Peneliti Indef nilai tujuan UE diskriminasi sawit ingin kuasai energi
Siswa SD berjalan di samping tumpukan kelapa sawit di perkebunan kawasan Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
10Berita, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa salah satu tujuan Uni Eropa (UE) mendiskriminasikan kelapa sawit yakni ingin menguasai energi dunia.
"Kalau saya lihat, minyak nabati digadang-gadang bakal menjadi sumber energi pengganti fosil di masa mendatang. Jadi siapa yang bisa menguasai energi pengganti fosil dialah yang mungkin akan memegang dunia di masa depan," ujar peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Karena hal itu, lanjut dia, Uni Eropa menahan pertumbuhan industri kelapa sawit dengan mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan itu membuat produk kelapa sawit menjadi terdiskriminasi.
"Tentu kita harus lawan. Mereka ingin mengganti sawit dengan barang mereka yang bisa subtitusi sawit. Salah satunya mereka punya bunga rapeseed," katanya.
Saat ini, menurut dia, salah satu yang harus terus dilakukan pemerintah adalah melakukan riset mendalam mengenai sawit, baik dari ekonomi dan lingkungan hingga implementasinya.
"Dalam tatanan penelitian riset and development (R and D) kita sudah bagus, mulai dari B30 sampai B100. Namun, kita masih terkendala infrastruktur, bagaimana kita menggunakan produk sawit secara masif," katanya.
Maka itu, lanjut Ahmad Heri, pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk memastikan produksi sawit berjalan secara berkelanjutan.
"Perhatikan aspek di tingkat hulu artinya produksinya, sawit inikan komoditas ekspor jangan sampai nantinya hanya dipakai di dalam negeri saja dan mengurangi ekspor," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menggunakan tim kuasa hukum internasional untuk menghadapi Uni Eropa untuk kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia di WTO.
Sumber:antaranews.com
Siswa SD berjalan di samping tumpukan kelapa sawit di perkebunan kawasan Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
10Berita, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa salah satu tujuan Uni Eropa (UE) mendiskriminasikan kelapa sawit yakni ingin menguasai energi dunia.
"Kalau saya lihat, minyak nabati digadang-gadang bakal menjadi sumber energi pengganti fosil di masa mendatang. Jadi siapa yang bisa menguasai energi pengganti fosil dialah yang mungkin akan memegang dunia di masa depan," ujar peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Karena hal itu, lanjut dia, Uni Eropa menahan pertumbuhan industri kelapa sawit dengan mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan itu membuat produk kelapa sawit menjadi terdiskriminasi.
"Tentu kita harus lawan. Mereka ingin mengganti sawit dengan barang mereka yang bisa subtitusi sawit. Salah satunya mereka punya bunga rapeseed," katanya.
Saat ini, menurut dia, salah satu yang harus terus dilakukan pemerintah adalah melakukan riset mendalam mengenai sawit, baik dari ekonomi dan lingkungan hingga implementasinya.
"Dalam tatanan penelitian riset and development (R and D) kita sudah bagus, mulai dari B30 sampai B100. Namun, kita masih terkendala infrastruktur, bagaimana kita menggunakan produk sawit secara masif," katanya.
Maka itu, lanjut Ahmad Heri, pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk memastikan produksi sawit berjalan secara berkelanjutan.
"Perhatikan aspek di tingkat hulu artinya produksinya, sawit inikan komoditas ekspor jangan sampai nantinya hanya dipakai di dalam negeri saja dan mengurangi ekspor," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menggunakan tim kuasa hukum internasional untuk menghadapi Uni Eropa untuk kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia di WTO.
Sumber:antaranews.com