Fahri Hamzah Sarankan Presiden Jokowi Tak Perlu Lanjutkan Bikin RUU Omnibus Law, Jangan Meniru Otoritarianisme China
10Berita - Mantan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menilai, seharusnya pemerintah tak perlu repot-repot menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Ia tak sepakat adanya omnibus law semacam itu.
"Enggak perlu repot, kita enggak biasa bikin begini-begini, nanti jadi kacau," kata Fahri selepas mengikuti diskusi di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Fahri menilai, keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja rentan dipersoalkan publik. Apalagi, jika aturan tersebut dinilai tak mewakili kepentingan buruh.
Bahkan, bukan tidak mungkin jika di tengah jalan aturan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi dan hakim MK memutuskan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi.
Jika hal itu terjadi, justru akan mengacaukan peraturan-peraturan lainnya yang termaktub dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
"Daripada itu diikat dalam undang-undang nanti di tengah jalan undang-undang harus disinkronisasi dengan yang lain, di tengah jalan nanti di-judicial review di MK, misalnya hakimnya menjatuhkan, mematahkan, maka semua aturan lain jadi kacau," ujar dia.
Omnibus Law Jokowi Ada Tren Ingin Ikuti Cina
Fahri menilai RUU sapu jagat itu menunjukkan keinginan pemerintah mengikuti pola-pola yang dianut pemerintah Cina.
"Ada tren untuk mengikuti sukses Cina versus sukses demokrasi, terutama Amerika dan Eropa," kata Fahri.
Pemerintahan Cina yang otoriter, kata Fahri, jelas bertentangan dengan demokrasi di mana kebebasan individu dijunjung tinggi. Namun, otoritarianisme Cina juga membawa Negara Tirai Bambu itu menjadi negara yang ekonominya maju.
Di sisi lain, Fahri menyebut ada sejumlah pejabat negara menganggap demokrasi malah menghambat pertumbuhan ekonomi. Dia menduga pemerintah Indonesia seperti berada di persimpangan memikirkan dua konsepsi ini.
Namun dia pun menyayangkan sikap pemerintah yang bukannya memperdebatkan dua pandangan itu, melainkan langsung mengambil inisiatif lewat omnibus law. Fahri terutama menyoroti kecenderungan pemusatan kekuasaan kepada pemerintah seperti yang tertuang dalam omnibus law RUU Cipta Kerja.
Dalam draf beleid itu, terdapat sejumlah pasal yang jika digolkan bakal membuat eksekutif sangat berkuasa. Beberapa di antaranya adalah Pasal 166 dan Pasal 170. Pasal 166 menyebutkan bahwa peraturan daerah bisa dicabut dengan peraturan presiden. Adapun Pasal 170 menyebut pemerintah dapat mengubah UU menggunakan peraturan pemerintah.
"Saya khawatir ini ada mazhab yang menganggap kita bisa membuat regulasi yang melampaui regulasi lain yang sudah ada," kata Fahri.
Fahri menyarankan Jokowi sebaiknya tak usah membuat omnibus law karena bakal merepotkan. Ia berujar Jokowi sebenarnya cukup melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan saja.
"Mendingan Presiden gunakan presidensialismenya untuk mensinkronisasi semua aturan teknis yang ada masalah," kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia ini.
Seperti diketahui, DPR telah menerima draf serta surat presiden (surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Draf dan surpres diserahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Namun, 'bocoran' draft RUU omnibus law ini menimbulkan polemik luas.
Sumber: Kompas, Tempo