah kesusastraan Islam, terutama dalam dialog antara machluk dgn chalikNja bukan suatu hal jang baru.
Tetapi djika ada persoalan2 di dalam pengungkapan mengenai Tuhan dan RasulNja jang menurut tanggapan seseorang atau golongan berdasarkan DZOUQ masing2 tidak dapat diterima jang berhubungan dengan soal2 jang bersifat Agung, dlm hal inidjika madjalah Sastra terlalai dan tersalahkan, maka madjalah Sastra mohon maaf sebesar2nja.
Kepada Allah Azza wa Djalla kiranja berkenan memberikan maghfiroh-Nja.”
Setelah mengetahui reaksi dari berbagai kalangan, Kipandjikusmin pun, lewat suratnya, bersedia meminta maaf dan mencabut Cerpennya.
“Sebermula sekali2 bukan maksud saya untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata2 hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi s.a.w., Sorga dll; disamping menertawakan kebodohan dimasa regime Soekarno. Tetap rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan dikalangan ummat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam.
Atas semuanya, saya dengan segala keterbukaan hati mohon dimaafkan oleh segenap ummat Islam atas keteledoran itu. Konsekwensi yang logis dgn ini saya menyatakan bersedia mencabut cerpen tsb kemudin dianggap tak pernah ada.”[48]
Setelah membaca surat permintaan maaf dari Pimpinan majalah Sastra dan Kipandjikusmin, PMPI menganggap tuntutan terhadap majalah Sastraselesai. Namun begitu, PMPI tetap meminta pihak majalah Sastra berusaha menarik majalah Sastra No.8 dari tempat-tempat penjualan. [49] Kalau sudah ditarik, kata PMPI, rencana semula mengadukan Majalah Sastra ke Kejaksaan Agung, akan ditangguhkan. PMPI juga mengharapkan Kejaksaan dapat membantu terlaksananya penarikan majalah Sastra No.8 dari peredaran.
Esoknya, di edisi majalah Sastra Oktober 1968, Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin mengumumkan bahwa, “Madjalah SASTRA No.8/Agustus 1968 tidak akan diedarkan lagi dan kepada agen-agen madjlah Sastra jang masih punja persediaan nomor tersebut diharapkan memperhatikan hal itu.”
Mereka juga menjelaskan bahwa pada hari Senin, tanggal 28 Oktober 1968, Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat telah memanggil Pimpinan majalah Sastra terkait persoalan majalah Sastra No.8. Usai pembicaraan, mereka mengungkapkan, “Untuk memelihara perdamaian diantara sesama ummat Islam dan untuk menghindarkan segala sesuatu jang bisa merusakkan persatuan diantara ummat Islam, maka pimpinan madjalah Sastra telah mengambil kebidjaksanaan pula, sesuai dengan sikap Badan Pusat Koordinasi PMPI terhadap Sastra, membatalkan pengaduannja terhadap Kedjaksaan Tinggi Sumut di Medan.”
Rupanya gelombang protes belum benar-benar reda. Meski kelihatannya telat, Menteri Agama, K.H. Mohd Dachlan, di HARIAN KAMI 29 Oktober 1968, menganggap Cerpen “Langit Makin Mendung” merupakan penghinaan terhadap Tuhan, agama, para Nabi, malaikat, para kiai/ulama, pancasila dan UUD 1945.
Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa Kipandjikusmin dan Penanggung jawab majalah Sastra wajib ditindak tegas oleh Kejaksaan Agung dan harus diseret ke meja hijau dengan menghadirkan penasihat dari ahli agama. “Permintaan maaf oleh penanggung djawab madjalah Sastra dan penulis tjerpen ‘Langit Makin Mendung’ tidak sebanding dengan besarnja penghinaan jang telah dilontarkan kepada Allah dan Rasulnja jang didjundjung tinggi oleh 560 djuta ummat Islam di seluruh dunia.” Bahkan ia sampai memberikan tanggapan dan mengirim surat kepada Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, Menteri Penerangan, Menteri P dan K, Panglima AKRI, Pusroh keempat angkatan, PWI Pusat, dan PWI DCI Djaya terkait masalah itu.
Polemik Cerpen “Langit Makin Mendung”akhirnya dibawa ke pengadilan. Meskipun pengarang pada tanggal 25 Oktober 1968, meminta maaf atas Cerpennya, namun sebagai pemimpin redaksi Majalah Sastra, HB. Jassin, tetap harus bertanggung jawab. Penyelesaian di meja hijau pun berlangsung alot. Adu pendapat rupanya tidak hanya terjadi di media massa, tapi juga di pengadilan. HB. Jassin dalam persidangan sering mengingatkan bahwa cerpen “Langit Makin Mendung” adalah hasil imajinasi dan personifikasi pengarang yang mempunyai dunia lain. Ia memberikan pernyataan dan kesaksian bahwa karya tersebut adalah hasil imajinasi semata, sehingga tidak dapat disamakan dengan hukum atau kitab agama.[55] Akibatnya proses persidangan berlarut-larut sampai sekitar satu tahun, dari mulai 30 April 1969 sampai penjatuhan hukuman pada 28 Oktober 1970.
BACA JUGA: Sejarawan: Nasionalisme Indonesia tanpa Islam adalah Nonsense
Akhrinya, HB. Jassin dijebloskan ke penjara setelah keputusan dibacakan oleh Hakim Ketua Anton Abdulrachman SH pada sidang hari Rabu, 28 Oktober 1970. “Terdakwa Hans Bague Jassin (53 th) selaku penanggung jawab Majalah Sastra terbukti bersalah melakukan penyalah gunaaan dan penodaan terhadap agama Islam. Oleh karenanya terdakwa dikenai hukuman penjara bersyarat selama 1 tahun dalam masa percobaan 2 tahun. Dengan barang bukti berupa naskah asli dari cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang menurut Hakim nyata-nyata menghina agama Islam dan sejumlah Majalah Sastra terbitan bulan Agustus no. 8 tahun ke VI yang memuat cerpen tersebut disita. Disamping itu terdakwa juga diwajibkan membayar segala biaya perkara.”
Menariknya, prahara sastra inimembuat HB. Jassin semakin mendalami ilmu agama. Setelah menyelesaikan perkara, ia semakin giat belajar bahasa Arab, Al-Qur’an, dan kesusastraan. Bahkan ia sampai membuat buku terjemahan Al-Qur’an.
Peringkat Teledor Ala Tabloid Monitor
Bulan September 1990, sebuah tabloid yang satu kelompok dengan Harian Kompas dan Gramedia, Monitor, menggagas program Kagum 5 Juta, sebuah program pengumpulan pendapat pembacanya tentang tokoh yang paling dikagumi beserta alasannya. Dan bagi pemenang yang beruntung, akan dihadiahi lima juta rupiah oleh Monitor. Antusias pembacanya dalam mengikuti program itu terbilangtinggi. Seluruh kartu pos yang masuk ke meja redaksi berjumlah 33.963 lembar. Senin, 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket. Di hasil angket, Nabi Muhammad saw menempati urutan kesebelas sebagai tokoh yang dikagumi pembaca, satu tingkat dibawah pemimpin redaksi tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto.
