Neraca Perdagangan Terburuk Sepanjang Sejarah, Pemerintah Mau Ngeles Apa Lagi?
Ilustrasi defisit neraca perdagangan. Foto/SINDOnews
10Berita,Jakarta- Neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mencapai defisit USD2,50 miliar, dan menjadikannya rekor terburuk dalam sejarah Republik Indonesia. Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mengatakan defisit buruk tersebut membuktikan resep yang dikerjakan Tim Ekonomi Jokowi, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani telah gagal.
"Sejak tahun lalu berbagai resep untuk memperbaiki berbagai defisit dalam indikator seperti neraca perdagangan coba dilancarkan pemerintah Jokowi. Sebut saja resep menaikkan PPh pasal 22, seribuan jenis barang impor yang efektif 13 September 2018, melaui Peraturan Menteri Keuangan," ungkap Gede Sandra di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Menurut Gede, resep itu tidak efektif karena yang dikenakan tarif adalah barang-barang yang nilainya tidak signifikan seperti shampo, kosmetik dan lain-lain.
"Sementara untuk impor yang besar-besar seperti baja dari China, masih terus masuk dalam jumlah besar. Padahal China terbukti melakukan politik dumping untuk komoditas bajanya," Gede menambahkan.
Jadi terbukti, kata dia, kebijakan Sri Mulyani dalam menekan defisit perdagangan non migas tidak berdampak. Selain itu, kebijakan Tim Ekonomi Jokowi lainnya seperti konversi energi biodiesel B20 untuk industri juga belum terealisasi sesuai harapan.
"Buktinya impor migas kita masih menyumbang porsi terbesar, lebih dari 60% total defisit perdagangan di April 2019," ujarnya.
Sementara, kebijakan pemerintah yang seharusnya berdampak cukup positif, seperti pengembalian devisa hasil ekspor (DHE), yang mengadopsi ide Rizal Ramli, baru bulan Mei 2019 berlaku efektif. Jadi belum dapat diukur manfaatnya.
"Itulah sebabnya indikator eksternal lainnya seperti transaksi berjalan (current account) masih terus juga catat defisit besar. Defisit transaksi berjalan kuartal I 2019 sebesar 2,6% dari PDB, lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2018 sebesar 2,4% PDB," ujar Gede.
Selain lebih buruk dibandingkan tahun lalu, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal I 2019 sebesar USD7 miliar merupakan yang terburuk di kawasan ASEAN. Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut: USD2,6 miliar, USD6 miliar, USD1,7 miliar, dan USD17,6 miliar. Yang menemani di zona defisit transaksi berjalan hanya Filipina, USD 201 juta, tidak sebesar Indonesia.
Akibat dari masih terburuknya defisit transaksi berjalan tersebutlah, makroekonomi Indonesia menjadi yang paling rentan di kawasan. Salah satu petandanya adalah nilai kurs rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS yang per Kamis petang ini sudah nyaris ke Rp14.500 per USD.
"Ini adalah akibat dari tidak cakapnya Sri Mulyani, bersama Tim Ekonomi Jokowi, dalam mengelola perekonomian kita selama ini. Masa ekonom yang sering ngeles begini masih masuk daftar calon kabinet ke depan? Suram kita!" tandas Gede Sandra.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan masa Pemilu serta masa Lebaran menjadi salah satu pemicu neraca perdagangan mengalami defisit besar di bulan April 2019.
"Bisa jadi karena banyaknya keputusan yang diambil itu harusnya Januari sampai Maret, tapi akhirnya terealisasi bulan April karena menunggu Pemilu. Kemudian juga karena mengejar masa sebelum Lebaran, akhirnya membuat 'decision' banyak yang dikejar di bulan April ini, sehingga semua menumpuk pada bulan April,” kata Menkeu usai menjadi pembicara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Namun, Sri Mulyani menjelaskan bahwa itu masih asumsi dan ia mengatakan akan meninjau lagi komposisi apa yang mempengaruhi defisit neraca perdagangan.
Neraca Perdagangan Indonesia pada April 2019 kembali mengalami defisit, yakni mencapai sebesar USD2,5 miliar, yang disebabkan oleh defisit sektor migas dan nonmigas masing-masing sebesar USD1,49 miliar dan USD1,01 miliar.
