OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 10 Maret 2020

UBN TERKRIMINALISASI, Ceramah Dihentikan, Diusir Dari Hotel

UBN TERKRIMINALISASI, Ceramah Dihentikan, Diusir Dari Hotel



UBN TERKRIMINALISASI

Sampai sekarang serasa masih ada bongkahan batu yang mengganjal di hati, menyaksikan Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) acaranya dihentikan dan kemudian beliau digelandang pergi dari hotel, Senin (9/3/2020).

Sekitar pukul delapan malam, Ahad malam Senin kemarin, Habib Asadullah Alaydrus kontak saya. Beliau memberi kabar bahwa ada penolakan acara yang akan dihadiri Ustadz Bachtiar Nasir di Malang. Saya turunkan laptop yang tadinya saya pangku. Agak serius saya ngbrol dengan beliau di telpon.

Saya memang sama sekali tidak tahu menahu dengan acara tersebut. Tak ada seorang panitia pun yang kontak saya. Tapi begitu mengetahui runtutan ceritanya, mulai dari pembatalan tempat di Unibraw hingga akhirnya diputuskan dilaksanakan di Hotel Radho JL. Sengkaling, saya pun akhirnya berusaha membantu teman-teman agar acara tetap bisa terlaksana.

Malam itu juga saya kontak Mas Lutfi Ardobi, sekretaris PA 212 dan KH. Khoirul anam, Ketua Rampak Naong (komunitas kiai berdarah Madura di Malang). Saya minta panitia untuk bertemu. Tapi rupanya Doktor Muwafik, dosen Fisip UB yang menjadi ketua panitia sedang berada di Jakarta. Sehingga yang diutus adalah Mas Reza, dosen Fakultas Teknik UMM, selaku sekretaris panitia.

Habib Asad mempercepat pengajiannya, untuk bisa bertemu kami. Saya menutup laptop, cerita ‘Cinta Tak Berbatas Energi’ yang sedang saya tulis, harus terhenti. Padahal saat itu saya berada di puncak imiginasi penulisan novel roman agama tersebut. Kiai Anam pun saat saya telpon, sebenarnya sudah bersiap ke peraduan. Entah mau apa tidur sesore itu.

Akhirnya Jam 23.30 kita bertemu. Saya dengar langsung permasalahnnya. Termasuk update surat ke Polisi yang masih belum mendapatkan Surat Keterangan Tanda Terima (SKTT). Malam itu setelah berbincang, kita sepakat acara tetap lanjut. Tapi, Mas Reza saya minta untuk segera mendapatkan SKTT.

Besoknya, saya mendapatkan info dari Mas Lutfi, ternyata Polsek Dau tidak mau mengeluarkan SKTT. Tapi acara tetap akan dilaksanakan, hanya tempatnya yang dipindah dari Hotel Radho Sengkaling ke Hotel Radho Kawi.

Saya dapat kepastian bahwa Kokam siap memberi pengamanan. LPI pun sudah siap sedia. Laskar Gamal pun sudah siap. Saya kontak Mas Junaedi dan Gus Hisa (Ansor), mereka memberi kabar bahwa tidak ada penolakan secara insitusi dari Ansor maupun Banser. Itulah kemudian, saya pastikan bahwa tidak ada penolakan acara UBN di Malang!

Tadi malam, selepas isyak saya menuju lokasi acara. Sampai sana suasana aman-aman saja. Ustadz Bachtiar Nasir sudah di lokasi, tapi masih di kamar. Saya minta ketemu, tapi oleh orang-orang yang membersamainya di kamar, disebut beliau sedang mandi. Saya balik arah menuju ruang acara, masih separuh kursi terisi.

Setelah itu saya keluar hotel, melihat-lihat suasana. Seorang laskar membuntuti saya. Saya memintanya balik, “Gak apa-apa, Sampean balik ae nang jerru,” seru saya. Saya jalan-jalan di sekitar hotel. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tapi kemudian beberapa mobil Polisi yang ditumpangi banyak perwira berdatangan. Satu, dua dan seterusnya.

Sampai akhirnya secara bersamaan, Habib Zainal Abidin Bilfeqih dan Doktor Muwafiq datang. Saya masuk bersama mereka. Naik ke lantai lima, tempat acara. UBN sudah ada di sana. Kami dipersilakan duduk di deretan kersi di depan. Saya dan Dr. Muwafiq menampik. Saya memilih kembali turun ke bawah, sementara Dr. Muwafiq memilih duduk di deretan kursi paling belakang, di belakang para ibu-ibu. Sedang Habib Zainal, karena beliau memang harus memberi sambutan, beliau pun maju. Duduk di sebelah UBN.

Acara dimulai: mulai MC, tilawah, sambutan dan paparan UBN. Lancar saja. Peserta mebludak. Kursi tidak cukup. Banyak peserta yang berdiri. Semua lancar terkendali. Saya husnuzhzhan saja, ini tidak ada apa-apa.


Tapi tak lama kemudian, ada kabar dari Ustadz Abdullah Hadrami, Habib Asad dan beberapa orang lainnya, mereka mendapat info dari Polisi bahwa sedang ada pergerakan massa menuju lokasi acara. Saya mengumpulkan pimpinan-pimpinan laskar, “Kalian jangan terprovokasi. Berjagalah di depan hotel,” instruksi saya pada mereka. “Kalau mereka melakukan aksi di halaman, biarkan saja. Itu adalah tugas Polisi, apakah akan membiarkan atau akan membubarkan. Tugas kalian adalah menjaga acara untuk tetap berjalan. Kalau sampai mereka masuk hotel untuk mengacau, baru kalian boleh bertindak!”

“Siaaap!” jawab mereka.

Tak berapa lama memang ada beberapa orang, kisaran belasan orang saja. Menurut informasi kawan-kawan, di antara mereka ini adalah orang-orang yang sama yang dulu pernah menolak deklarasi PA 212 di Gedung Muamalat.

Saya masuk ke barisan laskar di teras hotel. Mendengar, menyimak suara-suara mereka. Tak jelas, karena mereka tidak menggunakan pengeras suara. di antara beberapa yang terdengar, “Ayo mettuo koen, nyingkrio. Ojok nggawe kisruh nang Malang!

Wong atasane dudu ulamaˋ kok ngaku-ngaku ulamaˋ. Ayo rene balapan karo aku moco kitab kuning, moco Imriti, moco Alfiyah…” dan lain sebagainya teriakan mereka. Teman-teman diam saja mendengarkan teriakan mereka. Sambil sesekali tersenyum dan tertawa, kalau didapati ada yang dirasa lucu.

Telpon saya berdering, Mas Lutfi meminta saya baik ke lantai tiga. Saya bergegas. Rupanya sedang berlangsung negosiasi antara beberapa Polisi dengan Dr. Muwafiq. Polisi minta acara dihentikan. Dr. Muwafiq bersikeras tidak. Adu argumen terjadi. Polisi berdalih, acara ini tidak mengantongi SKTT. Sehingga harus bubar!

Dr. Muwafiq berdalih, ini acara ilmiah, seminar, diskusi. Di dalam ruangan, bukan di ruang terbuka, tidak perlu adanya SKTT dan sejenisnya. “Kami sudah sering mengadakan acara semacam ini. Tidak pernah ada apa-apa. Polisi tidak ada yang meminta kami bubar.”

“Tapi ini ada penolakan massa. Sehingga untuk alasan keamanan, acara dihentikan saja. Kami minta begitu. Tolong!” timpal seorang Polisi.

Saya ikut menyela, “Pak, kalau memang untuk menghindari keributan, kenapa bukan mereka saja yang dibubarkan. Kenapa harus kami?”

“Tidak bisa. Mereka adalah warga yang menolak.”

“Alasannya apa?”

Polisi tidak menjawab pertanyaan saya. Meraka tetap hanya meminta acara dibubarkan, agar situasi kembali baik.

“Sekarang begini saja, Pak. Siapapun mereka yang melakukan penolakan, sebaiknya Sampean ajak masuk. Sampean dan mereka hadir saja, ikut mendengar ceramah Ustadz Bachtiar. Kalau memang dalam isi ceramah beliau ada yang tidak sesuai, silakan diturunkan. Sila distop!”

Tapi mereka tetap tidak mau. Mereka hanya meminta acara dihentikan. Itu saja.

Negosiasi bubar. Saya tanya Dr. Muwafiq sebagai Ketua Panitia. “Gimana?”

“Iya, kita ngalah saja. Acara kita hentikan,” jawabnya.

Waktu mendekati Jam 21.00. Saya dekati MC, saya sampaikan apa yang terjadi. Ustadz Bachtiar dibisiki. Beliau mengangguk. Tapi beliau minta waktu, sedikit saja. “Kalau begitu kita lompat saja ke urutan yang terkhir,” katanya kepada hadirin.

