OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 05 Maret 2020

Lemahnya Moralitas Sultan Ottoman dan Akhir Kesultanan Islam

Lemahnya Moralitas Sultan Ottoman dan Akhir Kesultanan Islam



10Berita, Tepat 96 tahun lalu, pada 3 Maret 1924 Kesultanan Islam Ottoman mengalami keruntuhan. Emperium yang berdiri kurang lebih selama 625 tahun lalu itu dibubarkan lewat Majelis Nasional Agung dalam sidangnya sejak Februari 1924.

Majelis juga memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah dan mempesilahkan khalifah terakhir, Abdul Majid II meninggalkan Turki. Sebelumnya berakhir, Ottoman mengalami kejatuhan dan dilanda sentimen nasionalisme, seperatisme serta keterbelakangan. Sehingga dijuluki sebagai sick man of Europe.

Kesultanan Ottoman pernah berada pada puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Sultan Sulaiman Al Qonuni pada abad ke-16 dan 17 Masehi. Di bawah kepemimpinannya, Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani seantero dunia baik dalam bidang politik, ekonomi, dan militer. Wilayah kekuasaannya terbentang dari timur ke barat, mencakup daratan dan perairan Afrika, Eropa, dan Asia. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, Sultan Sulaiman mendapatkan julukan Solomon The Magnificent atau Solomon The Great.

Setelah Kekhilafaan Islam lenyap, berdirilah Republik Turki yang sekuler dengan dikomandani oleh Mustafa Kemal Attaturk, sekaligus menjabat sebagai presiden pertamanya. Untuk Kesultanan Ottoman sendiri mengalami keruntuhan pada tahun 1922, akibat kekacauan sosial dan ekonomi.

Disamping itu, saat itu dominasi Eropa semakin kuat kemudian diperparah kekalahannya pada perang dunia pertama. Sebagai konsekuensinya, Kesultanan Ottman harus rela kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya. Berawal dari sinilah, revolusi Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal dimulai.


Namun jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya Kesultanan Ottoman mulai melemah sejak sepeninggalnya Sultan Sulaiman The Magnificent. Sebab, para sultan penerusnya lemah dan tidak berwibawa. Kemudian ditambah dengan gaya hidup para abdi dalem istana yang glamor dan banyak terjadi penyelewengan keuangan atau korupsi. Puncaknya, pada masa kepemimpinan Sultan Ibrahim (1640-1648), dikala permaisuri dan keluarganya turut dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan, Sultan Ibrahim yang lemah dijadikan boneka oleh wazirnya atau perdana menterinya bernama Mustafa.

Pada masa kepemimpinan Sultan Hamid II (1876-1909), pemerintahan bersifat absolut dan penuh kekerasan. Sehingga munculah gerakan-gerakan oposisi terhadap pemerintahan Sultan Abdul Hamid II.

Salah satunya adalah Gerakan Turki Muda dengan pelopornya, antara lain, Ahmad Riza (1859-1931), Muhammad Murad (1853-1912), dan pangeran Sahabuddin (1877-1948). Tujuan pokok gerakan ini adalah meletakkan dasar yang tepat bagi kebangkitan dalam negeri serta meletakkan strategi yang baik untuk membendung campur tangan asing dan kekalahan Turki Utsmani dari serangan musuh.

Pada 1876 Masehi Gerakan Turki Muda dengan ideologi liberal berhasil memaksa Sultan Abdul Hamid II menerima Konstitusi 1876, sebuah konstitusi sekuler. Pada 13 April 1909 Sultan Abdul Hamid II diturunkan dan Muhammad Risyad menggantikannya sebagai khalifah.

Namun dia tidak berkuasa penuh karena pemerintahannya dibawah perintah Gerakan Turki Muda. Pada 1914 Turki Utsmani yang bersekutu dengan Jerman terseret Perang Dunia Pertama yang berakhir dengan kekalahan.

Pada 1920 Mustafa Kemal yang juga berasal dari Gerakan Turki Muda membentuk dan memimpin Majelis Nasional Agung Turki yang berpusat di Ankara, Turki. Kemudian pada tahun 1922 Sultan Mehmet VI Vahdettin dijatuhkan dan mengangkat Abdul Majid II menjadi Khalifah.

Mengutip Betty Mauli Rosa Bustam dan tim dalam buku berjudul "Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif," setelah penaklukan Konstantinopel, Turki dipimpin oleh sultan-sultan yang lemah.

Selain itu, pemerintahan pada masa Turki Utsmani tidak menaruh perhatian terhadap segala hal yang berkaitan dengan Arab yang menjadi wilayah kekuasaannya.

Namun, pemerintahan Turki Utmani justru menerapkan kebijakan Turkisasi, yaitu menanamkan pengaruh Turki di setiap wilayah kekuasaannya. Misalnya, penerapan bahasa dan tradisi Turki.

Dinasti Turki Utsmani sendiri kemudian dapat diserang tentara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Sehingga, kekuasaannya kian melemah dan beberapa negeri kekuasaannya memisahkan diri.

Sultan Mehmed VI (1918-1922) merupakan sultan Utmaniyah terakhir, saat Kesultanan  Utsmaniyah dibubarkan pada 1922. Pada November 1922, Dewan Tertinggi Nasional di Ankara menjadikan Turki sebagai negara republik dan melengserkan Sultan-Khalifah Muhammad VI, dan mengangkat saudara sepupunya, Abd al-majid, sebagai khalifah. Namun, al-Majid tidak menduduki jabatan sultan.

Hanya saja sebenarnya, Sultan Abdul Majid ini hanya khalifah boneka yang sama sekali tidak memiliki kekuasaaan. Puncaknya, badan legislatif membubarkan Kesultanan Ottoman pada 3 Maret 1924. Mustafa Kemal pun diangkat menjadi Presiden Turki dan juga tanda lahirnya Republik Turki. Dengan pendirian Republik Turki modern itu, ibukota kemudian pindah ke Ankara.

Sumber: Republika