Peringkat Nama Jumlah Kartu Pos
1. Presiden Soeharto 003
2. Prof DR BJ Habibie 975
3. Presiden Soekarno (alm) 662
4. Iwan Fals 431
5. KH Zainuddin MZ 633
6. Jenderal Try Sutrisno 447
7. Saddam Hussein 847
8. Ny Hardiyanti Indra Rukmana 800
9. Menpen H Harmoko 797
10. Arswendo Atmowiloto 663
11. Nabi Mohammad SAW 616
12. Christine Hakim 430
13. Menkopolkam Soedomo 405
14. Nicky Astria 392
15. Hetty Koes Endang 357
16. Rhoma Irama 350
17. Rudi Hartono 278
18. Dede Yusuf 263
19. Nike Ardilla 248
20. Menteri KLH Emil Salim 233
21. Mikhail Gorbachev 219
22. Susi Susanti 206
23. RA Kartini (alm) 199
24. Anggun C Sasmi 195
25. Titiek Puspa 189
26. Titiek Sandora 171
27. Jenderal Sudirman (alm) 155
28. Sudono Salim (Liem Sioe Liong) 155
29. Mohammad Hatta (alm) 153
30. M Yusuf 145
31. Menteri P&K Fuad Hasan 139
32. Mendagri Rudini 137
33. Bunda Theresa 132
34. Dewi Yull 126
35. Marissa Haque 123
36. Ikang Fawzi 118
37. Margareth Thatcher 116
38. Bob Hasan 116
39. Paramitha Rusady 115
40. Trio Libel’s 112
41. Menlu Ali Alatas 107
42. Affandi (alm) 91
43. Menparpostel Soesilo Sudarman 90
44. Ebiet G Ade 88
45. Setiawan Djodi 83
46. Corry Aquino 82
47. Sultan Hamengkubuwono IX(alm) 82
48. Sukarton Marmo Sudjono (alm) 81
49. Sarwo Edhi Wibowo (alm) 81
50. Widyawati 81
Sontak hasil ini menuai protes. Monitor tidak hanya dianggap telah melecehkan Nabi Muhammad, tapi juga membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Umat Islam pun bereaksi. MUI, HMI, dan Pemuda Muhammadiyah gencar memrotes Monitor.[59] Seminggu setelahnya, pada 22 Oktober 1990, Tabloid Monitor mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas program Kagum 5 Juta, serta mencabut tulisan tersebut.
“Kami, seluruh karyawan Monitor, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berbuat khilaf memuat Ini Dia:50 TokohYang Dikagumi Pembaca Kita dalam terbitan no.225/IV 15 Oktober 1990. Pemuatan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan dapat menyinggung perasaan, khususnya umat Islam. Dengan ini, kami mencabut tulisan terebut dan menganggap tidak pernah ada.”
Peringkat yang menista di Tablid Monitor 15 Oktober 1990
Peringkat yang menista di Tablid Monitor 15 Oktober 1990
Permintaan maaf di Tabloid Monitor edisi 256/IV, 22 Oktober 1990.
Permintaan maaf di Tabloid Monitor edisi 256/IV, 22 Oktober 1990.
Namun demikian, karena semakin gencarnya protes yang dilayangkan kepada Monitor, pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko, pada Selasa 23 Oktober 1990, mencabut surat izin penerbitan Monitor. Kemudian, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta, mengeluarkan surat yang isinya memberhentikan Arswendo Atmowiloto dari keanggotaan PWI dan mencabut rekomendasinya untuk Arswendo sebagai pemimpin redaksi. Puncaknya, Arswendo diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun.
Itulah sebagian aksi nista dari masa ke masa. Aksi nista yang selalu berbalas reaksi bela agama hingga berujung nestapa. Tapi ironisnya, warisan jahat masa kolonial Belanda, orde lama, dan orde baru itu seolah malah diperebutkan dengan syahwat oleh musuh-musuh kita di masa kini. Mereka amat semangat berlomba-lomba nistakan Islam lewat tulisan, lisan, karikatur, pendidikan, bahkan sampai kebijakan Undang-Undang Penodaan Agama ingin dicabutnya. Mereka ingin mendulang bibit-bibit baru penista agama. Namun perlu mereka ketahui, meski Islam terus menerus dihina, sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa umat Islam tak lelah-lelah membela agamanya. Sebab itulah, Islam tak hilang sampai kini di Indonesia atas kehendak-Nya.
Oleh: Muhammad Cheng Ho – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

SUMBER: JEJAKISLAM.NET, Islam pos