OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 09 Desember 2019

Buang Beras, Turuti Perut Tak Waras

Buang Beras, Turuti Perut Tak Waras


10BeritaPemerintah kita kembali memunculkan permasalahan. Tentu saja melalui kebijakan yang saling bertabrakan satu dengan yang lainnya. Bagaimana tidak, pada September 2018 lalu Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, melakukan impor beras sebanyak 2 juta ton. Padahal Dirut Bulog Budi Waseso mengatakan itu hal yang belum diperlukan. Sebab untuk apa impor jika stok beras di Bulog masih mencukupi hingga 2019.

 Dan pada tahun ini akhirnya Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Bayangkan pula bagaimana nasib petani lokal, yang pada tahun lalupun mengalami ” gagal panen” sebab harga padi anjlok dengan masuknya beras impor. Dan rakyat yang terpaksa makan nasi aking karena tak mampu membeli beras yang berkualitas.

 Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun. Data yang dimilikinya, saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,3 juta ton. Sekitar 100 ribu ton di antaranya sudah disimpan diatas empat bulan. Sementara itu 20 ribu lainnya usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun.

 Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan, bisa diolah kembali, diubah menjadi tepung dan yang lain, atau turunan beras atau dihibahkan.

 Meskipun boleh dimusnahkan, Tri mengaku pihaknya masih menemukan masalah. Masalah terkait penggantian beras yang dimusnahkan. Bulog berharap Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan bisa melakukan sinkronisasi aturan agar pemusnahan beras tersebut nantinya tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 Masalah Pangan Bercorak Kapitalisme

 Jelas ini problem besar pangan nasional yang tak bisa dianggap sepele. Sebab berpengaruh terhadap semua aspek. Terutama kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia. Mengingat beras menjadi salah satu kebutuhan pokok umat. Namun, ironi, ditengah suburnya sawah dan dan luasnya area pertanian, hingga Indonesia pernah mendapatkan julukan negara Agraria, namun rakyatnya kini tak bisa makan beras berkualitas.

 Bulog didirikan dengan maksud sebagai gudang penyimpan cadangan beras ketika panen raya terjadi. Sehingga surplusnya beras, tidak hanya habis dikonsumsi atau diperjual belikan . Artinya sebagai cadangan ketika di masa mendatang, kondisi terjadi sebaliknya. Misal karena bencana atau paceklik. Namun secara berkala simpanan beras itu juga harus disalurkan, guna menjaga mutu beras itu tetap baik. Di saat itulah sebenarnya rakyat bisa mendapatkan beras dengan harga dan kualitas terjangkau.

 Namun ternyata ketika berada pada sistem tak waras (kapitalisme) mekanisme penyalurannya mengalami kendala. Hingga ada beras lama yang tidak terdistribusikan ke rakyat. Apalagi jika bukan disebabkan sistem impor, Kartel dan salah kelola yang tak berbasis kemudahan dan maslahat rakyat. Rakyat jadi terbelah, ada yang mampu beli ada yang tidak. Ada yang berlebih ada yang kekurangan.

 Salah kelola jelas terjadi di internal Bulog. Disebabkan tidak sejalannya agenda impor kementrian perdagangan dan target bulog untuk meningkapan serapan atau pembelian dari petani sehingga bisa mengurangi impor. Ini adalah perkara bagaimana pemerintah memandang persoalan. Nyatanya persoalan utama itu bukan kemaslahatan umat. Melainkan permaianan kartel pangan.

 Yang lagi-lagi Indonesia tak berkutik menghadapinya adalah problem Kartel pangan yang masih belum bisa diselesaikan. Akibatnya rentan ada permainan harga dan penimbunan harga. Padahal dalam Islam itu adalah keharaman. Namun keniscayaan bagu kapitalisme. Hegemoni pasar adalah cara terbaik kapitalisme mengeruk keuntungan. Kartel tak akan mau ambil rugi, sebab memang tujuannya semata-mata untuk mengambil keuntungan.

  Semua ini melengkapi bukti bahwa Negara korporasi lebih melindungi kepentingan pebisnis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Butuh negara yang benar-benar mengurusi tak hanya masalah kemaslahatan umat namun juga secara teknis penyediaan kesejahteraan. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khatab yang rela memanggul sekarung beras menuju rumah seorang janda yang memasak batu.

 Islam, Negara Hadir Secara Praktis

 Bukan karena negara berada pada masa sulit, namun karena kondisi janda tersebut yang tak mungkin mencari makanan sendirian, sang pemimpin negara hadir, memasak gandum itu dan menyuapi sendiri dengan tangannya anak-anak janda yang kelaparan.

 Atau ketika Madinah ditimpa paceklik. Lagi-lagi Khalifah Umar bukannya menetapkan harga namun mengadakan subsidi silang dengan memerintahkan salah satu gubernurnya di Mesir untuk membantu mengirim bahan pokok dan unta. Artinya, negara tak membiarkan mengambil keputusan impor begitu ada masalah.

 Sebab, pangan adalah persoalan krusial. Ketahanan sebuah negara berasal dari ketahanan pangannya. Maka negara harus hadir secara praktis, tidak saja dengan kebijakan swadaya pangan agar produksi dalam negeri tidak loyo namun juga untuk mengangkat kesejahteraan Petani itu sendiri. Kebijakan impor dilakukan dengan memandang negara mana yang diajak kerjasama. Sehingga menutup celah kemungkinan negara berada dibawah dikte negara lain. Wallahu a’lam bishowab.

 Penulis: Rut Sri Wahyuningsih

Sumber: