OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 04 Juni 2019

Operasi Akuisisi Politik Jokowi, Ancaman Besar bagi Demokrasi?

Operasi Akuisisi Politik Jokowi, Ancaman Besar bagi Demokrasi?




 Oleh : Hersubeno Arief

10Berita - Jokowi dan orang-orang di sekitarnya sedang merancang sebuah operasi politik yang sangat menarik dan berani: Akuisisi politik terhadap Prabowo dan Gerindra.

Jika sukses, hal itu akan menjadi keberhasilan akuisisi politik terbesar dan masuk dalam catatan sejarah politik kontemporer Indonesia.

Keberhasilan itu juga akan meneguhkan jargon dalam politik yang sangat terkenal “ Tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Yang abadi hanyalah kepentingan itu sendiri.”

Akuisisi atau pengambil-alihan, terminologi ini biasa digunakan dalam dunia usaha. Sebuah perusahaan diambil-alih oleh perusahaan lain, dengan tujuan menjaga pasokan bahan baku dan memastikan sebuah produk dapat terserap oleh pasar.

Berbeda dengan  merger (penggabungan) kata kunci pada akuisisi, adalah pengambil-alihan kendali.

Jika kita amati praktik politik yang dilakukan sejak Jokowi memegang tampuk kekuasaan di Indonesia, kata akusisi tampaknya lebih tepat dibandingkan merger. Semangatnya adalah mengurangi atau mematikan persaingan.

Tak lama setelah terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2014, Jokowi langsung melakukan jurus akuisisinya. Saat itu dia langsung melakukan serangan terhadap kubu lawan, Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo-Hatta Radjasa.

Di kubu KMP bergabung sejumlah partai. Selain Gerindra, ada Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Sementara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-Jusuf Kalla didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI.

Dengan komposisi semacam itu pendukung pemerintah menjadi minoritas di parlemen. Mereka hanya menguasai 37.14 persen kursi di DPR. Sisanya 62, 86 persen dikuasai lawan.

Dengan mengubah UU Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) KMP menyapu bersih kursi pimpinan MPR dan DPR. PDIP dan PKB seharusnya berhak menduduki kursi ketua dan wakil ketua, gigit jari.

Dengan kekuasaan eksekutif di tangan dan dengan sumber daya pemerintah yang melimpah, kubu KIH segera melakukan manuver. Strategi utamanya adalah pecah belah. Iming-imingnya pembagian kursi di kabinet.

Jurus ini sangat ampuh dan langsung terbukti hasilnya. Hanya dalam waktu relatif tak terlalu lama, PPP dan Golkar mengalami konflik internal. Terjadi dualisme kepemimpinan.

Sebelum Jokowi-JK dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, Romarhurmuziy berhasil mengambil alih PPP langsung menyatakan bergabung.

Setahun kemudian pada bulan September 2015 PAN bergabung, dan terakhir Golkar pada 17 Mei 2016 menyatakan keluar dari KMP, bergabung dengan KIH.

Dengan bergabungnya ketiga partai tersebut, komposisi di DPR menjadi terbalik. KIH menguasai mayoritas di parlemen dan KMP menjadi minoritas. Tinggal tersisa Gerindra dan PKS yang bertahan. Demokrat tetap dalam posisi semula berada di luar dua koalisi itu.

Biaya akuisisi politik yang dikeluarkan Jokowi cukup murah. PPP mendapat kompensasi Menteri Agama. PAN mendapat kursi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sebuah kementerian dengan anggaran terkecil.

Golkar mendapat dua pos menteri baru, yakni Menteri Sosial dan Menteri Perindustrian. Sebelumnya Golkar telah menempatkan kadernya Nusron Wahid sebagai Kepala BNP2TKI.

Pada kasus PPP dan Golkar, Jokowi sukses menerapkan skema pengendalian. Para Ketua umum partai adalah “orang-orang Jokowi.”

Golkar semula dipimpin oleh Setya Novanto dan kemudian berganti ke Airlangga Hartarto, seorang menteri yang nota bene adalah pembantunya. PPP dipimpin oleh Romahurmuziy dan kemudian beralih ke Soharso Monoarfa. Tokoh yang terakhir juga “orang Jokowi.” Dia anggota Wantimpres.

Seorang kader Golkar secara satir menggambarkan dirinya seperti boneka Rusia (Matryoshka). Boneka dalam boneka.

Setya Novanto dan kemudian Airlangga Hartarto adalah “boneka” Jokowi. Mereka hanya CEO yang menjalankan perusahaan. Sementara dia sebagai kader Golkar adalah boneka Novanto dan Airlangga.

