Apa yang Membuat Ritel di Indonesia Berguguran?
Photo Credits: 123rf
10Berita,Kondisi ritel di Indonesia tak dipungkiri tengah berada pada situasi underperform. Catatan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) sejak tahun 2015 menunjukkan, sebanyak 3%-4% dari total 40 ribu toko ritel modern yang bergabung dengan APRINDO di seluruh Indonesia menutup ritel fisik mereka hingga hari ini. Lantas, apa saja faktor yang menyebabkan pemain ritel di Indonesia berguguran?
Inflasi
Faktor perdana yang memengaruhi kegoyahan industri ritel diawali dengan kondisi inflasi pada tahun 2015. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey meyakini, inflasi yang pada saat itu mencapai 8% year-on-year menyebabkan daya beli konsumen menurun.
“Inflasi sangat berpengaruh terhadap konsumsi. Ketika inflasi tinggi berarti nilai rupiah turun sehingga terjadi pengurangan transaksi,” terang Roy.
Transisi Pemerintahan Baru
Transisi dari masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden terpilih kala itu, Joko Widodo turut membawa pengaruh pada kondisi bisnis ritel di Indonesia.
Transisi tersebut menyebabkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja di tahun 2015 yang telah dibuat pada tahun 2014 oleh pemerintahan sebelumnya harus direvisi.
“Revisi APBN 2015 yang seharusnya terealisasi di Februari atau paling tidak April untuk pembangunan desa, daerah, kota, dan kabupaten harus direvisi dan baru keluar di pertengahan tahun 2015. Apa yang terjadi? Akhir Mei dan Juni baru bisa terealisasi. Alhasil, pembangunan selama satu semester terhambat,” jelas Roy.
Ketika pembangunan terhambat, produktivitas masyarakat pun akan terkena dampak. Ujung-ujungnya berdampak juga ke pendapatan masyarakat.
“Hal ini membuat roda pembangunan yang baru berjalan di pertengahan tahun itu menggerus ekonomi selama satu semester. Nah, di dalamnya termasuk ritel, tergeruslah konsumsi masyarakat di ritel,” ujar Roy.
Rendahnya Nilai Hasil Komoditi
Selain dua faktor di atas, nilai hasil komoditas yang rendah juga membawa pengaruh besar bagi ritel di Indonesia.
“Terjadi pula komoditas ekspor yang berkurang dari pembeli di China, Eropa, dan Amerika yang menilai harga komoditas kita rendah sehingga otomatis produktivitasnya juga rendah untuk memproduksi kelapa sawit dan batu bara,” terang Roy.
Ketika produktivitas rendah maka otomatis berdampak kepada pendapatan yang rendah dari perusahaan dan juga karyawan. Alhasi, kemampuan untuk konsumsi pun menurun.
E-commerce dan Rasa Penasaran Konsumen
Sejak 2015, terjadi perubahan luar biasa dalam ekosistem bisnis. Banyak perusahaan baru berbasis teknologi hadir dan mendisrupsi pemain konvensional. Hal baru ini kemudian mengundang rasa penasaran para konsumen, dan perlahan membuat mereka berpaling.
“Apapun yang namanya baru pasti menjadi sebuah euphoria. Banyak konsumen yang penasaran dan mencoba untuk menggunakan produk maupun jasa yang ditawarkan di online atau e-commerce. Sehingga ada peralihan yang kami sebut dengan temporarily shifting dari transaksi konvensional ke e-commerce,” kata Roy.
Perubahan Perilaku Konsumen
Ini poin penting yang digaris bawahi APRINDO menjadi faktor utama kondisi ritel yang underperform. Perubahan perilaku konsumen telah terjadi, baik di daerah urban maupun rural.
“Konsumen tidak mau lagi pergi ke toko-toko besar yang sebenarnya tidak efisien. Perilaku belanja mereka berubah, hanya perlu membeli barang melalui Go-Send atau pun aplikasi sejenis. Mereka tidak perlu jauh-jauh ke hypermarket, bermacet-macetan di jalan, atau pun antre,” papar Roy.
Perilaku konsumen saat ini dilihat Roy cenderung membeli barang-barang pokok yang dekat dengan mereka, seperti melalui minimarket. Sementara, barang-barang non-pokok bisa dibeli melalui delivery. Ini yang membuat minimarket tidak terkena dampak anomali industri ritel hingga hari ini.
Dari lima format ritel yang tercantum dalam UU No. 7 tahun 2014 (Minimarket, Supermarket, Hypermarket, Wholesaler, dan Department Store), ritel berukuran besar seperti hypermarket dan wholesaler berdasarkan catatan APRINDO menjadi yang paling terkena dampak. Sementara, minimarket terus tumbuh signifikan.
