Baliho yang dikomplain Gatot Nurmantyo yang kemudian dimusnahkan oleh kubu Prabowo-Sandiaga (Foto: tribunnews.com)
10Berita Mantan Panglima TNI Jenderal (Pur) Gatot Nurmantyo sempat menjadi kuda hitam sebagai capres maupun cawapres. Ia digadang-gadang merapat ke kubu Prabowo karena kedekatannya dengan Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan kelompok-kelompok Islam lainnya. Kedekatannya itu membuat Istana gerah dan memberhentikannya, hanya beberapa bulan sebelum pensiun.
Kedekatannya dengan kubu PA 212 dan mungkin saja Prabowo, membuat fotonya terpampang pada baliho kampanye Prabowo-Sandiaga. Rupanya Gatot Nurmantyo tak berkenan dan komplain, merasa namanya dicatut. Kubu Prabowo-Sandiaga pun minta maaf.
Meskipun sama-sama dekat dengan kelompk PA 212, Gatot Nurmantyo tak merapat ke kubu Prabowo (Foto: tribunnews.com)
Bahkan baliho yang terdapat foto Gatot Nurmantyo sudah dimusnahkan, sebagaimana yang dinukil dari kompas.com (14/1), foto mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Numantyo di Kantor Posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di Sumber, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, sudah dilepas pada Senin (14/1/2019). Baliho Gatot yang memakai seragam kebesaran TNI itu tidak terlihat lagi. Awalnya, baliho terpasang di bagian atas dari beberapa baliho lain di kantor tim pemenangan nasional Prabowo-Sandi.
Sekarang tinggal baliho milik BPN Prabowo-Sandi yang terpasang dibangunan berlantai tiga itu. Ada baliho bergambar foto capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi memakai jas hitam dan peci, Ketua BPN Djoko Santoso, Wakil Ketua BPN Rachmawati Soekarnoputri, partai pengusung dan baliho lainnya. 
Mengapa Gatot begitu tak berkenan hingga komplainnya diutarakan di akun twitternya? Gatot mungkin saja sangat berhitung. Setelah gagal maju sebagai capres/cawapres, ia berhati-hati benar. Kedekatannya kelompok-kelompok Islam yang seharusnya sevisi dengan Prabowo-Sandiaga, rupanya juga tak menarik minatnya. Ia meneguhkan diri tetap netral, tidak ke Jokowi amupun ke Prabowo.
Gatot sepertinya berhitung untuk Pilpres 2024. Pasalnya 2019, politik identitas sangat memungkinkan dua kubu bahkan rakyat Indonesia terbelah secara politik. Terlalu dekat dengan kelompok Habib Rizieq yang membesarkan namanya, bisa mengundang kubu curiga dari kelompok pro Jokowi saat ini. Mendekat ke kelompok Jokowi, tentu mengurangi dukungan kepada Gatot Nurmantyo.
Pada 2024, Pilpres mungkin saja jauh berbeda dengan Pilpres 2019. Parliamentary Threshold (PT) sebesar 20 persen terbukti kontraproduktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, PT 20 persen hanya melahirkan dua kandidat capres dan cawapres, ibarat pertandingan terasa seperti final antara hidup dan mati, dan itu mendorong dua kubu menggunakan segala cara untuk menjatuhkan lawan. Boleh jadi pengalaman pada Pilpres 2014 dan 2019, membuat PT diturunkan dan Gatot bisa mencari dukungan dengan nyaman.
Gatot rupanya tak ingin terjebak dalam politik identitas, meskipun ia sangat dekat dengan PA 212. Agar pada 2024 ia menemukan koalisi yang sangat cair -- bila PT 20 persen ditiadakan oleh DPR akibat tuntutan masyarakat. Koalisi yang sangat cair itu, membuatnya bisa menggalang dukungan dengan mudah, baik dari kelompok Islam maupun nasionalis.
Gatot Nurmantyo melihat tak menguntungkan berpihak dalam Pilpres 2019 (Foto: cnnindonesia.com)

Sumber :