Permenkes Urun Biaya Itu Tidak Manusiawi, Harus Dicabut
10Berita Vice Presiden KSPI, Iswan Abdullah. (Foto: Koranperdjoeangan.com)
Bogor, KPonline – Di sela-sela Rapat Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang dilaksanakan di Bojong Koneng, Bogor (8/02/2019) ketua Dewan Pimpinan Nasional Jamkeswatch Iswan Abdullah ME, dalam keterangan media menyatakan sikapnya mengenai permasalahan urun biaya program BPJS.
Jamkeswatch menolak keras Peraturan Menteri Kesehatan No.51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan. Lebih jauh mereka meminta aturan itu dicabut, karena memberatkan peserta dan terasa semakin tidak manusiawi.
“Aturan Kemenkes itu sangat tidak manusiawi. Alasan defisit, kok pasien yang disuruh nanggung dan yang untung malah pemberi layanan kesehatan. Sikap kita jelas, Permenkes 51/2018 harus dicabut serta meminta BPJS Kesehatan untuk menolak dan tidak mengindahkan aturan tersebut karena tidak sesuai arah dan tujuan jaminan sosial serta menyalahi regulasi.” Ucap Iswan.
Sebagai Tim independent pemantau BPJS, sikap Jamkeswatch didasarkan dari data dan kajian yang telah dilakukan. Dengan menambah beban biaya kepada peserta adalah sebuah ironi yang tragis disaat pelayanan kesehatan belumlah dirasakan komprehensif dan efektif.
“BPJS Kesehatan jangan dijadikan alat pemerasan rakyat, mereka sudah diwajibkan daftar dan disuruh bayar tapi pelayanan kesehatan belumlah optimal, yang untung malah pihak lain. Permenkes itu terindikasi upaya pengalihan masalah dan pembelokan tujuan. ” Tegasnya.
Jamkeswatch melalui FSPMI dan KSPI berencana akan menggelar aksi besar-besaran ke Kemenkes untuk membatalkan aturan tersebut.
“FSPMI KSPI yang telah mendorong lahirnya BPJS, maka tugas kita pula untuk mengawalnya. Superioritas Kemenkes dalam kesehatan harus diluruskan. ” Tutupnya.
Terkait Permenkes 51/2018 Jamkeswatch menyoroti beberapa hal berikut :
1. Persepsi dan korelasi aturan.
Pada prinsipnya sebagaimana tersirat dalam pasal 2, Permenkes ini mengatur pengenaan urun biaya dan selisih biaya. Meskipun secara eksplisit tujuan lainnya untuk mengurangi defisit, mengendalikan fraud dan mengantisipasi moral hazard.
Urun biaya sesungguhnya baru timbul, ketika peserta menginginkan kualitas hak kamar atau pelayanan yang lebih baik daripada standart haknya. Hal itu bisa saja karena selera, perilaku, pola pikir peserta, kondisi sarana prasarana yang kurang mengakomodir atau kondisi tertentu (semisal kamar haknya penuh).
Dari urun biaya itu, barulah timbul yang namanya selisih biaya. Yaitu selisih antara tarif sebagaimana haknya dengan biaya penambahan kualitas yang didapatnya. Selisih biaya juga bisa diartikan, selisih antara tarif Ina-CBG’s dengan biaya pelayanan medis yang sudah dikeluarkan oleh fasilitas kesehatan. Adanya dua pengertian ini harus dipahami.
Agar tidak timbul selisih biaya yang membebani ekonominya, maka peserta PBI tidak diperkenankan melakukan urun biaya. Sedangkan untuk selisih biaya dalam tarif INA-CBG’s maka seharusnya diselesaikan dengan melakukan evaluasi tarif INA-CBG’s sesuai perkembangan medis.
Di dalam Perpres 82/2018, urun biaya dan selisih biaya tercantum dalam pasal 80 bab empat tentang fasilitas kesehatan. Artinya urun biaya tidak termasuk dalam kendali mutu dan kendali biaya karena bersifat kondisional bukan struktural. Aturan kendali mutu dan kendali biaya seharusnya mengacu pada bab 7 pasal 82 sampai pasal 88. Inilah kerancuan pikir yang harus diluruskan.
