OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 12 Februari 2019

Apotek 24 Jam Saja Bisa Mati, Nasihat Rhenald Kasali untuk Pebisnis Pemula

Apotek 24 Jam Saja Bisa Mati, Nasihat Rhenald Kasali untuk Pebisnis Pemula


Bayangkan, sekarang ada aplikasi yang kita bisa memesan tebus resep, dan obatnya bisa diantar bahkan saat tengah malam.

Rheland Kasali. [Suara.com/Erick Tanjung]

10Berita  - Dulu  kala, untuk membeli batik di Surakarta, seseorang di Batavia harus melakoni perjalanan sebulan. Transaksi jual-beli batik menuntut tatap wajah penjual – pembeli dalam waktu dan tempat yang sama. Kini, transaksi itu bisa dilakukan sekejap melalui ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan internet.

Abad digital , begitulah warga dunia bersepakat menamakan era di mana internet telah masuk menjadi salah satu kebutuhan primer manusia.

“Digitalisasi kehidupan” tersebut, tak pelak turut mengubah  paras perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika dulu pedagang kepusingan memikirkan cara membayar sewa lapak di pasar yang hampir habis, kini tersedia laman-laman daring yang menyediakan kios digital gratis.

Saat dulu orang-orang menunggu keesokan pagi guna membeli koran agar bisa mengetahui secara mendalam suatu peristiwa hari sebelumnya, kini kita bisa mengetahui peristiwa yang baru sekian detik terjadi di luar sana melalui ponsel dari atas ranjang kamar.

Pun dulu dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan bagi korporasi besar untuk menarik dana investasinya yang tersebar di sejumlah negara. Tapi kekinian, para pemodal cukup memantengi layar komputer jinjing mereka, menekan sejumlah tombol, dan uang mereka bisa berpindah dalam sekedip mata.

Profesor Dr Rhenald Kasali , Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga praktisi bisnis, menamakan fenomena tersebut sebagai disruption atau peristiwa yang menginterupsi pola perekonomian sebelumnya menjadi sama sekali baru.

Namun, Doktor Kasali menegaskan, fenomena disruption yang  dilanjutkan dengan shifting  (pergeseran) dalam dunia perekonomian tersebut tak sekadar perpindahan dari cara berbinis analog ke digital.

“Semua fenomena itu sejatinya mengubah bukan hanya ‘cara’ berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri,” jelas Kasali.

Ia memisalnya, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).

“Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja bersama-sama. Kolaborasi, berotong royong.”

Namun, pelaku bisnis di Indonesia kini tengah gamang dalam menghadapi femonena tersebut. Rhenald mengungkapkan, ada kekhawatiran pada banyak usaha nasional yang berpotensi gagal memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi baru akibat disrupsi dan pergeseran ke era digital.

Hal ini lantaran lemahnya pemahaman dunia usaha terhadap maraknya resistensi dari pelaku-pelaku usaha lama terhadap perubahan.

Lewat kajiannya, Rhenald menunjukkan sejumlah peristiwa shifting (pergeseran) yang terjadi dalam berbagai bidang usaha, mulai dari industri pelayanan keuangan dan perbankan, mainan, pariwisata, esteem economy, hiburan, asuransi, hingga pendidikan dan kebudayaan.

"Ketika pendapatan masyarakat meningkat, sejumlah produk akan menjadi barang inferior. Dan ini menunjukkan kegagalan para CEO dalam membaca shifting dan terperangkap dalam a blame trap karena terlalu percaya pada pernyataan pelemahan daya beli," ungkapnya.

Menurutnya, yang terjadi saat ini bukanlah daya beli yang turun, tapi selera masyarakat yang berubah. Ini menjadi salah satu bentuk shifting.

Jika daya beli benar turun, harusnya yang terjadi seluruh lini penjualan akan melemah -seperti saat krisis moneter 1998, sementara yang saat ini terjadi adalah sebuah shifting  cara berbelanja, sebuah perubahan channel.

Lantas, bagaimana pembacaan Profesor Rhenald mengenai peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku bisnis di Indonesia ketika peranan teknologi digital semakin merebak pada tahun 2019?

Erick  Tanjung, Jurnalis Suara.com,  mewawancarai Rhenald Kalasi seusai sang profesor berdiskusi di Kantor Staf Presiden, Senin (7/1/2019). Berikut hasil wawancara khusus tersebut:

Terjadi perpindahan platform ekonomi dari analog ke digital. Perpindahan ini adalah lompatan besar dalam ekbis, bagaimana di Indonesia? apa saja kekurangan dan kelebihannya?

Pertama, perpindahan ini mengakibatkan munculnya lawan-lawan yang tidak kelihatan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia kekinian mencapai 5,1 persen. Sebetulnya, persentase pertumbuhan ekonomi kita lebih besar lagi, karena terdapat angka-angka yang tak tercatat.

Apa angka-angka yang tak tercatat itu? Ini terkait banyak pelaku usaha yang sudah berpindah ke dunia siber, daring, online.

Contohnya, mulai dari yang paling sederhana, seperti usaha rumah tangga di Gunung Kidul Yogyakarta dalam bidang pembibitan tanaman, produsen gula Jawa di Banten, yang dijual secara online. Transaksinya tak tercatat, tapi terbilang besar.

Jadi, perpindahan platform bisnis analog ke digital di Indonesia sudah muncul, bahkan kentara sekali, yakni adanya pelaku-laku yang tak kelihatan karena melalui dunia maya. Inilah yang menjadi “lawan-lawan tak kasat mata” bagi pelaku usaha konvensional.

Selanjutnya, di tengah fenomena seperti itu, banyak pelaku usaha di Indonesia—baik besar, menengah, ataupun kecil—masih memunyai paradigma industrialis, yakni membuat produk yang sama untuk dipesaingkan dalam pemasarannya.

Padahal, pada era digital seperti saat ini, paradigma usahanya harus diubah, yakni analisis arena. Artinya, membuat banyak produk untuk memenuhi kebutuhan yang sama—bukan membuat produk yang sama. Jadi, barangnya bisa dibuat bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhan yang sama.

Jadi, Anda menilai Indonesia belum siap menghadapi pergeseran dalam bisnis analog ke digital?

Selalu ada yang siap dan ada yang tidak siap. Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat juga begitu, ada yang siap dan ada yang tidak siap.

Misalnya begini, pada saatnya nanti, muncul produk daging yang tidak dibuat dari ternak, tapi yang muncul dari sel. Kalau fenomena itu terjadi, peternak mungkin tidak siap. Tapi di lain sisi, pengusaha pembiakan sel bahan baku daging itu sudah siap.

Contohnya lagi, saat Uber muncul, taksi-taksi konvensional di AS pun tidak siap. Begitu juga di Indonesia. Saat aplikasi ojek online  bermunculan, pengusaha ojek pangkalan merasa dirugikan.

Jadi ada yang tidak siap. Yang tidak siap siapa? Ya pasti petahana alias pemain lama. Mereka, pemain lama itu selalu tidak siap.

Kedua, regulasi yang tidak siap. Ketiga adalah ekosistemnya kadang-kadang tidak siap. Karenanya, perlu saling bekerja sama agar semua pihak yang siap itu bisa maju lebih dulu sehingga menjadi contoh bagi pemain-pemain lama. Selalu seperti itu perekembangan ekonomi di dunia. Kuncinya, kalau era dulu ada persaingan, kini semua harus saling tolong menolong, berkolaborasi.

Apakah Indonesia bisa seperti itu? Apa modalnya?

Modal Indonesia yang pertama adalah kaum muda. Jumlah kaum muda di Inonesia itu adalah sangat besar. Sebanyak 60 persen dari penduduk kita adalah kaum muda. Bonus demografi ini adalah modal besar, karena kaum muda itu pembuat teknologi.

Kedua adalah ekosistem dari kekayaan hayati yang sangat besar, kekayaan alam, sumber daya bahan baku serta manusia juga banyak. Tak perlu impor.

Jepang itu punya duit yang banyak, tapi tidak punya sumber daya manusia. Jerman juga tak ada sumber daya manusia. Sedangkan AS harus impor dari berbagai negara dan menggunakan imigran sebagai SDM. Sementara Indonesia punya semua komponen itu.

Apa yang masih menjadi kekurangan Indonesia agar bisa menjadi pemenang di era bisnis digital?

Pertama, kekurangan indonesia belum memiliki Silicon Valley—pusat industri teknologi maju seperti di AS.

India mempunyai Bangalore VAlley, mempunyai Hyderabad, mempunyai sekolah-sekolah teknologi informatika yang besar.

Indonesia tidak punya sekolah IT yang besar, kuat, dan didukung oleh industri.  Kita perlu bekerja sama untuk membangun pondasi Silicon Valley itu.

