Negara tidak Boleh Menjadi Perampok!
10Berita - Kasus penipuan uang jamaah oleh biro perjalanan haji/umroh First Travel ternyata masih menyisakan kepedihan bagi nasabah. Memang dalam keputusannya pada 15 November 2019, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 20 tahun penjara untuk pemilik First Travel, Andika Surachman, dan 18 tahun bagi istrinya, Anniesa Hasibuan. Namun, ada hal yang janggal dan mengoyak rasa keadilan dalam keputusan MA itu.
Kasus ini mulai mencuat tahun 2017. Pengaduan ribuan jamaah (sudah setor dana tetapi tidak juga diberangkatkan umroh) membuat pemilik First Travel tak bisa menghindar lagi. Keputusan pun dimulai dari Pengadilan Negeri Depok hingga perjalanan banding sampai akhirnya berujung di meja MA.
Besarnya vonis majelis hakim MA yang dipimpin Andi Samsan Nganro dan anggota Eddy Armi serta Margono memang terasa setimpal dengan tindakan kedua pemilik First Travel itu. Namun yang menjadi pertanyaan besar masyarakat luas adalah soal penyitaan atau perampasan aset First Travel oleh negara dan tak dikembalikan ke jamaah yang telah tertipu tersebut.
Bunyi keputusan MA itu antara lain menyatakan, bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dan disita dari para terdakwa yang telah terbukti, selain melakukan tindak pidana penipuan, juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan pasal 39 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan pasal 46 KUHP, barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara.
Dalam pasal 39 KUHP, ayat 1 berbunyi: barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Lalu ayat 3 menyebutkan: perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Kemudian ayat 1 pasal 46 KUHP menyatakan: benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila, (a) kepentingan penyidikan atau penuntutan tidak memerlukan lagi, (b) perkara tersebut tidak jadi dituntut, (c) perkara tersebut dikesampingkan untuk umum atau ditutup demi hukum kecuali benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dalam ayat 2 pasal 46 KUHP, bunyinya seperti ini: apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Dari pasal-pasal itu jelaslah, bahwa perampasan atau penyitaan barang/benda akan dikembalikan kepada mereka yang paling berhak. Dalam hal ini, yang paling berhak adalah jamaah yang ditipu oleh First Travel, bukan yang lain. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memberikan aset pada para jamaah secara proporsional.
Memang, benda atau aset First Travel itu bisa dirampas untuk negara dalam hal benda itu akan dimusnahkan/dirusakkan atau jadi bukti perkara lain. Aset First Travel itu bukan miras atau narkoba sehingga tidak masuk akal andai akan dimusnahkan. Kalaupun aset itu disita untuk perkara lain, nanti juga harus diserahkan pada jamaah yang memang paling berhak mendapatkannya. Faktanya, aset yang disita itu tidak menjadi barang bukti kasus lain.
Pada kasus penipuan yang dilakukan First Travel jelas-jelas yang menjadi korban atau dirugikan itu jamaah, bukan negara. Ada sekitar Rp950 miliar uang jamaah yang tertahan di First Travel. Dalam logika pemikiran orang berakal sehat, semua aset itu harus dikembalikan kepada jamaah. Kalau aset itu dirampas dan diserahkan ke negara, lantas kerugian macam mana pula yang dialami negara dalam kasus ini? Sungguh pemikiran yang janggal dan tak memenuhi rasa keadilan.
Jika dasar pemikirannya adalah sulitnya mencari bukti setoran dari jamaah, itu tidak bisa dijadikan dalih untuk berkelit. Justru tugas aparat untuk mengecek jamaah yang memiliki bukti asli dan sah dalam menyetorkan dananya ke First Travel. Dari situ tinggal dihitung secara proporsional antara jumlah aset yang disita dengan besarnya dana yang disetor jamaah ke First Travel. Bagi yang tidak memiliki bukti setoran secara otentik, mohon maaf, tentu tidak akan bisa menerima pengembalian (sebagian) dana. Ini konsekuensi logis.
Perampasan aset First Travel untuk diserahkan pada negara ini haruslah bersifat sementara. Setelah itu, secepatnya aset tersebut harus dikembalikan pada jamaah yang menjadi korban penipuan. Apabila perampasan aset itu dilakukan dan dimiliki negara serta tak dikembalikan pada mereka yang berhak (karena telah menjadi korban penipuan), maka ini sama artiya negara merampas hak warganya seenaknya.
Dengan kata lain, ini adalah perampokan. Sekalipun oleh negara, perampokan tetap tidak bisa dibenarkan, apa pun dalihnya. Sudah pasti pula perampokan itu bertentetangan dengan prinsip penyelenggaraan negara. Bukankah negara itu harus menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya dan bersikap adil atau memenuhi rasa keadilan masyarakat?
Pada saat awal-awal sidang digelar, ada beberapa tuntutan dari para korban agar pemerintah mengganti kerugian yang diderita jamaah. Permintaan ini dianggap mengada-ngada lantaran First Travel itu milik perorangan dan bukan badan usaha milik negara (BUMN). Kalau kemudian aset First Travel -sesungguhnya merupakan harta/benda milik jamaah- malah disita dan dimiliki negara, ini sungguh tidak bisa diterima.
Rasanya, semua pihak perlu mengingatan kesemena-menaan aparat hukum dalam kasus ini. Hal ini sama saja artinya negara merampas hak milik sah dari rakyatnya. Berarti juga, peran sebagai tukang tipu yang dilakukan manajemen First Travel telah diambil alih oleh negara. Ini tidak boleh terjadi.
Penulis: Arif S (Indonesia Inside)
Sumber: