OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 11 April 2019

Jokowi Babak Belur di Babak Akhir

Jokowi Babak Belur di Babak Akhir



10Berita, Tiba-tiba saja ‘rakyat Jokowi’ yang disurvei 57% oleh LSI Denny JA, meninggalkan presiden yang dulu dirasakan ‘legendaris’ itu. Presiden yang kelihatan merakyat. Presiden yang kelihatan bersahaja.

Apa yang salah? Mengapa dibabak-babak akhir kampanye ini, Jokowi babak belur?

Di mana-mana kampanye beliau lengang. Kosong. Tidak ada peminat. Kecuali di beberapa lokasi. Lumayan ramai. Itu pun dibantu oleh pengerahan pegawai negeri, pegawai BUMN, dan warga giringan.

Hari ini, saat ini, Jokowi ke Sukabumi. Anak-anak SD dikerahkan untuk menyambut beliau di pinggir jalan.

Jokowi tak jadi turun ke Padang, kemarin (10/4/19), karena boleh dikatakan tidak ada orang yang datang. Sepi. Wamen Archandra Thahar yang dikirim untuk menghadapi ‘kesepian’ itu. Sangat memilukan hati.

Bahkan di kampung halaman Pak Jokowi sendiri, Solo, beliau diboikot. Kampanye terbuka di kota ini (10/4/19) kabarnya tidak boleh ada ‘drone’ yang biasanya dipakai mengambil foto aerial (dari udara). Hampir pasti larangan ini disebabkan sensitivitas jumlah massa yang ada di lapangan.

Hari sebelumnya, 9/4/19, Jokowi bertandang ke Karawang di pagi hari dan kemudian ke Bandung. Juga bernasib sama. Lesu peminat. Warga Ciracas pun ikut memboikot kampanye Pak Jokowi.

Inikah kampanye gagal? Inikah pertanda kekalahan? Akan adakah ‘emergency exit’ untuk Pak Jokowi?

Dalam tradisi kampanye pemilu di mana pun, hari-hari terakhir menjelang hari pencoblosan selalu menjadi barometer dan argometer. Kecenderungan di bilik suara bisa ditebak dari kampanye di babak-babak akhir itu.

Dengan demikian, kampanye Jokowi yang sepi dan lesu di ronde-ronde penutup akan ditafsirkan sebagai konsensus umum bahwa publik menolak keras argumentasi petahana. Publik memberikan isyarat bahwa seluruh gagasan Jokowi tidak diterima.

Apakah ini pertanda kekalahan? Tampaknya tidak ada tafsiran lain. Kerangka berpikir logis melihatnya seperti itu. Ketika gegap gempita kampanye Prabowo-Sandi berlangsung di mana-mana, maka efek psikologisnya akan hadir berup pesan kepada ‘the rest of the public’ (bagian publik lain) bahwa mayoritas besar rakyat tidak ingin kekuasaan Pak Jokowi berlanjut.

Masih adakah pintu darurat (emergency exit) bagi petahana? Kontestai pilpres bukanlah kendaraan yang kita tumpangi. Pertarungan ini tidak mengenal pintu darurat. Dalam arti, pertanda kuat tentang kekalahan tidak bisa disulap menjadi suasana kemenangan. Kecuali ada niat untuk merebut kemenangan dengan cara-cara yang kotor.

Tentu gagasan yang jelek ini tidak mudah untuk dilaksanakan. Lagi pula, akan repot menyandang ‘kemenangan curian’. Stolen victory.

Sebab, rakyat sulit menerima narasi bahwa kampanye sepi dan lesu menghasilkan kemenangan. Ibarat toko yang terlihat terus-menerus sepi tanpa pembeli, sangat aneh kalau pemiliknya mengklaim bahwa jualan mereka untung besar.

Jadi, babak akhir kampanye petahana yang jelas babak belur saat ini, jauh lebih banyak menghasilkan perasaan ‘resignation’ (langkah mundur). Ini sangat alami. Adrenalin kemenangan tidak ada lagi.

Semua pembicaraan tentang ‘what next’ kini sepenuhnya didominasi oleh paslon 02. Papan caturnya kelihatan jelas. Posisi buah hitam dan putih sangat mudah dihitung kemungkinan-kemungkinannya.

Di dunia nyata, Pak Jokowi sudah kehilangan banyak citra. Ada lompat pagar beberapa parpol pendukung, ada OTT KPK, dan persepsi rakyat bahwa kubu 01 menggunakan segala cara untuk menang. Menyalahgunakan kekuasaan.

Inilah yang menyatukan rakyat untuk menunjukkan perlawanan. Dan membuat sepi kampanya Jokowi adalah salah bentuk notifikasi perlawanan itu.

Rakyat sengaja membuat babak akhir kampanye Jokowi, babak belur.

_______________

Oleh: Asyari Usman, wartawan senior

Sumber: