OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 10 Januari 2019

Mengapa KPU Diragukan oleh Publik?

Mengapa KPU Diragukan oleh Publik?


Oleh: Asyari Usman*

10Berita, “The ballot is stronger than the bullet,” kata Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke-16. “Pemilihan lebih kuat dari peluru .”

Begitulah Lincoln menggambarkan esensi pemilihan umum. Tentang suara rakyat. Tetapi, tentunya ucapan Lincoln itu harus diletakkan dalam kontkes pemilihan umum (pemilu) yang murni. Jujur dan adil.

Celakanya, proses untuk menghadirkan pemilu yang jujur dan adil tidaklah mudah. Sangat tergantung pada integritas penyelenggara dan mentalitas peserta, baik untuk posisi legislatif maupun eksekutif.

Penyelenggara pemilu adalah organ yang sangat menetukan kualitas ‘ballot’ yang lebih hebat dari ‘bullet’. Sebagaimana diteorikan oleh Loncoln.

Di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi yang telah mapan, penyelenggara pemilu, yang biasanya disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), selalu dipercaya dan dihormati. Tidak diragukan oleh publik. Itu terbangun dengan sendirinya karena KPU yang dihormati, memiliki kredibilitas dan integritas. Karena memiliki dua aspek ini, KPU di sana seratus persen dipercaya netralitasnya.

KPU di negara-negara yang bebas dari mentalitas curang, berubah dari instrument demokrasi menjadi pilar demokrasi. Luar biasa. Artinya, KPU-KPU itu ikut menentukan kualitas demokrasi. Dan memang mereka bisa dipercaya dan terpercaya. Hampir tidak pernah terdengar keluhan terhadap komisi pemilihan di belahan dunia yang telah bebas dari pencurangan.

Mengapa komisi pemilihan (electoral commission) di negara-negara Barat, utamanya, bisa dipercaya publik? Karena reputasi mereka dibangun secara bersama oleh semua stakeholder. Negara ikut membangun reputasi KPU. Pemerintah tidak berani mencampuri urusan Komisi.

Parpol-parpol juga berperan besar. Media massa pun ikut ‘melindungi’ sekaligus mengawasi mereka. Dan, di atas itu semua, para politisi yang ikut berkontestasi menjaga diri mereka untuk tidak sampai mencampuri urusan komisi pemilihan. Baik urusan rekrutmen komisionernya, apalagi pekerjaannya.

Para anggota parlemen, angggota DPR, senator, para gubernur dan walikota, dan juga para calon yang ikut berkontetasi, berlomba-lomba untuk menunjukkan integritas. Tidak ada yang berani melakukan upaya untuk curang. Mentalitas seperti ini terbangun karena rata-rata politisi merasa penipuan suara pemilih adalah perbuatan yang sangat hina.

Bagaimana dengan KPU Indonesia? Haruskah publik percaya kepada mereka? Tentu saja harus. Kalau tidak, berarti proses demokrasi yang sedang berlansgung saat ini akan diragukan kemurnian, kejujuran dan keadilannya.

Tetapi, mengapa akhir-akhir ini KPU kita diragukan oleh publik? Setidaknya publik yang sedang beroposisi?

Jawaban untuk pertanyaan ini sama seperti pepatah tua Melayu yang berbunyi, “terasa ada, terkatakan tidak”. Orang tahu jawabannya. Namun susah untuk mengucapkannya. Tetapi, keraguan publik terhadap KPU bukan tak berdasar sama sekali.

Publik (oposisi) tak yakin hasil pemilu 2019 ini akan bebas dari pencurangan karena berbagai fasilitas penyelenggaraannya sangat tidak meyakinkan. Misalnya, kota suara terbuat dari kardus. Perdebatan tentang ini berakhir dengan perasaan yang waswas. Bahkan ada yang melawaki pemasangan gembok di kota suara kardus tsb.

Intinya, publik tidak yakin kotak suara kardus akan membuat kertas suara mereka aman. Berbagai alasan mereka sampaikan. Tetapi, seribu alasan pembelaan KPU telah pula dibeberkan. Pembelaan KPU itulah yang membuat publik (oposisi) tidak percaya. Menghemat adalah salah satu pembelaan KPU.

Tapi, apakah bangsa dan negara ini pantas mengedepankan penghematan biaya sebagai alasan? Kelihatannya alasan itu sangat menghina. Tak pantas. Tidakkah duit negara ini dirampok oleh para koruptor dalam jumlah triliunan rupiah tiap tahun? Yang terungkap maupun yang diduga keras.

Penghematan untuk urusan pemilu, sangat tidak etis. Sebab, dari proses pemilu yang terjaga rapih dengan biaya ekstra itulah kita akan membangun masyarakat yang bermoral mulia. Mekanisme demokrasi adalah sarana edukasi kebangsaan yang ‘end product’-nya tidak ternilai dengan angka-angka finansial. Jadi, alasan penghematan merupakan penistaan terhadap suara rakyat.

