Mayoritas Rakyat ingin ganti Jokowi karena neo-Otoriter, Gagal Ekonomi, pro-OBOR China dan pelanggaran HAM, kata analis
10Berita- ‘’Bisa bergolak dan pecah bangsa ini kalau MK paksakan menang Jokowi dengan pemilu curang dan tak jurdil. Mayoritas rakyat ingin ganti Jokowi karena represif, neo-otoriter, gagal ekonomi, pro-OBOR China komunis dan pelanggaran HAM dengan kasus terakhir tragedi tewasnya 8 warga di kawasan Thamrin Jakarta, 600 orang meninggal di KKPS dan represi berjubah tuduhan makar,’’ tegas Bennie Akbar Fatah, analis & aktivis senior Gerakan 1998 dan mantan pimpinan KPU.
Bennie Fatah menilai, Ekonomi Indonesia di tangan rezim Jokowi gagal total, bahkan bisa mati suri . Jokowi Delegitimasi: Lebih 4 Tahun Ini, Gaji Pegawai Negeri/TNI tidak naik & digerus Inflasi. Utang Membengkak & Defisit Memuncak, Rakyat tak mau Jokowi lagi, Akankah Mahkamah Konstitusi (MK) memaksakan diri menangkan Jokowi? Demikian masalah Jokowi, yang mendorong aktivis senior dan analis senior melihat bahwa begitu kuatnya penolakan rakyat pada Jokowi dan kuatnya arus perubahan untuk ganti presiden.
Kondisi APBN pun makin rusak. "Ekonomi dan keuangan negara (APBN) yang sedang berat dan dalam tekanan yang luar biasa. Dalam empat bulan ini penerimaan pajak hanya naik satu persen sementara targetnya dalam APBN naik 20 persen," kata Mantan Menkeu Dr Fuad Bawazier kepada CNBC Indonesia, Jumat (31/5/2019).
"Makanya defisit APBN terus menggelembung sehingga mau tidak mau harus ditopang dari utang," ujarnya. Fuad melanjutkan defisit transaksi berjalan di tahun 2019 ini (sampai dengan April) sudah mencapai US$ 7 miliar dan nampaknya akan terus memburuk sejalan dengan geliat perdagangan Internasional yang memburuk dan volume ekspor-import Indonesia yang cenderung defisit.
"Dalam bulan April 2019 ini saja defisit Neraca Perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Dengan demikian kurs rupiah semakin melemah," kata dia.
Praktis, Jokowi gagal total dan tanpa utang, roda pemerintahan tidak jalan karena kekurangan dana. Bahkan, anggaran rutin termasuk THR PNS, dibayar dari dana utangan.
"Dalam empat bulan ini defisit APBN sudah mendekati Rp 300 triliun," tegas Fuad.
Lebih jauh, Ia meminta agar batasan utang tidak semata-mata diukur dari rasionya terhadap PDB tapi yang lebih penting adalah dari kemampuan APBN membayar yang diukur dari pemasukan negara dari pajak. Kini, pertumbuhan utang lebih tinggi dari pertumbuhan penerimaan pajak.
"Sementara itu pemerintah belum merumuskan terobosan darurat apa yang perlu diambil selain dari menarik utang baru, masih business as usual," katanya.
"Jelas utang kita semakin membengkak dan ber-bunga mahal, dan cepat atau lambat akan kesulitan mencari utang di pasar bebas, karena kreditur akan was-was kalau kalau pemerintah nantinya gagal atau kesulitan membayar cicilan dan bunganya," terang Fuad lebih jauh.
Sumber: konfrontasi