PAN karena adanya faktor Ketua Dewan Kehormatan Amien Rais terhindar dari posisi pengendalian langsung oleh Jokowi. Posisinya lebih tepat disebut sebagai merger politik dengan saham minoritas.



 Posisi Prabowo dan Gerindra

Bagaimana posisi Prabowo dan Gerindra bila mereka bersedia bergabung dengan koalisi Jokowi? Akuisisi, merger, atau merger dengan saham minoritas?

Melihat hasil pilpres lalu, adanya tuntutan kecurangan, dan pembelahan masyarakat yang begitu dalam, kemungkinan terbesar merger akan menjadi pilihan yang terbaik.

Prabowo dan Gerindra akan menjadi partner dengan posisi tawar yang cukup kuat.

Namun sebelum menerima tawaran dan membayangkan bagi-bagi kekuasaan dan pos kementerian yang cukup menggiurkan, ada baiknya dipertimbangkan beberapa hal berikut:

Pertama, bergabungnya Prabowo dan Gerindra akan mematikan fungsi utama oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Prinsip Checks and ballances akan mati.

Praktis yang akan berada di luar pemerintahan hanya PKS. Demokrat sudah jauh-jauh hari menunjukkan sikap menyerahkan diri ke Jokowi ditukar dengan setidaknya satu kursi menteri untuk Sang Putra Mahkota Agus Harimurti Yudhoyono.

Bergabungnya Gerindra akan membuat PAN punya justifikasi secara moral dan politik untuk ikut bergabung. Hanya tinggal menunggu waktu saja.

Kedua, tanpa kontrol oposisi pemerintah akan menjadi tirani. Pemerintahan Jokowi akan mengontrol sepenuhnya tiga pilar kekuasaan dalam negara, yakni : Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Pers sebagai pilar ke-empat dalam demokrasi sudah lebih dulu berhasil dilumpuhkan dan ditundukkan pemerintah.

Ketiga, dengan menggenggam sepenuhnya ke-empat pilar demokrasi, sesungguhnya demokrasi di Indonesia sudah mati. Kita akan kembali ke era diktator seperti pada Era Orde Baru. Dengan catatan pada Era Orde Baru pers Indonesia relatif lebih berdaulat dan terus melakukan perlawanan.

Pada masa Orde Baru kendati terjadi kontrol yang sangat kuat terhadap media massa, namun media dikelola dan dimiliki oleh insan-insan media yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka adalah orang-orag merdeka.

Berbeda dengan saat ini, media dimiliki oleh tiga kelompok. (1) Konglomerasi yang masuk ke bisnis media, (2) Konglomerasi sekaligus pemimpin politik, (3) Insan media yang telah berubah menjadi konglomerasi. Wartawan hanya pekerja, bagian dari alat produksi.

Keempat, terjadi public distrust terhadap para politisi. Masyarakat akan sampai pada satu kesimpulan, semua politisi sama saja. Pada akhirnya fokus mereka hanya bagi-bagi kekuasaan. Tidak ada idealisme. Yang ada hanya pragmatisme.

Para pemilih akan sampai pada satu kesimpulan yang sama seperti olok-olok penulis olahraga AS sangat terkenal, Art Spander yang dikutip pada awal tulisan : Hal terbesar dari demokrasi adalah memberi kesempatan Kepada setiap pemilih untuk melakukan sesuatu yang bodoh!

Mereka saling gontok-gontokan, caci maki di medsos, hubungan pertemanan dan persaudaraan menjadi putus, masyarakat terbelah karena perbedaan pilihan, eh…. para politisi yang mereka puja malah kompromi bagi-bagi kekuasaan.

Kelima, ini yang paling berbahaya, orang tidak lagi percaya dengan demokrasi. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia selama ini dipuji dunia. Islam dan demokrasi bisa berpadu dengan baik.

Ironisnya justru di tangan penguasa muslim sekuler, demokrasi Indonesia mati muda. Layu sebelum berkembang.

Beberapa hal di atas perlu dipertimbangkan masak-masak oleh Jokowi, orang-orang di sekitarnya, dan tentu saja oleh Prabowo sebelum melangkah lebih jauh.

Silakan pikirkan berkali-kali. Sebuah pemerintahan tanpa oposisi ( government without opposition), atau pemerintahan dengan oposisi yang sangat lemah. Apa yang akan terjadi?

Ini bukan soal suka tidak suka kepada Jokowi atau Prabowo. Bukan soal 01 atau 02. Namun ini menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. Masa depan Indonesia! end

Sumber: 
KONTENISLAM.COM