Petaka Bunga Utang Ketinggian Menteri 'Terbalik'
Oleh: Gede Sandra
10Berita Periode pertama pemerintahan Joko Widodo ditutup dengan catatan hitam dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut defisit neraca perdagangan semester I-2019 sebesar US$1,9 miliar.
Media-media menyebut, tekor hingga US$1,9 miliar ini, merupakan defisit neraca perdagangan terburuk sepanjang pemerintahan Jokowi. Bahasa sederhananya: petaka. Inilah kiranya salah satu hasil kerja, kerja, kerja dari seluruh tim ekonomi pilihan Jokowi di periode pertama.
Tentu ada petaka lain, seperti kolapsnya Krakatau Steel, deindustrialisasi yang semakin cepat, bisnis swasta semakin terseok-seok, penerimaan pajak turun terus, struktur kredit yang timpang, dan masih banyak lagi.
Tapi, fokus kali ini adalah tentang bunga surat utang pemerintah Indonesia yang boleh disebut ketinggian. Seharusnya, ketika neraca perdagangan tekor besar, kurs melemah. Namun yang terjadi saat ini nilai tukar rupiah, masih cukup stabil. Bahkan diprediksikan terus menguat hingga Rp13.900-an per US$.
Sumber penguatan mata uang Garuda ini, bisa jadi karena pemerintahan Jokowi, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani teramat gencar menarik utang baru di pasar keuangan. Celakanya, caranya dengan memberikan bunga yang sangat tinggi.
Sederhananya, semakin banyak investor memborong surat utang Indonesia, terutama yang berdenominasi rupiah, maka harga rupiah semakin mahal. Akibatnya, ya itu tadi, tingginya permintaan atas mata uang Republik Indonesia.
Tidak Belajar dari Kesalahan
Taktik menarik utang jor-joran dari pasar uang ini, hanya akan menyelamatkan perekonomian sementara. Di mana, kurs rupiah tetap yang cantik. Tetapi dalam jangka panjang, pemerintah Jokowi periode kedua, bakal kelimpungan dalam mengatur anggaran. Karena beban bunga utang yang semakin membengkak.
Akibatnya, karena pendapatan pajak juga tidak bergerak naik, maka Pemerintah Jokowi terpaksa, dan pasti disarankan oleh para investor pemberi utang, mencabut subsidi energi. Jangan heran apabila mulai tahun depan, tarif listrik dan harga BBM semakin mahal.
Seandainya benar langkah austerity policy ini yang dipilih oleh tim ekonomi pemerintahan kedua Jokowi, maka siap-siap saja gerakan perlawanan rakyat bergerak. Bisa saja nyaris mirip dengan gerakan 1998.
Untuk membayar utang pokok dan bunga kepada investor di pasar uang, tidak boleh dikorbankan. Kecuali kalau ingin Indonesia ditinggalkan oleh para investor pasar uang, begitulah ancaman juru bicara investor yang saat ini bermukim di tim ekonomi Kabinet Kerja.
Hak rakyat untuk memperoleh energi dan pangan yang murah boleh dikorbankan, silakan saja mereka lakukan perlawanan di jalan-jalan, tetapi hak para investor untuk mendapatkan bunga tinggi harus tetap didahulukan. Karena, sekali saja Indonesia default (gagal bayar), maka dapat dipastikan investor akan ramai-ramai melepas surat utang Indonesia.
Bila hot money ramai-ramai keluar, keroposnya makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan yang terdalam (US$7 miiar di kuartal I-2019) di kawasan ASEAN, akan membuat nilai kurs Rupiah merosot tajam. Mungkin saja tembus hingga Rp16.000 seperti era 1997-1998. Mengingat, defisit transaksi berjalan Indonesia pada 21 tahun lalu, saat menjelang krisis mencapai US$4,9 miliar. Atau lebih kecil dari sekarang.
Yang pasti, apabila Indonesia saat ini mengalami krisis nilai tukar, dapat dipastikan Indonesia akan sendirian di lingkup ASEAN. Karena, seluruh negara tetangga di ASEAN, memiliki pondasi yang lebih kuat. Saat ini, negara-negara di ASEAN mengalami surplus transaksi berjalan (kecuali Filipina yang sedikit defisit).
Semisal, Malaysia dan Thailand sudah banyak belajar dari krisis 21 tahun. Beda nasib dengan Indonesia, seperti biasa, selalu tidak pernah mau belajar dari sejarah.
Beda Menkeu Sepanjang Sejarah
Kembali kepada fakta tingginya bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah kepada investor surat utang. Semua tahu, alokasi APBN untuk membayar bunga utang pada 2019 sebesar Rp249 triliun, yang terus meningkat setiap tahun.
Bila ditambah dengan alokasi APBN untuk pembayaran pokok utang pada 2019 sebesar Rp400 triliun, maka total beban utang (biasa disebut debt service) mencapai Rp649 trilliun. Atau 1,5 kali lipat anggaran infrastruktur ataupun anggaran pendidikan yang berada di kisaran Rp400-an triliun.
Total beban utang atau debt service tersebut, setara dengan seperempat APBN kita. Sayang, fakta ini sering terabaikan publik (mungkin karena Kemenkeu sengaja memisahkan alokasi bunga dan pokok).
Dalam tulisan-tulisan sebelum ini, saya coba membuktikan ketinggiannya bunga atau kupon pemerintah Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara lain yang rating kreditnya sama atau lebih rendah, kali ini, saya coba menunjukkan tingginya bunga atau kupon Indonesia berdasarkan kinerja para menteri keuangan selama 10 tahun terakhir.
Untuk diketahui, tingginya pembayaran bunga utang APBN bukanlah takdir dari Tuhan Yang Maha Esa, melainkan hasil perbuatan manusia, yaitu para menteri keuangan di masa yang lalu.
Tingginya pembayaran bunga utang adalah akibat dari kebijakan penentuan kupon surat utang pemerintah Indonesia di masa lalu yang kewenangannya ada pada menteri keuangan berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Coba periksa data surat utang yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Resiko (DJJPPR) Kementerian Keuangan melalui website mereka, yaitu Outstanding Surat Berharga Negara (SBN) 2019 dalam 10 tahun terakhir.
Selama periode tersebut, ada empat orang menteri keuangan yang saya amati, yaitu Agus Martowardoyo (2010-2013), Chatib Basri (2013-2014), Bambang Brodjonegoro (2014-2016), dan Sri Mulyani (2016-2019).
Ternyata sangat menarik. Terdapat pola tertentu dalam kebijakan penentuan kupon surat utang dari keempat menteri keuangan tersebut. Dua menteri, yaitu Agus Martowardoyo dan Bambang Brodjonegoro, memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang sesuai dengan, atau bahkan sedikit di bawah, kurva yield surat utang pemerintah.
Sedangkan, dua menteri lainnya, Chatib Basri dan Sri Mulyani memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang selalu rentang (spread) nilainya di atas kurva yield, alias ketinggian.
Sedikit informasi, kurva yield merupakan sebuah kurva yang memplot besaran yield, atau imbal hasil surat utang berdasarkan perbedaan jatuh tempo si-surat utang. Biasanya digunakan sebagai patokan alias benchmark dalam menilai kondisi pasar surat utang.
Jadi sederhananya, di kurva yield, kita dapat mengetahui berapa seharusnya patokan bunga alias kupon untuk surat utang dengan tenor tertentu.
Sebagai contoh, pola kebijakan kupon yang sesuai kurva yield. Pada era Agus Martowardoyo diterbitkan surat utang FR0053 (8 Juli 2010), FR0054 (22 Juli 2010), dan FR0056 (23 September 2010) dengan tenor masing-masing 10, 20, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan oleh Agus Martowardoyo untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,25%; 9.5%; dan 8,375%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield pada Juli 2010 yang untuk tenor, 10, 20, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,341%; 9,632%; dan 8,792%%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Agus Martowardoyo sesuai acuan di kurva yield, bahkan di bawah. Pada era Bambang Brodjonegoro diterbitkan surat utang FR0072 (9 Juli 2015) dan FR0073 (6 Agustus
2015) dengan tenor masing-masing 20 tahun dan 15 tahun. Besaran kupon yang ditetapkan oleh Bambang Brodjonegoro untuk kedua surat utang tersebut berturut-turut adalah 8,25% dan 8,75%.
Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield pada Juli 2015 yang untuk tenor 20 tahun dan 15 tahun, berturut-turut sebesar 8,26% dan 8,754%. Maka, dapat diamati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Bambang Brodjonegoro sesuai acuan di kurva yield.
