Dari Piagam Jakarta ke Pancasila: Jalan Menuju Kompromi (Bag. 2)
Oleh: Beggy Rizkiansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
[Tulisan ini adalah bagian kedua dari tiga tulisan] Baca tulisan sebelumnya10Berita – Kubu tokoh Islam diwakili oleh K.H. Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Moezakkir dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Anggota lainnya mewakili pandangan nasionalis sekular, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Mr. Alexander A. Maramis, dan Achmad Soebarjo.
Panitia Sembilan akhirnya merumuskan sebuah kompromi bernama Piagam Jakarta yang disebut sebagai Gentlement’s Agreement. Rumusan itu lahir pada 22 Juni 1945, 21 hari setelah Soekarno menawarkan konsepsi orisinilnya tentang Pancasila.
Piagam Jakarta adalah sebuah kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis sekular. Corak Pancasila versi awal yang ditawarkan Soekarno tetap terasa, namun gagasan kelompok Islam membuatnya berbeda. Sila pertama menjadi penentu haluan keempat sila lainnya. Sila “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menempati urutan pertama.
Hal ini dijelaskan oleh Moh. Hatta. Menurutnya perubahan tersebut tidak mengubah ideologi, namun memberikan kedudukan yang berbeda. Landasan moral yatu sila pertama dan kedua, ditempatkan sebagai prioritas. “Akibat dari pada perubahan urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah, dengan perubahan kata-kata, politik negara MENDAPAT DASAR MORAL YANG KUAT. (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)
‘Ketuhanan’ tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya.” (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)
Sila-sila lainnya pun turut mengalami perubahan baik dari sisi substansi maupun urutan. Meski demikian, sila pertama-lah yang menentukan makna Pancasila versi Piagam Jakarta yang sangat berbeda dengan versi awal 1 Juni.
Lahirnya Piagam Jakarta bukan berarti tanpa keberatan. Dari kalangan non-muslim, Johannes Latuharhary yang berlatar belakang pendidikan hukum, misalnya menyatakan keberatan atas tujuh kata dalam sila pertama.”Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
Begitu pula dari Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Wongsonegoro menyebutkan tujuh kalimat tersebut mungkin menimbulkan fanatisme, seolah-olah memaksa muslim menjalankan syariat Islam. Namun hal ini dibantah oleh K.H. Wahid Hasyim. Menurutnya pada sebuah negara berdasarkan permusyawaratan tak mungkin terjadi paksaaan-paksaan. Ia juga mengingatkan, bagi sebagian pihak tujuh kata tersebut mungkin dianggap terlalu tajam, tetapi bagi sebagian pihak bisa saja dianggap kurang tajam. (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
Dan benar saja, dari kalangan umat Islam, Ki Bagus Hadikusumo masih merasa tidak puas dengan hasil Piagam Djakarta. Kahar Muzakkir yang turut membidani Piagam Djakarta bahkan sepakat dengan Ki Bagus dan mengusulkan agar semua kata yang menyebutkan ‘Islam’ dihapus saja. (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
K.H. Wahid Hasyim mengusulkan agar Presiden beragama Islam. Riuhnya perdebatan pasca Piagam Djakarta akhirnya membuat Soekarno mengingatkan forum sidang untuk menerima hasil kesepakatan tersebut. Menurutnya,“…kalimat-kalimat ini seluruhnya berdasar kepada ke-Tuhanan. Sudahlah hasil kompromis di antara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan di antara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar memberi dan mengambil..” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)
Sebuah Pertanyaan SejarahPerdebatan justru kembali terjadi setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Menjelang Sidang Panitia Persiapan Kemerekaan Indonesia (PPKI) tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta dipersoalkan sebagian pihak. Sosok yang mendatangi Hatta dengan mengaku sebagai pihak jepang yang menyampaikan keberatan wakil protestan dan katolik di wilayah Indonesia bagian Timur (yang dikuasai Jepang). Mereka mengancam untuk memisahkan diri jika Piagam Jakarta tetap di sahkan.
