OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 28 Mei 2019

Ayah Harun Korban Ricuh 21-22 Mei: Saya Menuntut Keadilan Walau Nyawa Jadi Taruhan

Ayah Harun Korban Ricuh 21-22 Mei: Saya Menuntut Keadilan Walau Nyawa Jadi Taruhan

10Berita, Jakarta – Ayah korban ricuh 21-22 Mei Harun Ar-Rasyid, Didin Wahyudin masih tak sanggup menyembunyikan rasa sedih saat datang ke Komnas HAM. Bagaimana tidak, jenazah putra satu-satunya itu ditemukan di salah satu selokan di Slipi, Jakarta Barat.
Anaknya diduga menjadi korban muntahan timah panas dari pihak bertanggungjawab. Ketika pengacaranya mempresentasikan foto dan video dugaan pelanggaran HAM, tangan Didin tiba-tiba menyentuk pundak pengacara.
Ia meminta agar dilihatkan foto jenazah anaknya. Saat itu, Didin nampak menahan tangis. Mata yang awalnya putih pun perlahan memerah dan basah. Pengacara lalu mengusap lutut Didin sembari meminta untuk bersabar.
“Anak saya tidak ada ikut ikut politik. Anak saya memang dibunuh, tidak ada menyikapi demonstrasi dengan peluru tajam,” kata Didin dengan nada rendah sembari menatap Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara pada Selasa (28/05/2019).
Kepada Beka, ia menyampaikan bahwa sampai saat ini keluarga belum mendapat hasil autopsi jenazah anaknya. Bahkan, ia mengaku dipersulit saat mengambil jenazah anak keduanya itu.
“Memang agak sulit untuk mengambil jenzah. Malamnya saya harus ke RS Polri Keramat Jati, katanya harus ada surat dari Polres Jakarta Barat. Dari Jakarta Barat katanya harus pagi, jam delapan. Setelah besoknya jam 8, ada tanda tangan baru diantar,” ujarnya.
Ia juga merasa aneh saat pengambilan jenazah diminta tanda tangan dua hal. Pertama diminta agar tidak melakukan penuntutan atas kematian. Dan opsi kedua adalah autopsi.
Akhirnya, karena tidak ingin jenazah berlama-lama di RS Polri Keramat Jati, ayah Didin yang mengambil jenazah memberikan tanda tangan. Akan tetapi, keluarga tidak dikasih copy surat yang ditandatangani.
“Dan hasil autopsi tidak ada, cuma ada kertas selembar sebagai serah terima,” tuturnya.
Saat pelaporan, handphone Didin beberapa kali berdering. Ia terdengar mengatakan sedang berada di Komnas HAM. Karena si penelpon tetap tidak memutus panggilan, handphone Didin dipegang oleh pengacara.
Saat berbicara dengan penelpon, pengacara kurang lebih berbicara seperti ini: Sebentar ya ndan, kita sedang melakukan pengaduan ke Komnas HAM. Si penelpon akhirnya menutup panggilan.
Usut punya usut, Didin mengaku minta perlindungan karena sudah banyak tekanan. Ia mencontohkan ketika sedang laporan lalu ditelpon oleh aparat yang meminta dirinya untuk pulang ke rumah.
“Semalam ada yang dateng, dari Polsek Kebon Jeruk sudah beberapa kali. Kalau mereka datang, saya tidak mau nemuin karena saya trauma. Saya bilang, saya mau tidur,” tuturnya.

Sumber: kiblat.net