Kemudian, contoh pola kebijakan kupon yang tidak sesuai kurva yield atau ketinggian. Pada era Chatib Basri, diterbitkan surat utang FR0068 (1 Agustus 2013), FR0070 (29 Agustus 2013), dan FR0071 (12 September 2013) dengan tenor masing-masing 20, 10, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan Chatib Basri untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,75%; 8,375%; dan 9,00%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield di Juli 2013 untuk tenor 20, 10, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,3%; 7,871%; dan 8,201%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Chatib Basri lebih tinggi 0,45%-0,8% dari bunga acuan di kurva yield. Mungkin ini yang membuat Chatib belum sempat mendapatkan gelar menteri keuangan terbaik dari majalah-majalah investasi asing, kupon yang diberikan ke investor kurang tinggi sedikit.
Yang paling monumental tentu era Sri Mulyani yang kedua kalinya bersama Jokowi (yang pertama bersama SBY pada 2006-2010, kami tidak perhitungkan karena sebagian besar sudah jatuh tempo).
Pada era yang kata seorang ekonom senior Menteri Terbalik, karena hanya terbaik bagi orang kaya dan investor pasar uang, namun terburuk untuk kepentingan rakyat yang menderita akibat kebijakan austerity policy. Jadi terbaik diplesetkan terbalik.
Ambil contoh tujuh macam surat utang bertenor dua tahun saja, yaitu: SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), SBR003 (8,55%). Apabila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019, April 2019, Sri Mulyani kelebihan menetapkan bunga/kupon sebesar 1%-1,9%.
Untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating), mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%.
APBN kita dibuat Sri Mulyani dan Chatib Basri mensubsidi investor pasar uang. Rakyat kita banting tulang, kerja, kerja, kerja, dipajaki Sri Mulyani habis-habisan, hasil keringatnya bukan kembali kepada rakyat, tapi malah buat bayar kupon surat utang yang bunganya ketinggian.
Kepada rakyat banyak yang hidupnya masih sulit, mereka berdua pelit. Kepada segelintir 1% kalangan terkaya, investor dan broker pasar uang yang belum tentu hidup matinya di Indonesia, mereka malah bermurah hati. [ipe]
Gede Sandra, Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) (jft/Inilah)
Sumber: konfrontasi
Oleh: Gede Sandra
10Berita Periode pertama pemerintahan Joko Widodo ditutup dengan catatan hitam dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut defisit neraca perdagangan semester I-2019 sebesar US$1,9 miliar.
Media-media menyebut, tekor hingga US$1,9 miliar ini, merupakan defisit neraca perdagangan terburuk sepanjang pemerintahan Jokowi. Bahasa sederhananya: petaka. Inilah kiranya salah satu hasil kerja, kerja, kerja dari seluruh tim ekonomi pilihan Jokowi di periode pertama.
Tentu ada petaka lain, seperti kolapsnya Krakatau Steel, deindustrialisasi yang semakin cepat, bisnis swasta semakin terseok-seok, penerimaan pajak turun terus, struktur kredit yang timpang, dan masih banyak lagi.
Tapi, fokus kali ini adalah tentang bunga surat utang pemerintah Indonesia yang boleh disebut ketinggian. Seharusnya, ketika neraca perdagangan tekor besar, kurs melemah. Namun yang terjadi saat ini nilai tukar rupiah, masih cukup stabil. Bahkan diprediksikan terus menguat hingga Rp13.900-an per US$.
Sumber penguatan mata uang Garuda ini, bisa jadi karena pemerintahan Jokowi, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani teramat gencar menarik utang baru di pasar keuangan. Celakanya, caranya dengan memberikan bunga yang sangat tinggi.
Sederhananya, semakin banyak investor memborong surat utang Indonesia, terutama yang berdenominasi rupiah, maka harga rupiah semakin mahal. Akibatnya, ya itu tadi, tingginya permintaan atas mata uang Republik Indonesia.
Tidak Belajar dari Kesalahan
Taktik menarik utang jor-joran dari pasar uang ini, hanya akan menyelamatkan perekonomian sementara. Di mana, kurs rupiah tetap yang cantik. Tetapi dalam jangka panjang, pemerintah Jokowi periode kedua, bakal kelimpungan dalam mengatur anggaran. Karena beban bunga utang yang semakin membengkak.
Akibatnya, karena pendapatan pajak juga tidak bergerak naik, maka Pemerintah Jokowi terpaksa, dan pasti disarankan oleh para investor pemberi utang, mencabut subsidi energi. Jangan heran apabila mulai tahun depan, tarif listrik dan harga BBM semakin mahal.
