OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 13 Januari 2020

Pendekatan Trump terhadap Iran Kacau dan Tak Dapat Diprediksi

Pendekatan Trump terhadap Iran Kacau dan Tak Dapat Diprediksi



FacebookTwitterWhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail

10Berita,Pendekatan Presiden AS Donald Trump terhadap Iran semakin kacau dan tidak dapat diprediksi. Trump tidak mau memicu konflik dengan Iran, tapi juga tidak mau terlihat lemah. Semuanya ia pertimbangkan di tahun Pemilu AS 2020.

Selasa (31/12) pagi, anggota milisi Irak dan demonstran pro-Iran menyerbu kompleks Kedutaan Besar AS di Baghdad, setelah serangan udara pemerintahan Trump terhadap milisi yang didukung Iran pada Minggu (29/12).

Serangan terhadap kedutaan itu (mungkin krisis terburuk antara Irak dan AS sejak 2003) mengungkapkan ketidakkonsistenan dan kerentanan kebijakan pemerintahan Trump terhadap Iran dan Irak, menurut opini Aaron David Miller dalam tulisannya di CNN.

Seperti Gulliver modern, Presiden Trump secara metaforis berkeliaran di Timur Tengah, terikat oleh negara yang lebih kecil yang kepentingannya bukan milik Trump sendiri—dan oleh ilusi Amerika tentang wilayah tersebut, diabadikan oleh Trump yang entah bagaimana percaya bahwa dia bisa memaksa Iran untuk tunduk pada kehendaknya.

Kemungkinannya adalah bahwa situasi AS di Irak dan Iran kemungkinan akan menjadi lebih buruk dan semakin buruk.

AS terikat

AS tidak punya banyak pilihan selain pada Minggu (29/12) menanggapi serangan milisi Irak pro-Iran baru-baru ini terhadap pasukan AS di Kirkuk, yang merenggut nyawa seorang kontraktor Amerika dan melukai pasukan AS.


Pemerintahan Trump perlu mencegah dan memberi sinyal kepada Teheran bahwa serangan semacam itu tidak dapat diterima. Kegagalan untuk melakukan itu akan membuat pemerintah AS melanggar salah satu garis merahnya sendiri: bahwa AS tidak akan mentoleransi serangan terhadap warga Amerika.

Tetapi serangan-serangan AS tersebut tampaknya secara disengaja tidak proporsional, menewaskan sedikitnya 25 milisi dan melukai banyak lainnya. Dan tampaknya AS tidak mempertimbangkan bahwa serangan udara itu akan secara serius mempermalukan pemerintah Irak atau dapat menimbulkan reaksi seperti penyerbuan terhadap Kedutaan Besar Amerika, ucap Aaron David Miller.

Penyerbuan Kedubes itu menimbulkan pertanyaan mengapa pemerintah AS tidak memikirkan bagaimana Teheran dapat menanggapi serangan udara pada Minggu (29/12) di lima pangkalan milisi pro-Iran di Irak dan Suriah, dan mengapa keamanan di kedutaan itu tidak ditingkatkan sebelumnya.

Iran Diuntungkan

Iran telah secara efektif mengoordinasikan serangan terhadap pasukan AS sebelumnya, terutama selama fase awal perang Irak. Namun setelah serangan terbaru ini, seharusnya jelas bahwa Washington tidak berada di level yang sama di Irak dan bahwa Iran menikmati keuntungan luar biasa, karena sejumlah alasan.

Pertama, pemerintah Irak jauh lebih tergantung secara finansial dan ekonomi pada tetangganya Iran daripada kepada AS. Irak adalah importir terbesar kedua dari komoditas non-minyak Iran, dan Iran adalah pemasok utama listrik ke wilayah selatan negara itu.

Kedua, walau AS telah menghabiskan miliaran dolar untuk melatih, memperlengkapi, dan membantu pasukan keamanan Irak dengan cukup banyak keberhasilan, integrasi beberapa milisi paling pro-Iran ke dalam pasukan keamanan itu semakin bermasalah. Pasukan ini telah berperan secara brutal membantu pemerintah Irak menekan demonstran Syiah baru-baru ini, dan penyerbuan kompleks kedutaan tidak mungkin dilakukan tanpa persetujuan pasukan keamanan pemerintah terhadap milisi tersebut.

Ketiga, AS memberi Iran keuntungan propaganda yang luar biasa. Ini telah mengubah sentimen anti-Iran di antara warga Irak terhadap AS, dan memicu pengunjuk rasa di Kedutaan Besar AS untuk melempar batu dan meneriakkan “Matilah Amerika”.

Apa permainan akhir Trump dengan Iran?

Segalanya tampak lebih tenang di sekitar kedutaan pada Rabu (1/1) pagi. Namun masih terlalu dini untuk menentukan apakah peristiwa baru-baru ini akan mengarah pada konfrontasi AS yang lebih luas dengan proksi Iran atau Iran sendiri.

Satu hal yang jelas: Pendekatan Presiden Trump terhadap Iran kacau oleh sejumlah faktor lintas-sektoral, yang membuat setiap langkah kebijakan terhadap Iran tidak dapat diprediksi, lanjut Aaron David Miller.

Di satu sisi, setelah penarikannya dari kesepakatan nuklir Iran, Trump meluncurkan kampanye tekanan maksimum yang keras pada sanksi yang menghancurkan ekonomi Iran. Namun sanksi semacam itu tidak menghentikan kegiatan regional Iran di Lebanon, Yaman, atau Irak, juga tidak membuatnya lebih fleksibel dalam masalah nuklir.

Di sisi lain, terlepas dari retorika kerasnya, Trump telah berkali-kali menegaskan bahwa ia ingin duduk bersama Presiden Iran Hassan Rouhani, mungkin untuk menegosiasikan kesepakatan nuklir baru yang menurut Trump lebih baik. Dan tak mau berisiko menolak ketika berhadapan dengan Iran secara langsung, ia memilih untuk tidak menyerang Iran sebagai balasan atas serangan Iran terhadap fasilitas minyak Saudi September lalu.

Seiring kita memasuki tahun 2020 dan tahun pemilu AS, kemungkinan kebingungan ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang apa yang sebenarnya diinginkan Trump untuk melemahkan Iran, mengubah rezim, atau mencapai kesepakatan nuklir baru.

Trump menghadapi teka-teki: bagaimana menghindari terlihat lemah tanpa memicu konflik dengan Iran atau keterlibatan lebih di Irak, yang akan mengasingkan basisnya dan memberi dorongan pada lawan-lawannya, Aaron David Miller menyimpulkan.

Pada Selasa (31/12) malam, Trump mengancam bahwa Iran akan membayar “harga besar” untuk penyerbuan kedutaan tersebut. Namun masih harus dilihat apakah ini adalah tipikal gertakan Trumpian, atau ancaman yang tidak biasa dari Trump yang mengarah pada respons Amerika yang lebih agresif terhadap Iran.

Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Presiden AS Donald Trump mendengarkan selama diskusi meja bundar di U.S. Customs and Border Protection National Targeting Center di Sterling, Virginia, pada 2 Februari 2018. (Foto: Getty Images/Andrew Harrer-Pool)

Sumber:  UCnews