Pidato Prabowo Soal Deindustrialisasi Dibilang Ngawur, Fakta Ahli Ekonomi ini Bikin Cemas!
Referensi pihak ketiga
10Berita Pernyataan Prabowo Subianto soal adanya deindustrialisasi di era Pemerintahan Jokowi-JK dipersoalkan. Beberapa pihak tidak terima dan menyebut Prabowo bicara tanpa data.
Padahal, ahli ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira membenarkan pernyataan Prabowo. Yudhis bahkan mengangkat data yang lebih mencemaskan jika tidak segera diselesaikan.
"Iya betul sekali deindustrialisasi semakin parah. Share industri manufaktur (terhadap PDB) tercatat 19.66% pada kuartal III 2018, terus menurun secara signifikan." kata Bhima seperti dilansir detik.com (15/01).
Angka ini, lanjut Bhima, merupakan yang paling rendah dalam kurun dua dekade terakhir pemerintahan Indonesia. "Bisa dikatakan terendah dalam 20 tahun terakhir yang pernah mencapai di atas 26%," tegasnya.
Dampak Buruk
Bhima juga menjelaskan beberapa dampak buruk dari maraknya deindustrialisasi ini. Seperti menurunnya serapan tenaga kerja dan lainnya.
"Dampaknya ke serapan tenaga kerja terancam turun karena kontribusi industri sebesar 14,1% dari total serapan tenaga kerja." terangnya.
Dalam 3 tahun terakhir sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014, angka serapa kerja menurun hampir 50%.
"Dalam 3 tahun terakhir pun rata-rata tambahan penduduk bekerja di sektor industri hanya 489 ribu orang, turun dibanding periode 2010-2012 yang mencatatkan tambahan 758 ribu orang per tahunnya," ungkapnya.
Efek lanjutannya, menurut Bhima, ialah berkurangnya pendapat negara karena menurunnya pajak dari sektor industri.
Sebagaimana diketahui, Prabowo Subianto dalam Pidato Kebangsaan Indonesia Menang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi hingga tertinggal dari negara-negara lainnya.
"Republik Rakyat Tiongkok berhasil menghilangkan kemiskinan dalam 40 tahun, menghilangkan kemiskinan. Vietnam bangkit, Thailand bangkit, Filipina bangkit, India bangkit tapi para pakar, Indonesia sedang terjadi deindustrialisasi," kata Prabowo lantang,melansir Tarbawia.net (16/01).
Sumber : LINTAS POLITIK
Referensi pihak ketiga
10Berita Pernyataan Prabowo Subianto soal adanya deindustrialisasi di era Pemerintahan Jokowi-JK dipersoalkan. Beberapa pihak tidak terima dan menyebut Prabowo bicara tanpa data.
Padahal, ahli ekonomi dari INDEF, Bhima Yudhistira membenarkan pernyataan Prabowo. Yudhis bahkan mengangkat data yang lebih mencemaskan jika tidak segera diselesaikan.
"Iya betul sekali deindustrialisasi semakin parah. Share industri manufaktur (terhadap PDB) tercatat 19.66% pada kuartal III 2018, terus menurun secara signifikan." kata Bhima seperti dilansir detik.com (15/01).
Angka ini, lanjut Bhima, merupakan yang paling rendah dalam kurun dua dekade terakhir pemerintahan Indonesia. "Bisa dikatakan terendah dalam 20 tahun terakhir yang pernah mencapai di atas 26%," tegasnya.
Dampak Buruk
Bhima juga menjelaskan beberapa dampak buruk dari maraknya deindustrialisasi ini. Seperti menurunnya serapan tenaga kerja dan lainnya.
"Dampaknya ke serapan tenaga kerja terancam turun karena kontribusi industri sebesar 14,1% dari total serapan tenaga kerja." terangnya.
Dalam 3 tahun terakhir sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014, angka serapa kerja menurun hampir 50%.
"Dalam 3 tahun terakhir pun rata-rata tambahan penduduk bekerja di sektor industri hanya 489 ribu orang, turun dibanding periode 2010-2012 yang mencatatkan tambahan 758 ribu orang per tahunnya," ungkapnya.
Efek lanjutannya, menurut Bhima, ialah berkurangnya pendapat negara karena menurunnya pajak dari sektor industri.
Sebagaimana diketahui, Prabowo Subianto dalam Pidato Kebangsaan Indonesia Menang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi hingga tertinggal dari negara-negara lainnya.
"Republik Rakyat Tiongkok berhasil menghilangkan kemiskinan dalam 40 tahun, menghilangkan kemiskinan. Vietnam bangkit, Thailand bangkit, Filipina bangkit, India bangkit tapi para pakar, Indonesia sedang terjadi deindustrialisasi," kata Prabowo lantang,melansir Tarbawia.net (16/01).
Sumber : LINTAS POLITIK