Seandainya benar langkah austerity policy ini yang dipilih oleh tim ekonomi pemerintahan kedua Jokowi, maka siap-siap saja gerakan perlawanan rakyat bergerak. Bisa saja nyaris mirip dengan gerakan 1998.
Untuk membayar utang pokok dan bunga kepada investor di pasar uang, tidak boleh dikorbankan. Kecuali kalau ingin Indonesia ditinggalkan oleh para investor pasar uang, begitulah ancaman juru bicara investor yang saat ini bermukim di tim ekonomi Kabinet Kerja.
Hak rakyat untuk memperoleh energi dan pangan yang murah boleh dikorbankan, silakan saja mereka lakukan perlawanan di jalan-jalan, tetapi hak para investor untuk mendapatkan bunga tinggi harus tetap didahulukan. Karena, sekali saja Indonesia default (gagal bayar), maka dapat dipastikan investor akan ramai-ramai melepas surat utang Indonesia.
Bila hot money ramai-ramai keluar, keroposnya makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan yang terdalam (US$7 miiar di kuartal I-2019) di kawasan ASEAN, akan membuat nilai kurs Rupiah merosot tajam. Mungkin saja tembus hingga Rp16.000 seperti era 1997-1998. Mengingat, defisit transaksi berjalan Indonesia pada 21 tahun lalu, saat menjelang krisis mencapai US$4,9 miliar. Atau lebih kecil dari sekarang.
Yang pasti, apabila Indonesia saat ini mengalami krisis nilai tukar, dapat dipastikan Indonesia akan sendirian di lingkup ASEAN. Karena, seluruh negara tetangga di ASEAN, memiliki pondasi yang lebih kuat. Saat ini, negara-negara di ASEAN mengalami surplus transaksi berjalan (kecuali Filipina yang sedikit defisit).
Semisal, Malaysia dan Thailand sudah banyak belajar dari krisis 21 tahun. Beda nasib dengan Indonesia, seperti biasa, selalu tidak pernah mau belajar dari sejarah.
Beda Menkeu Sepanjang Sejarah
Kembali kepada fakta tingginya bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah kepada investor surat utang. Semua tahu, alokasi APBN untuk membayar bunga utang pada 2019 sebesar Rp249 triliun, yang terus meningkat setiap tahun.
Bila ditambah dengan alokasi APBN untuk pembayaran pokok utang pada 2019 sebesar Rp400 triliun, maka total beban utang (biasa disebut debt service) mencapai Rp649 trilliun. Atau 1,5 kali lipat anggaran infrastruktur ataupun anggaran pendidikan yang berada di kisaran Rp400-an triliun.
Total beban utang atau debt service tersebut, setara dengan seperempat APBN kita. Sayang, fakta ini sering terabaikan publik (mungkin karena Kemenkeu sengaja memisahkan alokasi bunga dan pokok).
Dalam tulisan-tulisan sebelum ini, saya coba membuktikan ketinggiannya bunga atau kupon pemerintah Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara lain yang rating kreditnya sama atau lebih rendah, kali ini, saya coba menunjukkan tingginya bunga atau kupon Indonesia berdasarkan kinerja para menteri keuangan selama 10 tahun terakhir.
Untuk diketahui, tingginya pembayaran bunga utang APBN bukanlah takdir dari Tuhan Yang Maha Esa, melainkan hasil perbuatan manusia, yaitu para menteri keuangan di masa yang lalu.
Tingginya pembayaran bunga utang adalah akibat dari kebijakan penentuan kupon surat utang pemerintah Indonesia di masa lalu yang kewenangannya ada pada menteri keuangan berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Coba periksa data surat utang yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Resiko (DJJPPR) Kementerian Keuangan melalui website mereka, yaitu Outstanding Surat Berharga Negara (SBN) 2019 dalam 10 tahun terakhir.
Selama periode tersebut, ada empat orang menteri keuangan yang saya amati, yaitu Agus Martowardoyo (2010-2013), Chatib Basri (2013-2014), Bambang Brodjonegoro (2014-2016), dan Sri Mulyani (2016-2019).
Ternyata sangat menarik. Terdapat pola tertentu dalam kebijakan penentuan kupon surat utang dari keempat menteri keuangan tersebut. Dua menteri, yaitu Agus Martowardoyo dan Bambang Brodjonegoro, memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang sesuai dengan, atau bahkan sedikit di bawah, kurva yield surat utang pemerintah.
