Dari Piagam Jakarta ke Pancasila: Jalan Panjang Dasar Negara (Bag. 1)
Oleh: Beggy Rizkiansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
10Berita – Bulan Juni menjadi bulan spesial bagi Indonesia. Pertama, pemerintah secara resmi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Pancasila. Kedua pada tanggal 22 Juni sebagian masih mengingatnya sebagai hari Piagam Jakarta. Keduanya bertalian sangat erat. Meski di benak masyarakat keduanya seakan-akan hadir bertentangan, padahal jika dicermati keduanya adalah kelanjutan dan perkembangan, ketimbang sebuah pertentangan.
Pertentangan ini bisa dilihat dari paranoia sebagian pihak terhadap Piagam Jakarta. Piagam Jakarta seringkali dianggap senafas dengan intoleransi. Lihatlah misalnya Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2018, yang berjudul “Potret Guru Agama-Pandangan tentang Toleransi dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan.”
Penelitian tersebut menyebutkan sikap intoleran yang meski menerima Pancasila namun memaknainya dengan merujuk pada Pancasila versi Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluknya. Persepsi negatif tentang Piagam Jakarta terjadi akibat sikap paranoid dan kekeliruan memahami dan menafsirkan Pancasila itu sendiri. Alih-alih melihat Piagam Jakarta dan Pancasila sebagai satu rangkaian yang tak bisa dipisahkan, pandangan negatif tadi lahir dari kekeliruan yang memisahkan keduanya.
Menawarkan (Gagasan) Dasar NegaraPidato Soekarno yang dikenal sebagai pidato Lahirnya Pancasila diucapkan di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Juni tahun 1945. Badan bentukan Jepang yang diwakili berbagai kalangan di masyarakat Indonesia tersebut salah satunya bertugas untuk membahas dasar negara Indonesia.
Endang Saifuddin Anshari menyebutkan kala itu dalam membahas dasar negara, peserta sidang terbagi menjadi dua kubu; nasionalis sekular dan nasionalis Islam. Hal ini juga terpancar dari pidato seorang ahli hukum, Prof. Soepomo. Menurutnya,
“Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah; faham anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan oleh negara Islam, dan anjuran lain, sebagai yang dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan; negara dan urusan Islam, dengan perkataan: bukan negara Islam.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
Dari Kubu nasionalis-Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara, diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, seorang ulama berlatar belakang ormas Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo dalam pidatonya yang kemudian dibukukan dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara mengatakan bahwa Islam mengajarkan empat perkara, yaitu Iman, ibadah kepada Allah, amal sholeh dan berjihad di Jalan Allah. Menurutnya jika keempat ajaran ini dimiliki oleh rakyat, maka akan “…alangkah sentausanya, bahagianya, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”(Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)
Ki Bagus kemudian menyambungnya, dengan meminta, “…bangunkanlah negara diatas ajaran Islam.” Sebagai dasar, beliau mengutip surat Ali Imron ayat 103 dan Al Maidah ayat 3. Menurutnya, agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat, bukan malah menjadi pangkal percekcokan dan takut untuk dibicarakan.“Agama adalah pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan agama.” (Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)
Ia menyindir orang yang takut sekali dan berhati-hati jika hendak membentangkan dan mengetengahkan agama, karena takut terjadi perselisihan. Ia menegaskan, bukan perkara agama saja, yang jika dibicarakan dengan tidak jujur, suci dan ikhlas, akan menimbulkan pertentangan. Republik, monarki, sarekat atau kesatuan pun dapat menyebabkan hal itu. Menurutnya, semua ini terjadi sebagai akibat dari politik penjajahan yang memecah belah. (Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)
Soekarno sendiri kemudian maju menawarkan gagasannya tentang Pancasila. Konsepsi yang ditawarkan Soekarno kala itu bukanlah Pancasila dalam bentuknya yang kita kenal saat ini. Kala itu Soekarno menjabarkan Pancasila yang ia maksud adalah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.
Kelima gagasan tersebut menurut Soekarno, dapat diperas menjadi tiga. “Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politik demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Gotong Royong” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
Gagasan Soekarno ini sesungguhnya dapat ditelusuri sebagai gagasan Soekarno yang mengalami perkembangan. Kita dapat melihatnya sejak tahun 1933 ketika dalam Konferensi Partai Indonesia (Partindo) di Mataram, Soekarno mencetuskan bahwa asas kaum Marhaen adalah Kebangsaan atau Kemarhaenan. Konferensi tersebut juga menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme (1) Internasionalisme dan (2) Nasionalisme. Sedangkan Sosio-demokrasi mencakup (3) Demokrasi dan (4) Keadilan Sosial. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)
Gagasan nasionalisme dan keadilan sosial seperti yang disinggung Soekarno dalam pidato 1 Juni, tampaknya terinspirasi dari gagasan Sun Yat Sen, tokoh nasionalis Cina dalam The Three Principles People’s Principlesdalam The Principle of Democracy (1924).
Dari Asser Baars, seorang tokoh komunis di Hindia Belanda, Soekarno mendapatkan inspirasi internasionalisme. Meski ia menolak pendapat Baars yang menafikan kebangsaan, namun paham rasa kemanusiaan sedunia tersebut tetap diterima Soekarno secara kritis. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)
Gagasan yang telah dicetuskan sejak 1933 di Mataram ini yang menjadi unsur-unsur dalam konsepsi Pancasila 1 Juni mengalami perkembangan dengan bertambahnya unsur ‘Ketuhanan.’ Dari mana asal pengaruh ini? Bung Hatta menyebutnya dari Azas Ketuhanan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), sebuah organisasi yang para tokohnya banyak dikenal oleh Soekarno, termasuk tokoh besarnya, H.O.S. Tjokroaminoto. (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)
Kemungkinan lain, bisa pula Soekarno mencantumkan unsur tersebut dengan menampung aspirasi-aspirasi para tokoh Islam dalam Sidang BPUPKI tersebut. Sebagaimana diketahui, Sidang BPUPKI awalnya berlangsung dari 29 Mei – 1 Juni 1945. Sebelum Soekarno berpidato, setidaknya telah ada Ki Bagus Hadikusumo yang memaparkan gagasan Islam sebagai Dasar Negara dalam sidang tersebut. Namun tampaknya unsur ‘Ketuhanan’ yang dimaksud Soekarno hanya sebatas pengakuan terhadap Tuhan dalam masyarakat Indonesia dan kebebasan beragama dalam masyarakat Indonesia.
Meski konsepsi Pancasila Soekarno mendapatkan sambutan hangat, namun konsepsi itu tak cukup memuaskan bagi para tokoh Islam sehingga menimbulkan kebuntuan di antara kedua kubu. Oleh sebab itu sidang memutuskan untuk membentuk Panitia Sembilan yang merepresentasikan kedua kubu yang bertarung gagasan tersebut. [Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan].
Bersambung ke bagian kedua
Sumber: Kiblat.net