Massa perusuh melakukan pembakaran saat bentrokan dengan polisi di sekitar Jalan MH Thamrin Jakarta, Rabu (22/5/2019). Aksi massa yang menuntut pengungkapan dugaan kecurangan Pilpres 2019 berujung bentrok saat massa mulai menyerang polisi.


10Berita - Pengacara Korban aksi 21-22 Mei, Kamil Pasha, menyebut ada 70 orang yang dilaporkan hilang setelah kerusuhan terjadi.
Kamil Pasha mengatakan 70 orang yang dilaporkan hilang tersebut dapat berada dimana-dimana, termasuk di kantor polisi.
Kamil Pasha namun sangat menyayangkan jika ada korban hilang yang justru ditemukan di kantor polisi.
Ia lantas membeberkan alasannya dapat berkata demikian.
Pantauan TribunJakarta.com hal tersebut disampaikan Kamil Pasha saat menjadi narasumber di acara Apa Kabar Indonesia, TV One, pada Senin (3/6/2019).
Awalnya, Kamil Pasha menyebutkan, ada banyak keluarga korban yang telah melaporkan bahwa anak-anaknya belum juga pulang setelah aksi massa 21-22 Mei yang berakhir rusuh.
Kamil Pasha menyebutkan, patut untuk dipertanyakan soal hilangnya para korban.
Dalam proses pencariannya itu, Kamil Hasan lantas menjelaskan bahwa dirinya menemui sejumlah korban hilang itu di rumah sakit dan kantor kepolisian.
"Hilang ini ke mana. Hilang ini kan bisa jadi setelah aksi dia pergi jalan-jalan dan belum kembali ke rumah. Itu kan bisa saja, bisa juga di rumah sakit, ada juga yang kami temukan di kantor kepolisian," ungkap Kamil Pasha dikutip TribunJakarta.com dari YouTube TV One, pada Selasa (4/6/2019).
Kamil Pasha menyayangkan atau menyesali orang hilang yang akhirnya ditemukan di kantor polisi.
Pasalnya menurut Kamil Pasha orang-orang tersebut tak mendapatkan haknya sebagai tersangka.
"Yang di kantor kepolisian ini yang kami sayangkan. Artinya begini, baik itu pelaku tindak pidana ataupun bukan, selama pihak kepolisian itu menangkap mereka, melakukan tindakan projustisia, harusnya itu ada hak-hak bagi tersangka," ujar Kamil Pasha.
Dikutip TribunJakarta.com dari TribunWow.com hak-hak yang harus diperoleh tersangka, yakni hak untuk segera di periksa atau di BAP, hak untuk diberitahukan kepada keluarga mengenai keberadaannya, hingga hak untuk menemui penasihat hukum dan sebagainya.
"Itu yang sulit bagi mereka," papar Kamil Pasha.
Menanggapi itu, pembawa acara lantas mempertanyakan angka 70 orang hilang yang dipaparkan Kamil Pasha.
"70 orang ini kan (laporan) dari advokasinya mas Kamil nih. Itu termasuk mereka bukan di tahanan, bukan juga di rumah sakit, mereka yang tidak ketahui keberadaannya, atau sudah termasuk mereka semua itu tadi?" tanya pembawa acara.
Kamil Pasha lantas memberikan penjelasannya.
"Intinya gini, ini adalah laporan masyarakat pada kami bahwa pasca aksi 21-22 Mei itu mereka belum kembali ke rumah," kelas Kamil Pasha.
"Nah akhirnya, dari beberapa data itu kami temukan memang ada beberaopa yang di kantor kepolisian, ada juga yang di rumah sakit."
"Untuk yang di kepolisian, datanya kita belum update, tapi sebagian memang ada yang sudah dikeluarkan. Dikeluarkan bisa berarti penangguhan penahanan atau memang tidak diproses, dan sisanya memang belum kami temukan," tandas Kamil Pasha.