2. Sasaran kebijakan.
Apakah sasaran Permenkes itu soal Fraud, defisit ataukah moral hazard?. Memang fraud menghambat pelaksanaan jaminan sosial, Masalahnya fraud dari sisi mana? Sebab di regulasi ada 2 jenis penyalahgunaan pelayanan (Fraud). Fraud karena perilaku dan selera peserta atau fraud karena perilaku pemberi layanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam pasal 92 ayat (2) di Perpres 82/2018. Manakah yang paling berpotensi merugikan?
Secara sekilas, Haruslah jelas jenis dan besaran biaya pelayanan yang menyebabkan fraud, apakah dari fraud by user, ataukah fraud by partner?
Analoginya sederhana. Mungkinkah peserta melakukan fraud? Seberapa banyak jenis dan jumlahnya? Hingga bisa menganggu anggaran dan menyebabkan kerusakan struktural.
Prakteknya, bukankah faskes yang lebih berpotensi melakukan fraud? Baik mengenai coding penyakit, rawat inap ataupun tindakan medis. Lalu kenapa peserta malah yang dikenakan denda biaya tambahan?. Inilah tendensi terjadi pembelokan subtansi dan tujuan kebijakan.
Realita dilapangan, faskes lebih memungkinkan melakukan fraud daripada peserta, nominal dan jenisnya lebih banyak. Meski laporan BPKP tidak menemukan datanya, bukan berarti fraud by partner itu tidak ada.
Contohnya, kenaikan hak kamar sebanyak 2 tingkat. Regulasi menyebutkan urun biayanya maksimal 75% dari tarif haknya, namun kenyataannya semua jenis perawatan rawat inap digeneralisir bahwa peserta harus membayar sebesar 75%. Dan anehnya meskipun Permenkes ini dinyatakan belum berlaku sepenuhnya namun pasien yang naik 2 kelas, ternyata langsung sudah menjadi pasien umum alias full bayar sendiri ke faskes. Lalu bagaimana itu dikatakan mengurangi defisit? Yang dapat untung tambahkan kok malah faskes?? Kemungkinan moral Hazard di pemberi pelayanan jelas juga ada, ini harus diawasi dan diatur bukan cuma ngatur peserta.
Permenkes urun biaya bukanlah solusi mengatasi permasalahan defisit anggaran BPJS Kesehatan dan BPJS jangan sampai tersandera kepentingan tertentu.
3. Dampak kebijakan.
Kemenkes tidak mempunyai data konkrit, sehingga mitigasi resiko fraud tidak jelas, entah kurangnya data, tidak adanya survey atau memang ada tekanan tertentu sehingga kebijakan ini lahir prematur namun dipaksakan pemberlakuannya.
Akibatnya, ditengah pelayanan kesehatan yang belum maksimal dan rendahnya komitmen para pihak termasuk faskes, peserta jadi semakin terbebani dan celah oknum untuk menangguk untung di era jaminan sosial semakin terbuka lebar.
Jenis dan besaran urun biaya ditentukan oleh tim yang dibentuk oleh Kemenkes, dilaksanakan di ranah Kemenkes dan dievaluasi oleh Kemenkes. Soal urun biaya BPJS hanya bisa melakukan monitoring dan rekomendasi saja. Tidak adanya pengawasan internal dan eksternal memungkinkan terjadi jual beli kepentingan.
Saat ini dalam jaminan sosial peran regulator dirasakan lebih begitu mendominasi kewenangannya daripada BPJS selaku penyelenggara.
Dominasi ini harus diakhiri agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenangan atau upaya pembelokan tujuan. Maka
Sudah selayaknya Permenkes itu dicabut agar jaminan sosial tetap dalam relnya dan tidak menjadi program yang gagal, padahal jaminan kesehatan sangat memberi manfaat bagi masyarakat.
Sebagaimana surat BPJS kesehatan tertanggal 19 Desember 2019 tentang usulan jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan maka setidaknya 1 bulan setelahnya Kemenkes sudah menetapkan aturan teknisnya.
Tidak hanya Jamkeswatch, seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawal jaminan sosial agar tidak salah sasaran, sebab sehat itu adalah hak rakyat dan sejahtera itu hak pekerja.