Sumber:Marketeers
Photo Credits: 123rf
10Berita,Kondisi ritel di Indonesia tak dipungkiri tengah berada pada situasi underperform. Catatan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) sejak tahun 2015 menunjukkan, sebanyak 3%-4% dari total 40 ribu toko ritel modern yang bergabung dengan APRINDO di seluruh Indonesia menutup ritel fisik mereka hingga hari ini. Lantas, apa saja faktor yang menyebabkan pemain ritel di Indonesia berguguran?
Inflasi
Faktor perdana yang memengaruhi kegoyahan industri ritel diawali dengan kondisi inflasi pada tahun 2015. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey meyakini, inflasi yang pada saat itu mencapai 8% year-on-year menyebabkan daya beli konsumen menurun.
“Inflasi sangat berpengaruh terhadap konsumsi. Ketika inflasi tinggi berarti nilai rupiah turun sehingga terjadi pengurangan transaksi,” terang Roy.
Transisi Pemerintahan Baru
Transisi dari masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden terpilih kala itu, Joko Widodo turut membawa pengaruh pada kondisi bisnis ritel di Indonesia.
Transisi tersebut menyebabkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja di tahun 2015 yang telah dibuat pada tahun 2014 oleh pemerintahan sebelumnya harus direvisi.
“Revisi APBN 2015 yang seharusnya terealisasi di Februari atau paling tidak April untuk pembangunan desa, daerah, kota, dan kabupaten harus direvisi dan baru keluar di pertengahan tahun 2015. Apa yang terjadi? Akhir Mei dan Juni baru bisa terealisasi. Alhasil, pembangunan selama satu semester terhambat,” jelas Roy.
Ketika pembangunan terhambat, produktivitas masyarakat pun akan terkena dampak. Ujung-ujungnya berdampak juga ke pendapatan masyarakat.
“Hal ini membuat roda pembangunan yang baru berjalan di pertengahan tahun itu menggerus ekonomi selama satu semester. Nah, di dalamnya termasuk ritel, tergeruslah konsumsi masyarakat di ritel,” ujar Roy.
Rendahnya Nilai Hasil Komoditi
Selain dua faktor di atas, nilai hasil komoditas yang rendah juga membawa pengaruh besar bagi ritel di Indonesia.
“Terjadi pula komoditas ekspor yang berkurang dari pembeli di China, Eropa, dan Amerika yang menilai harga komoditas kita rendah sehingga otomatis produktivitasnya juga rendah untuk memproduksi kelapa sawit dan batu bara,” terang Roy.
Ketika produktivitas rendah maka otomatis berdampak kepada pendapatan yang rendah dari perusahaan dan juga karyawan. Alhasi, kemampuan untuk konsumsi pun menurun.
E-commerce dan Rasa Penasaran Konsumen
Sejak 2015, terjadi perubahan luar biasa dalam ekosistem bisnis. Banyak perusahaan baru berbasis teknologi hadir dan mendisrupsi pemain konvensional. Hal baru ini kemudian mengundang rasa penasaran para konsumen, dan perlahan membuat mereka berpaling.
“Apapun yang namanya baru pasti menjadi sebuah euphoria. Banyak konsumen yang penasaran dan mencoba untuk menggunakan produk maupun jasa yang ditawarkan di online atau e-commerce. Sehingga ada peralihan yang kami sebut dengan temporarily shifting dari transaksi konvensional ke e-commerce,” kata Roy.
Perubahan Perilaku Konsumen
Ini poin penting yang digaris bawahi APRINDO menjadi faktor utama kondisi ritel yang underperform. Perubahan perilaku konsumen telah terjadi, baik di daerah urban maupun rural.
“Konsumen tidak mau lagi pergi ke toko-toko besar yang sebenarnya tidak efisien. Perilaku belanja mereka berubah, hanya perlu membeli barang melalui Go-Send atau pun aplikasi sejenis. Mereka tidak perlu jauh-jauh ke hypermarket, bermacet-macetan di jalan, atau pun antre,” papar Roy.
Perilaku konsumen saat ini dilihat Roy cenderung membeli barang-barang pokok yang dekat dengan mereka, seperti melalui minimarket. Sementara, barang-barang non-pokok bisa dibeli melalui delivery. Ini yang membuat minimarket tidak terkena dampak anomali industri ritel hingga hari ini.
Dari lima format ritel yang tercantum dalam UU No. 7 tahun 2014 (Minimarket, Supermarket, Hypermarket, Wholesaler, dan Department Store), ritel berukuran besar seperti hypermarket dan wholesaler berdasarkan catatan APRINDO menjadi yang paling terkena dampak. Sementara, minimarket terus tumbuh signifikan.
Sumber:Marketeers