Rasa Malu Itu Telah Mati
10Berita - DEBAT Capres dan Cawapres semalam bukan soal "contekan". Trump dan Hillary pun bawa oret-oretan. No problem at all.
Masalah krusial dari duel capres adalah "the descent of decency", penurunan standar kepantasan politik. Benar kata Evan Siegfried, a Republican pollster and strategist, "There’s a moral problem in politics".
The descent of decency itu seputar rasa malu. "Shame is a particularly useful tool in enforcing social norms," kata Jennifer Jacquet, a professor at New York University and the author of "Is Shame Necessary? New Uses for an Old Tool".
Serangan Joko Widodo begitu beringas. Sayang banyak ngawurnya. Nyolotan. Tatapan matanya kadang setajam silet. Kiai Ma'ruf tampak lain. Pucat. No flare. Seolah kulit mukanya di-peeling. Terkesan kaku.
Ada gap besar antara yang dikatakan dengan realitas. Berulang kali, Joko Widodo mengatakan "lapor-lapor-lapor" dan "akan-akan-akan". Ekspresi ini merupakan metode active defense. Nyerang untuk bertahan.
Faktanya, rakyat merasa ada tebang-pilih dalam penegakan hukum. Pendukung oposisi ditangkepin. Sebaliknya, pendukung Status Quo bebas berkeliaran. Kasus Novel Baswedan; Mangkrakkk...!!
Sewaktu ditanya seputar posisi strategis diisi oleh orang partai, Joko Widodo reply akan merevisi peraturan.
Jurus "well-crafted apology" ditemukan ketika Joko Widodo menjawab soal "konflik interest" yang diajukan Prabowo.
Awalnya, Joko Widodo tampak kurang memahami pertanyaan itu. Sehingga Prabowo terpaksa mengulang dengan contoh deskripsi kasus penyataan Kepala Bulog dan Menteri Pertanian yang menyatakan stock beras cukup sehingga tidak perlu impor. Tapi Menteri Perdagangan malah mengajukan impor.
Joko Widodo menyatakan malah senang ada menteri saling beda pendapat. Artinya saling mengawasi.
Syahdan, menteri negara punya tupoksi tambahan saling mengawasi. Bukannya fokus kerja sesuai jobdesk dan bidang masing-masing.
Dipecatnya Rizal Ramli dan Sudirman Said yang beda pendapat sehingga bikin gaduh merupakan contoh gap antara 'kata' dan 'fakta'.
Jurus ngeles Joko Widodo itu sepadan dengan Tim Sutton, a Republican county commissioner in North Carolina, yang menyatakan Black-African bukan "slaves" tetapi "humanely treated workers".
Seorang politisi konservatis Bill Kristol menyebut dua terminology i.e. "vulgarity and shamelessness".
Kedua istilah itu terasa muncul sewaktu Joko Widodo menyerang Partai Gerindra dan Prabowo sebagai partai yang paling banyak mengusung ex napi koruptor.
Spinning the data, ICW malah menyebut Partai Golkar sebagai partai pengusung ex napi koruptor. Jumlahnya 8 orang caleg plus 6 orang dari Hanura.
Selain itu, Joko Widodo mengulas "kompetensi-based recruitmen dan bukan berdasar finansial".
Tiba-tiba dia menyatakan (+/-) "Nyatanya saya terpilih menjadi Gubernur DKI tanpa modal finansial dan Pak Prabowo tahu itu".
Ya dia (dan Ahok) memang tidak keluar uang. Hasyim Joyohadikusumo yang bayarin.
Tanpa malu, level buzzer juga tiba-tiba naik panggung debat capres. Joko Widodo mengutip hoax Ratna Sarumpaet dan 70 juta kertas suara. Padahal Prabowo-Sandi adalah korban permainan kontra-intelijen dua skandal hoax itu.
Mengutip sejarawan Nancy Koehn dari Harvard Business School, yang mengatakan bahwa rasa malu tidak lagi berperan sebagai moral compass.
Mungkinkah kita sedang memasuki era "The Death of Shame" dan "The Rise of Shamelessness"? [***]
Penulis adalah kolumnis dan aktvis Komunitas Tionghoa Anti-Korupsi (Komtak).
sumber: rmol