Kasus Siyono, Catatan Pelanggaran HAM Bagi Jokowi?
10Berita- Bulan Maret menjadi bulan yang tak terlupakan bagi keluarga Suratmi. Sebab, di bulan ini mendiang suami, Siyono dijemput paksa oleh Densus 88 di Musholla samping rumahnya pada 8 Maret 2016 dengan keadaan sehat lalu dikembalikan tanpa nyawa tiga hari kemudian, 11 Maret 2016.
Kematian Siyono pun membuat seluruh lapisan masyarakat naik pitam. Bahkan, Ormas Islam Pemuda Muhammadiyah mengambil peran untuk melakukan advokasi. Dari mulai penggalangan opini hingga autopsi. Anda mungkin masih ingat bagaimana dinamika ketika keluarga ingin autopsi. Di mana ancaman-ancaman mengarah ke keluarga Suratmi.
Tak hanya Pemuda Muhammadiyah, Komnas HAM pun turut hadir tengah malam di rumah Suratmi demi mengawal autopsi. Komnas HAM gigih memberikan pembelaan karena sadar ada Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilanggar, bahkan oleh aparat penegak hukum terhadap warga negara sendiri.
Bila merujuk pada undang-undang 39 tahun 1999 tentang HAM, begitu banyak hak sudah dilanggar oleh Densus 88 kepada Siyono dan keluarga. Dari mulai hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hingga hak atas rasa aman.
Status terduga terduga menjadiakannya sasaran kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa. Padahal, jika megacu pada pasal 33 dan 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Serta setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus Siyono pun belum ada penyelesaian di tingkat pengadilan. Hingga kini, penasehat hukum dan keluarga menuntut agar kasus ini dinaikkan ke penyidikan karena diduga kuat ada pelanggaran pidana. Yaitu pembunuhan, atau setidak-tidaknya kelalaian yang menyebabkan kematian.
Sikap penegak hukum yang kurang memberikan atensi terhadap HAM tentu bertentangan dengan tujuan negara secara umum. Di mana negara bertujuan untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bagi masyarakat. Penulis sangat yakin para penegak hukum sudah sangat hafal dengan hal itu.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo selaku primus inter pares di Indonesia (orang yang utama dari yang setara) nampak tidak melakukan pembelaan terhadap warganya sendiri. Seharusnya, presiden tak hanya peduli pada bebasnya Siti Aisyiah dari hukuman di Malaysia. Tapi juga memperjuangkan hak-hak dari keluarga Siyono.
Padahal, apabila Presiden membiarkan terjadinya pelanggaran HAM sedangkan dia mengetahui bahwa dia mempunyai kekuatan untuk menegakkan HAM, maka ia sendiri telah melanggar HAM. Oleh karena itu, sebenarnya kasus Siyono menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM bagi Jokowi apabila dia secara sadar enggan memberikan hak dasar kepada keluarga Siyono.
Dan yang perlu ditekankan adalah saat ini bukan lagi era naturalis, di mana orang yang mempunyai kekuatan bisa berbuat semaunya. Sehingga mereka tidak memperdulikan pelanggaran HAM dan hukum yang berlaku. Sekarang adalah era civilis, di mana ada negara dan hukum yang memberikan perlindungan serta jaminan terhadap HAM setiap orang.
Maka, sebaiknya anggota Densus 88 yang diduga terlibat dalam kasus Siyono tak hanya diberi sanksi etik, tapi juga pidana. Jangan sampai ada anggapan bahwa ketika perbuatan melawan hukum dilakukan oleh penegak hukum lantas kasus tersebut tidak berbekas.
Sumber: Kiblat