SIMAK VIDEONYA:

Aliansi 2019 Minta Usut Tuntas Dalangnya
Kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Korban Tragedi 21 - 22 Mei 2019 mendatangi kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Mereka meminta kepada Komnas HAM agar mengusut tuntas dalang dibalik tragedi tersebut.
Aang Mahad selaku Ketua Aliansi Korban kerusuhan 21 - 22 Mei 2019, mengatakan pihaknya juga meminta perlindungan kepada Komnas HAM.
Aang, sapaannya, juga meminta hak dalam kedudukan yang sama, yakni sebagai warga sipil lainnya.
"Kami mohon perlindungan dengan Komnas HAM itu bukan berarti kami petugas polisidijagain saat bertugas, bukan itu. Tapi implementasi HAM itu samakanlah, anggap kami sebagai warga-warga lainnya," kata Aang, di ruang pengaduan kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (31/5/2019).
"Kami tidak meminta dikasihani, kami cuma ingin disamakan dengan warga-warga lainnya. Itu saja," jelas Aang yang juga sebagai Ketua Asrama Polri kawasan Petamburan, Jakarta Barat.
Aang mengatakan, dirinya enggan menyebut momentum 21 dan 22 Mei 2019 itu dengan kata 'kerusuhan.'
Sebabnya, kata Aang, khawatir ada pihak-pihak tertentu yang tidak berkenan dengan kata tersebut.
"Kami ini menyikapi terkait peristiwa 21 -22 Mei 2019. Saya tidak mengatakan kerusuhan, karena dikhawatirkan ada pihak-pihak tertentu yang tidak berkenan dengan kata-kata kerusuhan. Sehingga saya ambil kata peristiwa," jelas Aang.
Namun, saat ditanya ihwal alasannya, Aang enggan menjawab.
"Ya tidak tahu. Kan mungkin saja ada pihak yang tak suka," ucapnya.
Dia menjabarkan, peristiwa pada 21 Mei 2019 lalu ada dua fokus tempat yang menjadi ruang massa aksi.
"Peristiwa 21 itu ada dua setahu saya, pertama di Bawaslu dengan massa tertentu, kalau yang di Bawaslu jelas objeknya Bawaslu kan begitu. Nah, jadi massanya itu jelas massa pengunjuk rasa atau massa demo yang akan mengeluarkan unek-uneknya diakomodir oleh undang-undang," jelasnya.
"Tapi, kami yang di Petamburan, itu ada juga massa. Kami yang jadi objeknya, tapi yang di Petamburan massanya massa apa, apakah massa penggemar kami, apakah massa pecinta kami, apakah massa penggemar dan pecinta kami itu berlaku seperti itu kepada kami?" tanya Aang.
Aang pun menegaskan bahwa massa aksi di Petamburan tersebut bukanlah yang dikatakan olehnya.
"Kami malam itu, ketika sunyi, senyap, dan menjelang makan sahur, kami ini entah apakah diserang atau diserbu oleh massa itu. Tapi saya yakin massa itu massa Allah. Kenapa saya katakan massa Allah? Takbirnya lantang, sambil melempar, apakah itu yang diajarkan Rasullullah?" Aang bertanya.
"Coba bayangkan kami sedang sunyi, senyap, yang ada cuma ibu-ibu dan anak-anak saja yang mendengar peristiwa seperti itu. Kami penghuni asrama Petamburan, namanya asrama Polri. Malam-malam, bapak-bapak polisi itu tidak ada di rumah, ada yang di Bawaslu, ada yang di KPU, ada yang di MK, bahkan ada penugasan ke luar Jawa," sambungnya.
Dia pun meminta kepada Komnas HAM agar tak membedakan polisi seolah petugas negara yang kuat.
"Jangan berpikir, oh ini asrama Polisi, pasti kuat, karena banyak Polisinya. Betul banyak, tapi saat itu ibu-ibu isinya. Nah efek dari peristiwa itu, ada yang berbentuk materil dan efek lainnya," ujar Aang.