Kemudian, ada lagi manuver-manuver KPU yang membuat orang waras menggelengkan kepala. Setelah kardus tak bisa lagi diubah, belakangan ini sejumlah komisioner KPU mengeluarkan pernyataan ‘arah politik’ yang membuat publik (oposisi) semakin ragu terhadap netralitas mereka. Misalnya, KPU mengabulkan keinginan paslon petahana agar penyampaian visi-misi cukup dilakukan oleh timses.

Seterusnya, muncul kasus “..senyum di rapat, teriak-teriak di luar”. Ini merupakan ejekan komisoner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, terhadap kubu BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandi. Sebagai lembaga yang harus netral, Pramono tidak perlu terpancing membuat pernyataan seperti itu. Pernyataan ini malah membawa KPU ke kubu petahana.

Ada lagi soal bocoran pertanyaan untuk debat paslon. Ini juga akhirnya menjadi tanda tanya publik. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, bocoran itu diberikan supaya tidak ada capres-cawapres yang dipermalukan.

Makin parah. Debat paslon itu bukan arena untuk mempermalukan capres-cawapres. Melainkan untuk menguji kemampuan mereka dalam memahami masalah-masalah bangsa dan negara ini, dan apa solusi yang mereka tawarkan.

Yang mungkin perlu diberi ‘hint’ adalah thema yang akan dibahas. Atau, bisa juga diberi isyarat yang lebih spesifik tentang bidang-bidang yang akan diperdebatkan. Ini wajar. Jadi, tidak perlu diberikan bunyi pertanyaan yang akan disampaikan di depan debat televisi itu.

Itulah antara lain sudut-sudut yang disorot publik. KPU harus melangkah ke belakang. Ke posisi yang berkoordinat “no man’s land”. KPU yang berada di posisi 00:00:00 lintang utara, lintang selatan, bujur barat, bujur timur.

Janganlah sekali-kali para komisioner KPU terbawa ke arah angina bertiup. Dan, perlu diingat bahwa semua kita harus aktif mengawal proses demokrasi. Kalau tidak, kita akan masuk ke kategori ‘disorganized democracy’ seperti digambarkan oleh Matt Taibbi dalam bukunya “Griftopia: Bubble Machines, Vampire Squids, and the Long Con That Is Breaking Amerika”.

“In a society governed passively by free markets and free elections, organized greed always defeats disorganized democracy.”

“Di dalam masyarakat yang diatur secara pasif oleh pasar bebas dan pemilu bebas, ketamakan yang tertata rapih selalu mengalahkan demokrasi yang amburadul.”

Sangat pas. Demokrasi di sini masih amburadul. KPU berada di tengah suasana yang amburadul itu. Kalau rakyat pasif, maka ketamakanlah yang akan berkuasa.

Karena itu, sangat pas pula malam ini Bang Karni Ilyas mencoba menguji netralitas KPU lewat acara ILC.
*Wartawan Senior
Sumber : 

Related Posts:

  • Kampanye Jokowi di Cirebon Panas Kampanye Jokowi di Cirebon Panas Sebelum Jokowi memberikan orasi politiknya, kru pemadam kebakaran sempat menyemprotkan air untuk mendinginkan suasana. Calon Presiden Joko Widodo berkampanye di Cirebon, Jumat (5/4). Fat… Read More
  • Penanganan Kasus AKP Sulman Vs Ratna Sarumpaet Bukti Hukum Tumpul Ke Atas Penanganan Kasus AKP Sulman Vs Ratna Sarumpaet Bukti Hukum Tumpul Ke Atas 10Berita – Perbedaan penanganan kasus penyebaran informasi bohong (hoax) aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet dengan hoax mantan Kapolsek Pasirwangi… Read More
  • CAP JEMPOL KORUPSINYA GASPOL CAP JEMPOL KORUPSINYA GASPOL CAP JEMPOL KORUPSI KPK mulai membuka barang bukti kardus yang jadi temuan kasus politisi 01 Bowo Sidik Pangarso (BSP).Ada 82 kardus yang ditemukan dan baru 4 yang selesai di buka. Dari 4 k… Read More
  • Dianggap Diskreditkan PDIP, Dokter Ketua IDI Wonogiri Ditahan Dianggap Diskreditkan PDIP, Dokter Ketua IDI Wonogiri Ditahan 10Berita, Seorang dokter yang juga Ketua IDI Wonogiri, dr. Martanto ditahan usai menjalani sidang pada Selasa (2/4/2019) lalu pada kasus pen… Read More
  • Isu Peretasan Data KPU Masuk Akal Isu Peretasan Data KPU Masuk Akal 10Berita – Isu soal pengaturan server Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memenangkan calon presiden dan wakil presiden 01, Jokowi-Maruf dinilai modus kecurangan yang masuk akal. “Modus k… Read More