Sumber: Koranperdjoeangan.com
10Berita Vice Presiden KSPI, Iswan Abdullah. (Foto: Koranperdjoeangan.com)
Bogor, KPonline – Di sela-sela Rapat Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang dilaksanakan di Bojong Koneng, Bogor (8/02/2019) ketua Dewan Pimpinan Nasional Jamkeswatch Iswan Abdullah ME, dalam keterangan media menyatakan sikapnya mengenai permasalahan urun biaya program BPJS.
Jamkeswatch menolak keras Peraturan Menteri Kesehatan No.51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan. Lebih jauh mereka meminta aturan itu dicabut, karena memberatkan peserta dan terasa semakin tidak manusiawi.
“Aturan Kemenkes itu sangat tidak manusiawi. Alasan defisit, kok pasien yang disuruh nanggung dan yang untung malah pemberi layanan kesehatan. Sikap kita jelas, Permenkes 51/2018 harus dicabut serta meminta BPJS Kesehatan untuk menolak dan tidak mengindahkan aturan tersebut karena tidak sesuai arah dan tujuan jaminan sosial serta menyalahi regulasi.” Ucap Iswan.
Sebagai Tim independent pemantau BPJS, sikap Jamkeswatch didasarkan dari data dan kajian yang telah dilakukan. Dengan menambah beban biaya kepada peserta adalah sebuah ironi yang tragis disaat pelayanan kesehatan belumlah dirasakan komprehensif dan efektif.
“BPJS Kesehatan jangan dijadikan alat pemerasan rakyat, mereka sudah diwajibkan daftar dan disuruh bayar tapi pelayanan kesehatan belumlah optimal, yang untung malah pihak lain. Permenkes itu terindikasi upaya pengalihan masalah dan pembelokan tujuan. ” Tegasnya.
Jamkeswatch melalui FSPMI dan KSPI berencana akan menggelar aksi besar-besaran ke Kemenkes untuk membatalkan aturan tersebut.
“FSPMI KSPI yang telah mendorong lahirnya BPJS, maka tugas kita pula untuk mengawalnya. Superioritas Kemenkes dalam kesehatan harus diluruskan. ” Tutupnya.
Terkait Permenkes 51/2018 Jamkeswatch menyoroti beberapa hal berikut :
1. Persepsi dan korelasi aturan.
Pada prinsipnya sebagaimana tersirat dalam pasal 2, Permenkes ini mengatur pengenaan urun biaya dan selisih biaya. Meskipun secara eksplisit tujuan lainnya untuk mengurangi defisit, mengendalikan fraud dan mengantisipasi moral hazard.
Urun biaya sesungguhnya baru timbul, ketika peserta menginginkan kualitas hak kamar atau pelayanan yang lebih baik daripada standart haknya. Hal itu bisa saja karena selera, perilaku, pola pikir peserta, kondisi sarana prasarana yang kurang mengakomodir atau kondisi tertentu (semisal kamar haknya penuh).
Dari urun biaya itu, barulah timbul yang namanya selisih biaya. Yaitu selisih antara tarif sebagaimana haknya dengan biaya penambahan kualitas yang didapatnya. Selisih biaya juga bisa diartikan, selisih antara tarif Ina-CBG’s dengan biaya pelayanan medis yang sudah dikeluarkan oleh fasilitas kesehatan. Adanya dua pengertian ini harus dipahami.
Agar tidak timbul selisih biaya yang membebani ekonominya, maka peserta PBI tidak diperkenankan melakukan urun biaya. Sedangkan untuk selisih biaya dalam tarif INA-CBG’s maka seharusnya diselesaikan dengan melakukan evaluasi tarif INA-CBG’s sesuai perkembangan medis.
Di dalam Perpres 82/2018, urun biaya dan selisih biaya tercantum dalam pasal 80 bab empat tentang fasilitas kesehatan. Artinya urun biaya tidak termasuk dalam kendali mutu dan kendali biaya karena bersifat kondisional bukan struktural. Aturan kendali mutu dan kendali biaya seharusnya mengacu pada bab 7 pasal 82 sampai pasal 88. Inilah kerancuan pikir yang harus diluruskan.