Materil, kata Aang, 16 mobil warga Petamburan hangus dibakar massa aksi.
"Dan puluhan mobil rusak berat. Kami beli mobil itu hasil dari sisa lapar, bukan hasil kenyang," tegasnya.
Tanggapan Komisioner Komnas HAM dari Bidang Penelitian dan Pengkajian
Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam mengatakan bahwa pihaknya telah membuat tim khusus guna mencari fakta ihwal tragedi 21 - 22 Mei 2019.
"Dalam konteks peristiwa 21 - 22 Mei ini, Komnas HAM telah membuat tim. Tim ini salah satunya bertugas mencari semua fakta dan kebenaran dari semua pihak. Nah, alhamdullilah mereka juga datang ke sini. Oleh karenanya informasi dari mereka bawa nanti diberikan kepada kami dan akan sangat membantu," jelas Choirul, sapaannya, di tempat dan waktu yang sama.
Kepada Aang, Choirul pun meminta agar segera membuat dan menyusun laporan menyoal fakta-fakta peristiwa yang sempat berlangsung di Petamburan, Jakarta Barat.
"Oleh karenanya, apa yang tadi sudah diungkapkan, kan mereka tidak membawa laporan tertulisnya. Jadi, kalau belum, kami memohon nanti disusulkan laporan itu," ucap Choirul.
Laporan tersebut, lanjutnya, agar dibuat kronologi peristiwa secara detail.
"Pertama, tolong beritahukan kami soal kronologi, mulai kapan ada massa, mulai kapan ada lemparan dan sebagainya secara kronologis. Karena itu akan menentukan sebenarnya eskalasi ketegangan dimulai dari titik mana, dan apa. Itu yang pertama," kata Choirul.
"Kedua, soal mobil yang terbakar di Petamburan dan rusak, kami juga minta tolong kirimkan identifikasinya foto mobil, itu milik siapa, dan sebagainya. Termasuk apakah ini milik pribadi, misalnya, ataukah ada yang milik institusi misalkan. Tolong itu kami juga dikasih tahu, sehingga akan bisa kelihatan," lanjutnya.
Dari pantauan TribunJakarta.com di lokasi, hadir pula Abdul Rajab dan Ismail yang sebagai korban penjarahan di kawasan Jalan KH Wahid Hasyim Jakarta Pusat.
Kata Choirul, perihal kedua orang pemilik warung kelontongan tersebut, juga diimbau agar segera mengirimkan bukti-bukti kerusakannya.
"Yang penting juga, terutama bagian di Petamburan, di Asrama, di jalan maupun di PKL-PKL (Pedagang Kaki Lima), kalau kebetulan rukonya ada CCTV, atau kebetulan waktu itu juga sempat membuat video dan foto dengan ponselnya, tolong juga kami dikasih," imbau Choirul.
"Jadi alangkah baiknya kalau kronologi mereka disusun, laporannya disusun, dibarengi juga dengan bukti-bukti itu. Itu akan sangat membantu kami untuk mengungkap apa peristiwa yang terjadi di daerah Petamburan dan sekitarnya situ. Kalau di Bawaslu kan banyak media yang menyorot. Tapi kan kalau di Petamburan dan di Pospol Sabang ya dini hari, ini kan agak sulit. Maka itu, kami mohon dibantu," sambung Choirul.
Dia pun meminta kerja sama dengan warga Petamburan agar tim Komnas HAM diberikan segala informasi ihwal tragedi 21 - 22 Mei 2019.
"Kami juga meminta kerja sama dengan mereka agar jika nanti tim Komnas HAMdatang untuk meminta data ke wilayah Petamburan, agar diberi tahu lokasi mana saja. Soalnya penting bagi kami menerima laporan itu," pungkasnya.
Sumber: TRIBUNJAKARTA.COM