Hatta sempat merasa tujuh kata tersebut seharusnya tidak dipersoalkan lagi, karena dalam Panitia Sembilan telah ada A.A. Maramis, seorang pengacara yang mewakili golongan Kristen. Namun Hatta akhirnya bimbang dan mulai melobi keesokan harinya, 18 Agustus menjelang sidang PPKI. (Prawoto Mangkusasmito: 1977)
Siapa sosok tersebut, hingga saat ini masih sumir. Hatta mengaku didatangi oleh Opsir Kaigun (Angkatan Laut) Jepang, Namun jika kita telusuri kembali, banyak persoalan yang menyelimuti peristiwa itu tampak sumir. Hatta mengaku lupa nama opsir tersebut. Untuk peristiwa sebesar ini, tentu saja terasa janggal. Hatta dikenal sebagai sosok yang teliti.
Satu penjelasan kemudian muncul dari Aboebakar Loebis, seorang aktivis pemuda Sosialis pengikut Sutan Sjahrir. Dalam Kilas Balik Revolusi, ia menyebut opsir Jepang tersebut adalah Tan Tjeng Bok atau Imam Slamet. Mahasiswa yang diutus untuk berbicara pada Hatta. Hatta mengira Tan Tjeng Bok adalah opsir Kaigun.
Kebenarannya mungkin bisa diterima atau ditolak, namun yang jelas Hatta terpengaruh ancaman itu. Dalam benaknya Indonesia yang baru lahir akan tercerai berai. Proses penghapusan tujuh kata dilakukan keesokan harinya menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan membujuk para tokoh Islam hampir dua jam yang menentukan, sejak pukul 9 pagi.
Menurut Moh. Hatta para tokoh Islam diyakinkan untuk menerima penghapusan tersebut. Tokoh-tokoh Islam tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, K.H. Wahid Hasyim. Hanya K.H. Wahid Hasyim yang diperdebatkan keberadaannya. Apakah ia hadir di Jakarta pada saat itu? Prawoto Mangkusasmito, penulis Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi(1977), mengatakan putra K.H. Hasyim Asy’ari tersebut tidak berada di Jakarta pada saat itu.
Jika benar bahwa bahwa tokoh Islam yang dilobi pada saat itu hanya Kasman dan Ki Bagus (karena absennya K.H. Wahid Hasyim), maka dapat dibayangkan betapa besar beban yang harus dipikul Ki Bagus Hadikusumo. Kasman bukanlah figur yang menguasai persoalan pada sidang BPUPKI. Ia tak memahami betapa sengitnya perdebatan dalam sidang tersebut. Maka menjadi wajar, diantara tokoh Islam hanya Ki Bagus Hadikusumo yang paling sulit diyakinkan untuk menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Akhirnya Kasman Singodimedjo-lah yang berhasil menaklukkan keteguhan hati Ki Bagus Hadikusumo. (Panitia 75 tahun Kasman: 1982)
Sebagai sesama orang Jawa dan Muhammadiyah, Kasman melakukan pendekatan yang dapat diterima. Sidang PPKI akhirnya memutuskan untuk mengganti beberapa hal, yaitu:
“Kiyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai dasar negara kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.” (Panitia 75 tahun Kasman: 1982)
Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!” Akhirnya berangsur Ki bagus Hadikusumo menerima penghapusan tersebut.
Sidang PPKI tanggal 18 Juni tersebut akhirnya menghapus beberapa pokok penting. Yaitu;
1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan.”
- Dalam Preambule (Piagam Jakarta) anak kalimat: “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
- Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
- Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”(Endang Saifuddin Anshari: 1981)
Keadaan memang tak mendukung bagi republik yang baru lahir tersebut untuk mengadakan pemilihan umum. Agresi militer Belanda, pemberontakan PKI di Madiun sampai perundingan-perundingan dengan Belanda yang berlarut-larut seperti Perjanjian Renville hingga Konferensi Meja Bundar.
Pemilu 1955 akhirnya berhasil memilih anggota Konstituante yang bersidang untuk menentukan banyak hal dalam Republik Indonesia, termasuk soal paling penting yaitu dasar negara. Partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, Perti, dan PSII mengirimkan wakilnya untuk bergabung dalam satu fraksi besar pendukung ‘Islam sebagai dasar negara.’ Sedangkan partai lain seperti Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan lainnya mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Ada pula usulan Sosio-ekonomi yang tidak mendapat banyak penyokong.
Saling Silang Tujuh KataSeakan mengulang perdebatan pada sidang BPUPKI tahun 1945, kedua kubu saling silang menguji pendapatnya. Kritik dan sokongan sambut menyambut dalam sidang Konstituante yang dimulai sejak tahun 1957. Kedua kubu menemui jalan buntu. Berbagai solusi yang dinegosiasikan tak berhasil menemukan titik temu, termasuk usulan untuk kembali pada Piagam Jakarta.