Kedua, kekurangannya adalah kapital. Selama ini, di Indonesia perputaran modalnya untuk jangka pendek. Sementara investasi modal yang bertujuan untuk membangun industri maju jangka panjang sangat sedikit.

Penumpukan modal di Indonesia juga seringnya berjangka pendek. Semisal,  kini marak deposito per bulan. Dulu, deposito itu jangka waktunya dua atau tiga tahun. Sekarang kecil sekali, sehingga modal untuk dialihkan ke pembangunan industri besar juga sedikit.

Apa saja varian bisnis yang bakal tergerus dengan pergeseran platform bisnis tahun 2019?

Sudah pasti yang pertama itu adalah segala yang konvensional. Kan yang sudah jelas transportasi konvensional, hotel konvensional, sampai maskapai konvensional.

Agensi perjalanan, media massa, periklanan, yang masih konvensional juga bakal tergerus. Menurut saya juga sektor peternakan dan pertanian ke depan harus disiapkan baik-baik, kalau tak mau ikut tergerus.

Termasuk apotek konvensional juga bakal tergerus, hati-hati itu. Sekarang ada aplikasi yang kita bisa memesan  tebus resep dan obatnya bisa diantar bahkan saat tengah malam. Jadi, apa bisa apotek konvensional walau sudah buka 24 jam bisa laku? Intinya, semua yang konvensional, pebisnis atau pelaku usaha pemula yang cara berpikirnya masih konvensional, makal tergerus.

Kalau peluang bisnis yang potensial?

Akan muncul hal-hal baru yang tak terduga, akan muncul bisnis-bisnis skala rumahan, yang berkaitan dengan teknologi informasi, jasa-jasa, serta terkait pemotongan mata rantai distribusi.

Bagaimana cara bisnis analog yang kekinian masih ada untuk bertahan dalam situasi perubahan itu?

Untuk bertahan mereka harus membuat produk dan layanan yang relevan. Mereka harus masuk ke layanan daring, mereka harus digitalisasi. Dengan begitu, mereka bisa merampingkan biaya produksi, sehingga bisa menekan harga jual barang.

Jadi, terkait hal ini, era digital membuat biaya bisnis itu semakin murah, sudah pasti itu.

Bagaimana yang anda maksud dengan lebih baik pegang kendali dari pada dikuasai pada era pergeseran bisnis analog ke digital?

Lebih baik pegang kendali itu artinya benar-benar mempunyai jaringan-jaringan yang lebih kuat. Bagaimana kita selalu mempunyai posisi yang lebih mapan, harus mencari suatu keadaan di mana kita siap dengan dunia digital itu, menjadi lebih relevan. Kalau tidak pegang kendali, maka kita akan dikendalikan oleh orang lain, tiba-tiba kita menjadi sepi, menjadi kosong,  menjadi museum.

Lihat pabrik gula Colomadu,  jadi museum. Lihat apa yang terjadi dengan Merpati Airlines. Apa yang terjadi dengan jamu Nyonya Menir?

Jadi kita harus pegang kendali, mempunyai sumber daya manusia yang bagus, mempunyai kualitas yang baik agar Indonesia lebih baik.

Apa perubahan platform itu hanya menguntungkan korporasi besar untuk mencaplok yang kecil-kecil?

Intinya, pergeseran bisnis dari analog ke digital itu hanya menguntungkan yang relevan. Pelaku bisnis besar kalau tak relevan lagi ya pasti dicaplok dengan yang lebih kecil.

Contohnya, Nokia saja mati. Nokia kan bukan UKM lho. Sony sekarng saja sekarang sempoyongan. Sementara industri rumahan sekarang berkembang.

Di Indonesia bagaimana para pelaku bisnis baru (startup) bisa bersaing dan tidak kalah dengan raksasa digital dari luar?

Kolaborasi, harus kolaborasi. Mempelajari kualitas teman, menjadi relevan, dan harus terus beradaptasi dengan itu. Karena siapa pun akan berkolaborasi dengan yang lebih besar. Misalnya BRI berkolaborasi dengan Fintech. Dia berkolaborasi, kalau enggak, bakal dimusuhi.

Sebagai contoh, kenapa Singapore Airline terus berjaya, sedangkan Garuda Indonesia terpuruk? Garuda sendirian, Singapore Airline masuk ke Star Alliance. Baru belakangan Garuda akhirnya cari cara, dapatlah Skyteam, coba dulu bekerja sendiri, mati. Jadi harus berkolaborasi, harus punya teman.

Sumber : Suara.com