Defisit pada bulan tersebut berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan besaran defisit terburuk sebelumnya yang pernah dicatat oleh BPS terjadi pada Juli 2013. Pada bulan tersebut, neraca ekspor impor Indonesia mengalami defisit sebesar USD2,3 miliar.
"Sejak tahun lalu berbagai resep untuk memperbaiki berbagai defisit dalam indikator seperti neraca perdagangan coba dilancarkan pemerintah Jokowi. Sebut saja resep menaikkan PPh pasal 22, seribuan jenis barang impor yang efektif 13 September 2018, melaui Peraturan Menteri Keuangan," ungkap Gede Sandra di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Menurut Gede, resep itu tidak efektif karena yang dikenakan tarif adalah barang-barang yang nilainya tidak signifikan seperti shampo, kosmetik dan lain-lain.
"Sementara untuk impor yang besar-besar seperti baja dari China, masih terus masuk dalam jumlah besar. Padahal China terbukti melakukan politik dumping untuk komoditas bajanya," Gede menambahkan.
Jadi terbukti, kata dia, kebijakan Sri Mulyani dalam menekan defisit perdagangan non migas tidak berdampak. Selain itu, kebijakan Tim Ekonomi Jokowi lainnya seperti konversi energi biodiesel B20 untuk industri juga belum terealisasi sesuai harapan.
"Buktinya impor migas kita masih menyumbang porsi terbesar, lebih dari 60% total defisit perdagangan di April 2019," ujarnya.
Sementara, kebijakan pemerintah yang seharusnya berdampak cukup positif, seperti pengembalian devisa hasil ekspor (DHE), yang mengadopsi ide Rizal Ramli, baru bulan Mei 2019 berlaku efektif. Jadi belum dapat diukur manfaatnya.
"Itulah sebabnya indikator eksternal lainnya seperti transaksi berjalan (current account) masih terus juga catat defisit besar. Defisit transaksi berjalan kuartal I 2019 sebesar 2,6% dari PDB, lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2018 sebesar 2,4% PDB," ujar Gede.
Selain lebih buruk dibandingkan tahun lalu, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal I 2019 sebesar USD7 miliar merupakan yang terburuk di kawasan ASEAN. Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut: USD2,6 miliar, USD6 miliar, USD1,7 miliar, dan USD17,6 miliar. Yang menemani di zona defisit transaksi berjalan hanya Filipina, USD 201 juta, tidak sebesar Indonesia.
Akibat dari masih terburuknya defisit transaksi berjalan tersebutlah, makroekonomi Indonesia menjadi yang paling rentan di kawasan. Salah satu petandanya adalah nilai kurs rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS yang per Kamis petang ini sudah nyaris ke Rp14.500 per USD.
"Ini adalah akibat dari tidak cakapnya Sri Mulyani, bersama Tim Ekonomi Jokowi, dalam mengelola perekonomian kita selama ini. Masa ekonom yang sering ngeles begini masih masuk daftar calon kabinet ke depan? Suram kita!" tandas Gede Sandra.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan masa Pemilu serta masa Lebaran menjadi salah satu pemicu neraca perdagangan mengalami defisit besar di bulan April 2019.
"Bisa jadi karena banyaknya keputusan yang diambil itu harusnya Januari sampai Maret, tapi akhirnya terealisasi bulan April karena menunggu Pemilu. Kemudian juga karena mengejar masa sebelum Lebaran, akhirnya membuat 'decision' banyak yang dikejar di bulan April ini, sehingga semua menumpuk pada bulan April,” kata Menkeu usai menjadi pembicara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Namun, Sri Mulyani menjelaskan bahwa itu masih asumsi dan ia mengatakan akan meninjau lagi komposisi apa yang mempengaruhi defisit neraca perdagangan.
Neraca Perdagangan Indonesia pada April 2019 kembali mengalami defisit, yakni mencapai sebesar USD2,5 miliar, yang disebabkan oleh defisit sektor migas dan nonmigas masing-masing sebesar USD1,49 miliar dan USD1,01 miliar.
Defisit pada bulan tersebut berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan besaran defisit terburuk sebelumnya yang pernah dicatat oleh BPS terjadi pada Juli 2013. Pada bulan tersebut, neraca ekspor impor Indonesia mengalami defisit sebesar USD2,3 miliar.
Sumber: