OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 05 Juni 2019

Pertama Kali Lebaran di Ibu Kota, Saya Menangis

Pertama Kali Lebaran di Ibu Kota, Saya Menangis

“Nggak tentu ngepelnya mas. Kalau kelihatan kotor ya langsung dipel aja,” kata Rina ketika berbincang dengan JawaPos.com, di peron stasiun, Minggu (2/6) malam.
Rina Trisnawati (21) bersama temannya, Nia Kurnia (23), mengepel lantai peron stasiun Pasar Senen Jakarta, Minggu (2/6) malam (Kuswandi/JawaPos.com)
10Berita, Mudik merupakan salah satu tradisi yang kerap dilakukan masyarakat Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba. Entah dari kapan awal mula tradisi ini berlangsung. Yang pasti, budaya “pulang kampung” ini sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya, oleh jutaan warga yang merantau ke ibu kota Jakarta ataupun kota-kota besar lainnya.

KUSWANDI, JAKARTA

KEDUA tangan Rina Trisnawati (21) tampak lincah mengayunkan gagang pel yang dipegangnya. Meski ribuan  calon penumpang kereta api wira-wiri melewatinya di sekitar peron stasiun, Rina tak menghiraukannya. Dia tetap fokus menjalankan profesinya sebagai petugas kebersihan di area stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Gerakan tangannya maju mundur ketika mengepel lantai di sekitar peron stasiun yang tampak kotor akibat bekas tapak sandal dan sepatu ribuan penumpang kereta api. Sementara, agar lantai yang dipel Rina cepat kering, rekannya, Nia Kurnia (23) mengipasi lantai tersebut dengan menggunakan alat pembatas yang terbuat dari karet.
“Nggak tentu ngepelnya mas. Kalau kelihatan kotor ya langsung dipel aja,” kata Rina ketika berbincang dengan JawaPos.com, di peron stasiun, Minggu (2/6) malam.
Menurut Rina, biasanya dia bersama koleganya tak sesering ini mengepel lantai peron stasiun. Namun, karena musim mudik lebaran seperti ini, maka intensitas mengepel lantainya lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Ini karena banyaknya penumpang yang lalu-lalang di sekitar stasiun.
“Kalau mau lebaran kayak gini ya jadi lebih sering ngepelnya,” kata Rina.
Bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di Ibu Kota Jakarta, lebaran kerap dirayakan di kampung halamannya. Hal ini dilakukan saban tahun sekali, agar bisa bersilaturahmi dengan sanak famili dan handai tolan. Namun, bagi Rina, lebaran justru merupakan hari-hari yang menyedihkan, sebab dia harus tetap menjaga kebersihan stasiun hingga pemudik pulang kembali ke Ibu Kota.
Atas padatnya pekerjaan yang dilakukannya, dia pun tidak bisa melakukan tradisi mudik seperti kebanyakan masyarakat perantau Ibu Kota, yang kerap dilihatnya di stasiun.
“Nggak bisa mudik mas. Pulangnya nanti kalau pemudik sudah pulang lagi ke Jakarta. Biasanya sepekan setelah lebaran,” jelasnya.
Lebaran kali ini merupakan tahun ketiga Rina tidak bisa mudik ke kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah. Namun, kendati tak bisa mudik, baik Rina maupun Nia tetap tegar menjalani hidupnya. Keduanya berusaha tabah, kendati dilanda kesepian ketika takbir berkumandang ketika hari lebaran tiba.
“Tahun pertama kerja di sini saya menangis, nggak bisa pulang kampung mas,” ucap Rina lirih ketika ditanya kapan terakhir berlebaran di kampung halamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, di tahun kedua dan ketiga dirinya bekerja sebagai cleaning service di PT Reska, perusahaan yang mempekerjakannya, dia pun berusaha untuk sabar menjalani dinamika kehidupannya.
Mudik Sebagai Sarana Menjalin Silaturahmi
Berbeda dengan Rina dan Nia yang tak bisa pulang ke kampung halamannya. Lebaran kali ini justru menjadi hal yang menggembirakan bagi Irfan Maulana. Musabnya, pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang silam ini bisa bersilaturahmi dengan keluarga istrinya yang berada di Desa Sambeng, Kecamatan Bantar Bolang, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah.
“Ini mudik kedua saya. Mudik ke tempat neneknya istri saya,” ucap Irfan berseri-seri sembari menggendong Azam, anak semata wayangnya. Irfan mengatakan, sebelum dia menikahi Putri(27) istrinya, dirinya belum pernah melakukan tradisi mudik. Ini karena orang tuanya tinggal di dekat Kota Jakarta, yakni Kota Bogor, Jawa Barat. Namun, ketika dirinya telah mempersunting istri yang mempunyai kampung halaman nan jauh dari Ibu Kota Jakarta, dia pun kerap mengikuti tradisi mudik seperti kebanyakan warga perantau lainnya.
“Enak dapat pengalaman baru (kalau mudik-Red). Banyak saudara tambahan. Suasananya juga beda. Perjalanan juga beda. Asik sih,” ungkap pria yang tinggal di Perumahan Villa Gading Harapan, RT 001/025 Kelurahan Kebalen, Babelan, Kabupaten Bekasi tersebut.
Perjalanan mudik yang dilakukan Irfan bersama anak, istri dan ibu mertuanya memang tak mengalami kemacetan seperti jutaan pemudik lain yang menggunakan jalur darat. Sebab, dia menggunakan mode transportasi kereta api. Kendati demikian, dia sempat mengalami kesulitan, karena tidak mendapatkan tiket kereta api lebaran. Ini karena dia kalah cepat dengan ratusan ribu calon penumpang kereta api lain, saat website PT. Kereta Api Indonesia membuka pemesanan tiket kereta lebaran, 3 bulan sebelum bulan Ramadan.
Namun, kendati sempat mengalami kegagalan, akhirnya dia dan keluarganya mendapatkan tiket kereta yang diidam-idamkannya, setelah melalui perjuangan yang melelahkan.
“Setelah sempat gagal, ketika ada pembukaan pemesanan tiket kereta tambahan, saya pantengin berjam-jam website KAI. Alhamdulillah akhirnya dapat juga,” ungkap pria yang bekerja di perusahaan bidang otomotif tersebut.
Menurut Irfan, saat ini kereta merupakan transportasi yang paling nyaman untuk digunakan sebagai sarana transportasi mudik. Oleh karena itu, meski untuk mendapatkan tiket tak mudah, dirinya tetap memilih kereta api sebagai mode transportasi mudik bersama keluarganya.
“Milih naik kereta api karena lebih simpel. Kondisi kereta api juga lebih nyaman. Selain itu untuk menghindari macet kalau naik bus,” tukasnya.
Sumber: