Kebaikan dan Dosa, Mintalah Fatwa pada Hatimu
Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra berkata, ‘Aku datang kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda; “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab, “benar wahai Rasulullah SAW.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa yang karenanya jiwa dan hati menjadi tentram. Dan dosa adalah apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR. Ahmad dan Darimi).
Secara umum hadits ini menggambarkan mengenai kebaikan dan dosa. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ adalah akhlak yang baik sedangkan yang dimaksud dengan dosa adalah sesuatu yang ‘diragukan’ oleh diri kita sendiri, serta kita tidak menginginkan jika orang lain melihat kita melakukan hal tersebut. Hadits ini sekaligus menghilangkan ‘kebingungan atau kesamaran’ antara ‘sesuatu’ yang baik dan sesuatu yang buruk, terutama jika kesamaran tersebut terdapat dalam diri pelaku sendiri.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan bahwa hadits ini termasuk hadits yang singkat dan padat, bahkan merupakan hadits yang paling padat, karena kebaikan itu mencakup semua perbuatan yang baik dan sifat yang ma’ruf. Sedangkan dosa mencakup semua perbuatan yang buruk dan jelek; baik kecil maupun besar. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memasangkan di antara keduanya sebagai dua hal yang berlawanan.
Ketika manusia sulit untuk membedakan antara kebaikan dengan keburukan, maka sesungguhnya ia dapat meminta pendapat dari hatinya sendiri mengenai hal tersebut; apakah perbuatan yang dilakukannya itu termasuk kebaikan (al-birr) ataukah bukan? Hadits di atas menggambarkan bahwa sesuatu yang ‘meragukan’ saja sudah masuk dalam kategori dosa (baca ; al-itsm), apalagi jika kita merasa tidak suka perbuatan tersebut diketahui orang lain, maka akan menjadi semakin jelas perbedaan antara kebaikan dan keburukan tersebut. Dan membedakan hal seperti ini, sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Dan manusia diminta untuk meminta pendapat dari fitrahnya.
Secara fitrah, manusia akan merasa terusik jiwanya, kehilangan ketentramannya, tertekan, dan gelisah manakala melakukan perbuatan dosa, kendatipun manusia membenarkan perbuatannya tersebut. Karena perbuatan tersebut akan berlabuh di hatinya. Sedangkan hati merupakan sentral dari baik buruknya seorang manusia. Dalam sebuah hadtis, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Khudzaifah ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Hati itu terpaparkan dengan fitnah-fitnah seperti tikar yang terurai sehalai demi sehelai. Hati manasaja yang termakan dengan fitnah-fitnah tersebut (melakukan kemaksiatan), maka akan ternoda hatinya dengan noda-noda hitam. Dan hati mana saja yang menolak fitnah-fitnah tersebut, maka akan terwarna dengan warna putih, hingga nanti hati tersebut akan menjadi satu diantara dua; (1) menjadi putih seperti shafa (sesuatu yang bersih dan jernih), maka hati seperti ini tidak akan terganggu dengan fitnah-fitnah lainnya selama masih ada langit dan bumi. Dan (2) menjadi hati yang hitam yang kelam seperti cangkir yang dibalikkan yang tidak dapat mengetahui suatu kebaikan dan tidak pula dapat mengingkari kemungkaran, kecuali dari apa yang dilakukan berdasarkan hawa nafsunya.’ (HR. Muslim).
Namun yang perlu digarisbawahi dalam masalah ini adalah bahwa tiada keraguan bagi sesuatu yang telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah, ataupun yang telah dihalalkan Allah SWT. Adapun keraguan yang yang dimaksud dalam hadits ini adalah keraguan yang tiada batasan jelas antara hak dan batil, tidak ada larangan secara syar’I namun hati kita menjadi ragu serta gelisah karenanya.
Wallahu A’lam Bis Shawab. []
Sumber: Majalah SAKSI, Islampos