OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 10 Februari 2019

Antara Akal Sehat, Rocky Gerung, dan 212

Antara Akal Sehat, Rocky Gerung, dan 212

10Berita  – Reuni 212 adalah reuni akal sehat! Pujian tersebut dilontarkan Rocky Gerung di forum ILC Tv One pasca reuni 212 Desember tahun lalu. Tentu tak terlalu sulit bagi kita memahami maksud pernyataan tersebut, bahwa orang-orang yang memenuhi kawasan Monas dan sekitarnya pada tanggal 2 Desember adalah orang-orang yang berakal sehat.
Rocky Gerung merupakan seorang yang dikenal publik sebagai pengamat politik. Dalam berbagai forum terbuka dia tak segan-segan mengkritik dan menelanjangi rezim Jokowi dengan retorika-retorika sarat ungkapan filsafati. Untaian kata-kata Rocky memang sangat mengagumkan, sangatinstagramable, memeable, mungkin cukup artsy untuk sebuah kiriman Tumblr, bahkan setiap Selasa malam postingan bernada “ILC TV One No Rocky No Party” bertebaran di linimasa sosmed. Tak sampai di situ, lingkaran aktivis Islam mulai merangkul Rocky, wajah Rocky kini mulai menghiasi flyer-flyer kajian yang sejak dulu desainnya begitu-begitu saja, Rocky mulai dikanda-kanda-kan oleh sebagian kader HMI, singkat cerita retorika-retorika akal sehat ala Rocky Gerung mulai berdengung di ruang-ruang yang selama ini nyaris tak terdengar suara apapun selain lantunan ayat suci Al-Quran dan mutiara hadits Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam.
Kita cukupkan sejenak mengenai Rocky Gerung, kita beralih kepada akal sehat. Apabila seorang muslim menganggap bahwa akal sehat adalah sebuah keniscayaan dan kedunguan adalah sebuah aib, maka dia harus memandang bahwa para sahabat adalah manusia paling berakal sehat dan paling tidak dungu. Karena jika seorang muslim tidak berfikir seperti itu maka sama saja dirinya sedang mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam sebagai seorang pendidik yang gagal.
Mari kita lihat bagaimana para sahabat radhiyallahuanhum berakal sehat, bagaimana mereka memandang segala sesuatu dalam kehidupannya. Referensi utama kehidupan para sahabat adalah Al-Quran, hanya Al-Quran semata. Adapun sabda-sabda Rasulullah hanyalah satu dari sekian konsekusensi yang bersumber dari Al-Quran.
Sekali lagi hanya Al-Quran satu-satunya sumber referensi kehidupan mereka, mereka beradaptasi dan mengambil pelajaran darinya. Oh itu kan dulu, ilmu pengetahuan belum banyak perkembangan. Tidak, sekali lagi tidak. Para sahabat justru hidup pada ruang dan waktu di mana peradaban dunia masih mempunyai wajah yang jelas, bukan wajah daur ulang. Romawi dengan kebudayaan, buku-buku, dan undang-undang yang hingga detik ini masih menjadi acuan bangsa-bangsa di Eropa. Persia dengan kesenian, sastra, dan mitologinya. Ada pula sisa-sisa peradaban Yunani berupa filsafat dan kesenian.
Namun para sahabat memilih untuk membatasi diri hanya berpegang kepada kitabullah semata. Dan memang seperti itu perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam sebagai pendidik mereka. Rasulullah memarahi Umar ketika membawa lembaran-lembaran Taurat dengan berkata, “Demi Allah, seandainya Musa hidup di tengah kalian, pastilah tak ada yang dikerjakannya kecuali mengikuti ajaranku!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam ingin membentuk sebuah generasi yang tulus hatinya, jernih akalnya, dan bersih kesadarannya, serta bebas dari pengaruh apa pun selain konsep Ilahiah yang terkandung dalam Al-Quran. Walhasil jadilah mereka memiliki karakteristik yang istimewa.
Para sahabat radhiyallahuanhum mengkaji Al-Quran tidak dengan orientasi tradisi dan publikasi, terlebih hobi, trend, ataupun mencari keuntungan. Mereka tidak pernah berupaya menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyahpada konklusi Al-Quran yang disimpulkan berdasar pendapat pribadinya.
Para sahabat radhiyallahuanhum “lebih lugu” ketimbang cendekiawan muslim di zaman ini ketika mempelajari Al-Quran. Mereka mempelajari Al-Quran untuk “sekedar” mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan sosial di mana mereka beraktivitas. Mereka mengkaji firman-Nya untuk diimplementasikan seketika mendengarnya. Tak seorang pun sahabat meminta banyak-banyak penyampaian ayat Al-Quran pada satu majlis. Mereka selalu jujur pada diri mereka, mengakui batasan kemampuan mereka, cukup bagi mereka sepuluh ayat untuk sementara waktu sampai sepuluh ayat tersebut telah menyatu dengan nafas, perilaku, dan tindak tanduk mereka.
Begitulah cara berakal sehat para sahabat radhiyallahuanhum, hanya berpegang kepada kitabullah dan jujur pada diri sendiri dalam menjalani kehidupannya. Dari sini bisa dipahami bahwa berakal sehat adalah ketika memandang segala sesuatu dengan landasan wahyu, bukan filsafat, perasaan, emosi, serta kepentingan.
Sebagai generasi penerus, sudah seharusnya umat Islam hari ini mencoba berlaku seperti itu. Umat Islam tak perlu terbuai dengan pujian-pujian Rocky Gerung lalu membalasnya dengan apresiasi yang terkesan lebay. Pujian tersebut bahkan harus didengar dengan pendengaran yang terinspirasi wahyu, agar terkuak apakah pujian tersebut sejati atau mengandung motif-motif tertentu.
Ketika umat Islam telah menjadikan wahyu sebagai acuan utama, maka cara pandangnya terhadap segala sesuatu akan menjadi lebih proporsional, kebenaran akan dibela dan keburukan pasti dilawan. Umat Islam tak lagi dipusingkan dengan anomali-anomali yang konyol, menggelitik, dan cukup layak dijadikan bahan olok-olok peradaban.
Penulis: Rusydan Abdul Hadi

Sumber : Kiblat