Mengapa Jokowi Abaikan Partai-Partai Non DPR dan NU?
Oleh Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara)
10Berita - Urusan apa dan dengan siapa? Urusan dengan partai politik tertentu, dan NU. Mereka tak diperlakukan sama dengan partai lain, tanpa penjelasan dari Pak Jokowi sejauh ini. Entah kenapa? Apakah mereka tak memiliki kursi di DPR, atau hal lainnya? Tidak jelas. Gelap.
Kenapa mereka tak diangkat jadi menteri atau diberi jabatan lain? Menurut UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian terbatas. Tetapi kenapa tidak menggunakan keterbatasan itu untuk memprioritaskan mereka? Kenapa memprioritaskan yang lain yang tidak berpartai? Tak ada penjelasan selayaknya dari Pak Jokowi.
Telah Bekerja
Dilihat dari sudut pandang hukum, cara pembentukan kabinet dalam sistem presidensial, beda dengan parlementer. Sistem presidensial menyerahkan kewenangan pembentukan kabinet sepenuhnya pada presiden secara personal. Partai tidak diikutkan dalam urusan ini. Beda betul dengan sistem parlementer. Dalam sistem ini partai-partai, tentu yang memiliki kursi di DPR, yang sedari awal berkoalisi ikut membicarakan, dalam makna menentukan formasi kabinet.
Tetapi soalnya tidak disitu. Ini bukan soal hukum. Ini soal politik. Penentuan siapa dan dapat apa itu soal politik, bukan hukum. Mengapa sebagian partai, bukan diikutkan, tetapi dijatahi jabatan dan sebagian tidak? Toh dalam kenyataannya mereka telah menjadi lebih Jokowi dan Kiyai M’ruf di sepanjang jalan kampanye yang bergelombang dan berat. Ini bukan hukum. Ini politik sepenuhnya.
Merekalah yang menyukseskan Pak Jokowi jadi presiden. Pada merekalah Presiden berhutang. Hutangnya pasti sangat tak bisa diperhitungkan. Mereka telah bersekutu, setidaknya menjadi pendukung non ideologis Pak Jokowi dengan segala emosinya. Mereka bukan sekutu asal-asalan. Mereka sekutu top. Apalagi sayap NU.
Politik memang dunia tersendiri. Dunia yang kejam. Dunia ini, seperti Churchil, pria yang pernah menjadi PM Ingris pada perang dunia ke-2, yang sangat bergairah menghadapi tantangan, kadang mengabaikan deteil, dan mudah mengubah kebijakan lukiskan sebagai dunia yang membuat seseorang bisa mati berkali-kali. Itu beda dengan perang, katanya. Dalam perang orang hanya mati sekali. Dalam politik bisa mati berkali-kali.
Itukah yang sedang dipaksa dialami partai-partai ini dan NU? Diabaikan setelah bekerja, tapa penjelasan? Padahal fungsionaris-fungsionaris utama partai-partai berkelas lebih dari Pak Jokowi. Orang-orang ini jelas dalam semua hal. Mereka telah bicara dalam banyak tingkatan isu. Mereka arif dalam banyak hal. Apa mungkin karena arif itulah, sehingga menjauhkan mereka dari hasrat menjadi lawan untu Pak Jokowi sepagi ini.
Kearifan mereka, mungkn dapat diharapkan tidak membuat mereka mempertalikan politik dengan harga diri. Ketika politik dan harga diri dipertalikan, atau politik dilihat sebagai permainan yang melibatkan harga diri, emosi dan fanatisme, maka goresan kecil sekalipun terhadap mereka, sama dengan memanggil badai datang secepat kilat. Itu yang tersirat dari kata-kata bijak, satu lawan menjadi terlalu banyak dari seribu kawan.
Rumit
Partai-partai ini dan NU pasti tidak meminta jabatan, apapun, dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya yakin itu. Itu dapat dipastikan. Toh setiap saat mereka secara terbuka mengatakan dukungan yang mereka berikan kepada Pak Jokowi tanpa syarat. Apalagi harus memegang jabatan ini atau itu.
Mereka, saya duga, juga tidak sedang menyuruh dengan cara yang khas agar Pak Jokowi memahami betapa politik tidak pernah terlepas dari kredo “kami berikan apa dan apa imbalannya.” Mereka orang-orang yang tahu dunia politik tidak pernah cukup jauh dari permainan siapa menunggangi siapa. Tetapi mereka juga, saya cukup yakin, tahu politik juga bukan dunia yang tidak terjalin dengan kebijakanaan dan kearifan. Disitulah Jokowi seharusnya berada.
Rumit memang. Tetapi serumit itu sekalipun Pak Jokowi harus menemukan cara solusi menyenangkan. Pemecahan menyenangkan itu tidak berbentuk meminta mereka memahami kesulitan Pak Jokowi. Sudah terlalu lama, terlalu sering selama kampanye mereka memahami Pak Jokowi, juga Kiyai Ma’ruf.
Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi, kesulitan Pak Jokowi. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu mereka telah bersama-sama Pak Jokowi mencapai tujuan; jadi presiden. Pak Jokowi pasti tahu itu. Dan politik mengharuskan presiden tahu keinginan mereka yang sudah tertatih-tatih menjadikan Pak Jokowi Presiden.
Harus beri mereka jabatan? Mereka tak meminta. Tapi apa iya? Apa Pak Jokwi tak mengetahui bahwa bagi partai politik, berada dalam pemerintahan jadi sejenis kehormatan. Ini gengsi kecil. Krusialnya semua kementerian telah terisi. Jabatan lain juga terisi. Berhentikan mereka yang sedang menjabat? Apa alasannya? Mereka juga, dengan cara yang minimal sekalipun telah bekerja membawa Pak Jokowi jadi Presiden.
Bentuk lembaga baru untuk mereka? Oke saja. Tetapi duit sedang susah. Hutang sedang terus digali. BPJS kesehatan sudah dinaikan. Kerumitan-kerumitan kecil itu, dalam kenyataannya berhimpit dengan formasi kabinet yang jauh dari segaris dengan kearifan konstitusional selama bertahun-tahun.
Kearifan konstitusional itulah yang membuat PP Muhammadiah dan PB NU bertahun-tahun berada pada Kementerian Dikbud dan Kemenag. Kini mereka tersingikir. Padahal NU, setidaknya melalui sayapnya, seperti juga partai-partai sudah habis-habisan disepanjang jalan kampanye pilpres yang berat. Pantaskah NU harus menemukan kenyataan yang pahit? Tersingikir dari puncak Kementerian Agama?
Akankah semua kerumitan itu menghasilkan jalan terjal bagi Pak Jokowi? Yang bisa dijelaskan urusan Pak Jokowi dengan mereka jauh dari selesai. Memecahkannya rumit, tidak memecahkannya juga rumit. Tapi membiarkannya, sama dengan membuat spektrum politik menjadi serba negatif. Rumit, tapi tidak kusut memang. Akankah Pak Jokowi mendatangi mereka dengan paket pemecahan yang menyenangkan, dan selaras dengan keadaan bangsa ini? Infrastruktur tak punya hati. Manusia punya hati yang bisa merasa, punya emosi dan punya mimpi.
Terburu-buru akan menghasilkan solusi yang rapuh. Tetapi berlama-lama justru dapat memanggil fenomena James Comey, Direktur FBI yang disingkirkan Trump dari jabatannya. Anda tahu? Comey muncul di depan Komite Inteljen DPR menjahit secara rapih berbagai cerita tentang isu keterlibatan Rusia dalam pemilu yang menghasilkan Presiden Trump.(*)
Sumber: Teropong Senayan