2. Sasaran kebijakan.
Apakah sasaran Permenkes itu soal Fraud, defisit ataukah moral hazard?. Memang fraud menghambat pelaksanaan jaminan sosial, Masalahnya fraud dari sisi mana? Sebab di regulasi ada 2 jenis penyalahgunaan pelayanan (Fraud). Fraud karena perilaku dan selera peserta atau fraud karena perilaku pemberi layanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam pasal 92 ayat (2) di Perpres 82/2018. Manakah yang paling berpotensi merugikan?
Secara sekilas, Haruslah jelas jenis dan besaran biaya pelayanan yang menyebabkan fraud, apakah dari fraud by user, ataukah fraud by partner?
Analoginya sederhana. Mungkinkah peserta melakukan fraud? Seberapa banyak jenis dan jumlahnya? Hingga bisa menganggu anggaran dan menyebabkan kerusakan struktural.
Prakteknya, bukankah faskes yang lebih berpotensi melakukan fraud? Baik mengenai coding penyakit, rawat inap ataupun tindakan medis. Lalu kenapa peserta malah yang dikenakan denda biaya tambahan?. Inilah tendensi terjadi pembelokan subtansi dan tujuan kebijakan.
Realita dilapangan, faskes lebih memungkinkan melakukan fraud daripada peserta, nominal dan jenisnya lebih banyak. Meski laporan BPKP tidak menemukan datanya, bukan berarti fraud by partner itu tidak ada.
Contohnya, kenaikan hak kamar sebanyak 2 tingkat. Regulasi menyebutkan urun biayanya maksimal 75% dari tarif haknya, namun kenyataannya semua jenis perawatan rawat inap digeneralisir bahwa peserta harus membayar sebesar 75%. Dan anehnya meskipun Permenkes ini dinyatakan belum berlaku sepenuhnya namun pasien yang naik 2 kelas, ternyata langsung sudah menjadi pasien umum alias full bayar sendiri ke faskes. Lalu bagaimana itu dikatakan mengurangi defisit? Yang dapat untung tambahkan kok malah faskes?? Kemungkinan moral Hazard di pemberi pelayanan jelas juga ada, ini harus diawasi dan diatur bukan cuma ngatur peserta.
Permenkes urun biaya bukanlah solusi mengatasi permasalahan defisit anggaran BPJS Kesehatan dan BPJS jangan sampai tersandera kepentingan tertentu.
3. Dampak kebijakan.
Kemenkes tidak mempunyai data konkrit, sehingga mitigasi resiko fraud tidak jelas, entah kurangnya data, tidak adanya survey atau memang ada tekanan tertentu sehingga kebijakan ini lahir prematur namun dipaksakan pemberlakuannya.
Akibatnya, ditengah pelayanan kesehatan yang belum maksimal dan rendahnya komitmen para pihak termasuk faskes, peserta jadi semakin terbebani dan celah oknum untuk menangguk untung di era jaminan sosial semakin terbuka lebar.
Jenis dan besaran urun biaya ditentukan oleh tim yang dibentuk oleh Kemenkes, dilaksanakan di ranah Kemenkes dan dievaluasi oleh Kemenkes. Soal urun biaya BPJS hanya bisa melakukan monitoring dan rekomendasi saja. Tidak adanya pengawasan internal dan eksternal memungkinkan terjadi jual beli kepentingan.
Saat ini dalam jaminan sosial peran regulator dirasakan lebih begitu mendominasi kewenangannya daripada BPJS selaku penyelenggara.
Dominasi ini harus diakhiri agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenangan atau upaya pembelokan tujuan. Maka
Sudah selayaknya Permenkes itu dicabut agar jaminan sosial tetap dalam relnya dan tidak menjadi program yang gagal, padahal jaminan kesehatan sangat memberi manfaat bagi masyarakat.
Sebagaimana surat BPJS kesehatan tertanggal 19 Desember 2019 tentang usulan jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan maka setidaknya 1 bulan setelahnya Kemenkes sudah menetapkan aturan teknisnya.
Tidak hanya Jamkeswatch, seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawal jaminan sosial agar tidak salah sasaran, sebab sehat itu adalah hak rakyat dan sejahtera itu hak pekerja.
Sumber: Koranperdjoeangan.com