Konstelasi politik yang memanas antara pusat dan daerah disertai gerakan perlawanan dari daerah seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Darul Islam membuat situasi politik tak menentu. Soekarno yang semakin gerah dengan demokrasi liberal mengajukan usulan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945. Di lain sisi, militer yang diwakili Angkatan Darat senada dengan Soekarno yang jengah melihat pertentangan tanpa henti partai-partai politik.
Pada bulan Februari 1959 pemerintah mencoba mengusulkan usulan kembali ke UUD 1945 dengan memberi porsi pada Piagam Jakarta. Awalnya, pada Februari 1959 pemerintah memakai kata “mengakui” Piagam Jakarta. Hingga akhirnya setelah beberapa kali usulan, Pemerintah memakai kalimat “..mengakui adanya ‘Piagam Jakarta’…sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi.”
Akhirnya pada tanggal 26 Mei 1959, tokoh NU, K.H. Masjkur mewakili atas nama semua fraksi Islam di Konstituante mengajukan usul dua pokok utama: (1) Agar Piagam Jakarta dijadikan Mukaddimah UUD 1945 dan (2) pasal 29 UUD hendaknya berbunyi: “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” (Endang Saifuddin Anshari: 1981)
K.H. Wahab Chasbullah, Rais ‘Am NU mengatakan apabila usulan Kiyai Masjkur diterima, maka Fraksi Islam di Konstituante akan menerima UUD 1945. Namun jika ditolak maka umat Islam tidak akan menerima kembali UUD 1945 yang dimaksud.
Di titik penentuan ini voting diselenggarakan di Konstituante. Namun hasilnya kembali menemui jalan buntu. Dari tiga kali voting yang diselenggarakan, semuanya gagal mencapai kuorum 2/3 mayoritas anggota yang hadir. Voting terakhir pada 2 Juni 1959 berakhir dengan 263 setuju dengan usulan Kiyai Masjkur dan 204 menolak.
Kemacaetan membahas dasar negara ini kemudian dihabiskan oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dengan kembali kepada UUD 1945. Dan dengan ini pula Soekarno membubarkan Konstituante.
Pembubaran ini patut disayangkan, karena Konstituante sudah merampungkan sebagian besar pekerjaan mereka. Bubarnya Konstituante sama saja dengan membubarkan satu wadah resmi yang representatif untuk membicarakan dasar negara. Situasi politik akhirnya membawa persoalan dasar negara diselesaikan dengan dekrit presiden. Pemecahan masalah seperti ini juga disesalkan oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin. Menurutnya jika tidak dibubarkan, Konstituante akan menemukan kompromi di antara mereka.
Dekrit tersebut mencoba menampung aspirasi umat Islam dengan menyebut “Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”
Lantas apakah makna dari menjiwai tersebut? apa konsekuensinya? Satu penjelasan pemerintah terkait makna tersebut dapat dilihat dari penjelasannya. Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri yang mewakili pemerintah menjelaskan bahwa,
“…mengingat kenjataan sebagian terbesar rakjat Indonesia memeluk agama Islam dan mengingat pula prosedur demokratis, jaitu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakjat dalam Dewan Perwakilan Rakjat dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat nanti, pemerintah jakin, bahwa kedua Badan perwakilan tersebut tadi tidak akan menerima atau menentukan keputusan, Undang-undang atay peraturan pemerintah yang lain, jang bertentangan dengan hukum sjari’ah Islam, dengan tidak mengurangi ketetapan jang termaktub dalam pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 bagi pemeluk agama lain.” (Kementerian Penerangan R.I. : 1964)
Di dalam notanya kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Juli 1959, Partai Masyumi menyatakan pernyataan dan peringatan sebagai berikut:
“Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada Undang-Undang Dasar yang berlaku dan oleh karenanya, merasa berhak pula untuk meminta, di mana perlu untuk menuntut, kepada siapa pun, juga sampai kepada pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada Undang-Undang Dasar sebagai landasan bersama hidup bernegara.” (Prawoto Mangkusasmito: 1977) [Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan].
Bersambung ke bagian ketiga
Sumber: Kiblat.net