Sedangkan, dua menteri lainnya, Chatib Basri dan Sri Mulyani memiliki kebijakan penentuan bunga atau kupon surat utang yang selalu rentang (spread) nilainya di atas kurva yield, alias ketinggian.
Sedikit informasi, kurva yield merupakan sebuah kurva yang memplot besaran yield, atau imbal hasil surat utang berdasarkan perbedaan jatuh tempo si-surat utang. Biasanya digunakan sebagai patokan alias benchmark dalam menilai kondisi pasar surat utang.
Jadi sederhananya, di kurva yield, kita dapat mengetahui berapa seharusnya patokan bunga alias kupon untuk surat utang dengan tenor tertentu.
Sebagai contoh, pola kebijakan kupon yang sesuai kurva yield. Pada era Agus Martowardoyo diterbitkan surat utang FR0053 (8 Juli 2010), FR0054 (22 Juli 2010), dan FR0056 (23 September 2010) dengan tenor masing-masing 10, 20, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan oleh Agus Martowardoyo untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,25%; 9.5%; dan 8,375%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield pada Juli 2010 yang untuk tenor, 10, 20, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,341%; 9,632%; dan 8,792%%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Agus Martowardoyo sesuai acuan di kurva yield, bahkan di bawah. Pada era Bambang Brodjonegoro diterbitkan surat utang FR0072 (9 Juli 2015) dan FR0073 (6 Agustus
2015) dengan tenor masing-masing 20 tahun dan 15 tahun. Besaran kupon yang ditetapkan oleh Bambang Brodjonegoro untuk kedua surat utang tersebut berturut-turut adalah 8,25% dan 8,75%.
Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield pada Juli 2015 yang untuk tenor 20 tahun dan 15 tahun, berturut-turut sebesar 8,26% dan 8,754%. Maka, dapat diamati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Bambang Brodjonegoro sesuai acuan di kurva yield.
Kemudian, contoh pola kebijakan kupon yang tidak sesuai kurva yield atau ketinggian. Pada era Chatib Basri, diterbitkan surat utang FR0068 (1 Agustus 2013), FR0070 (29 Agustus 2013), dan FR0071 (12 September 2013) dengan tenor masing-masing 20, 10, dan 15 tahun.
Besaran kupon yang ditetapkan Chatib Basri untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,75%; 8,375%; dan 9,00%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva yield di Juli 2013 untuk tenor 20, 10, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,3%; 7,871%; dan 8,201%.
Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Chatib Basri lebih tinggi 0,45%-0,8% dari bunga acuan di kurva yield. Mungkin ini yang membuat Chatib belum sempat mendapatkan gelar menteri keuangan terbaik dari majalah-majalah investasi asing, kupon yang diberikan ke investor kurang tinggi sedikit.
Yang paling monumental tentu era Sri Mulyani yang kedua kalinya bersama Jokowi (yang pertama bersama SBY pada 2006-2010, kami tidak perhitungkan karena sebagian besar sudah jatuh tempo).
Pada era yang kata seorang ekonom senior Menteri Terbalik, karena hanya terbaik bagi orang kaya dan investor pasar uang, namun terburuk untuk kepentingan rakyat yang menderita akibat kebijakan austerity policy. Jadi terbaik diplesetkan terbalik.
Ambil contoh tujuh macam surat utang bertenor dua tahun saja, yaitu: SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), SBR003 (8,55%). Apabila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019, April 2019, Sri Mulyani kelebihan menetapkan bunga/kupon sebesar 1%-1,9%.
Untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating), mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%.
APBN kita dibuat Sri Mulyani dan Chatib Basri mensubsidi investor pasar uang. Rakyat kita banting tulang, kerja, kerja, kerja, dipajaki Sri Mulyani habis-habisan, hasil keringatnya bukan kembali kepada rakyat, tapi malah buat bayar kupon surat utang yang bunganya ketinggian.
Kepada rakyat banyak yang hidupnya masih sulit, mereka berdua pelit. Kepada segelintir 1% kalangan terkaya, investor dan broker pasar uang yang belum tentu hidup matinya di Indonesia, mereka malah bermurah hati. [ipe]
Gede Sandra, Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) (jft/Inilah)
Sumber: konfrontasi