Tepat Jam 21.00 beliau mengakhiri ceramahnya. Tidak ada tanya jawab. Saya meminta mic, saya kabarkan kepada jamaah, bahwa acara kita sukses, karena bisa terlaksana hingga Pukul sembilan malam, sebagaimana rencana semula. Saya tidak memberitahu jamaah secara eksplisit tetang apa yang terjadi.

Saya hampiri Ustadz Bachtiar, kita salaman dan bercipika-cipiki. Saya berbisik, “La baˋsa. Hadza syaiˋ ‘adi fidda’wah” (Gak apa-apa begitulah tantangan dakwah -terj).

(Ustadz Abrar Rifai -penulis)

Apakah setelah acara dihentikan kemudian tuntutan selesai? Ternyata tidak!

Polisi meminta agar peserta cepat-cepat keluar dari hotel. Padahal makan malam sudah terlanjur disiapkan. Saya minta waktu kepada Polisi, “Biarkan mereka makan dulu, Pak.”

Polisi setuju. Tapi tak lama, Polisi meminta agar cepat-cepat selesai, semua harus keluar dari hotel. Saya sisir ke lantai lima, yang masih makan, saya minta cepat. Yang sedang ngobrol, saya minta ngobrolnya dihentikan. Biasalah, seusai pengajian ada banyak kawan-kawan lama berjumpa, saling sapa dan bertanya kabar masing-masing.

Peserta semua sudah keluar. Yang tersisa di hotel adalah para tamu, yang sebagian saya lihat wajah mereka menyuratkan kecemasan. Saya dan beberapa panitia memang sudah buka kamar, jadi kami termasuk tamu hotel.

Tapi, setelah itu apakah urusan selesai? Ternyata tidak!

Kali ini Polisi meminta Ustadz Bachtiar Nasir untuk menemui orang-orang pengunjuk rasa. Saya setuju, Mas Reza setuju. Dr. Muwafiq sudah tidak ada di lokasi. Saya telpon beliau, tapi ternyata sudah menjauh dari hotel.

Saya sampaikan kepada beberapa orang yang mengawal UBN –sebagiannya disebut ajudan– agar ditemui saja mereka. Kita dialog, kita diskusi, apa sebenarnya yang menjadi penolakan mereka terhadap UBN. Biarkan UBN menjawab. Saya akan dampingi beliau.

Ternyata menunggu lama, UBN tak jua keluar dari kamar. Bahkan seorang di antara yang disebut pengawal UBN berujar, “Gak perlu ditemui mereka. Malah nanti kita bisa marah, kalau mereka melontarkan omongan-omongan yang tidak sopan.”

Deg. Dari situ saya sudah tidak OK. Kenapa harus takut dengan cercaan, cacian dan bahkan hinaan sekaligus. Justru ini kesempatan bagi UBN untuk mendengar dan menyampaikan skapnya. Apa lagi di hadapan Kapolres dan jajarannya, yang sebelumnya sudah menyatakan diri akan mendampingi.

UBN tak juga keluar. Polisi terus mendesak saya. Akhirnya saya berinisiatif saya saja dan Pak Dadik, pemilik hotel yang menghadapi. Kita temui lima orang perwakilan mereka. Tapi pembicaraan sudah tidak fokus ke substansi. Tapi malah melebar ke mana-mana: Parkiran mobil, pedagang nasi, orang Malang dan bukan orang Malang dan lain-lain.

Mereka menuntut adanya ganti rugi dari Pak Dadik terkait juru parkir yang katanya tidak bisa bekerja karena adanya acara ini. Ada juga sih pernyataan ketidaksukaan terhadap UBN. Tapi tidak disertai alasan apa yang membuat mereka tidak suka kepada UBN.

Pak Dadik menjelaskan bahwa hotel ini bebas. Siapa saja boleh menginap dan membuat acara. “Lha wong saya ini bisnis, ” kata Pak Dadik.

“Ada banyak ulamaˋselain UBN yang menginap dan membuat acara di hotel Radho. Kita terima saja.” Pak Dadik kemudian menyebut banyak nama yang sudah pernah menginap di Radho Hotel. Termasuk juga daftar ulamaˋyang akan menginap. Di antaranya KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia.

Saya nyaris tidak ikut bicara. Karena menurut saya, tidak ada yang substansi untuk saya ikut nimbrung. Saya hanya duduk anteng saja di samping Pak Dadik. Hanya ketika mereka bertanya nama dan asal saya, saya pun menjawab. Sudah itu saja. Pertemuan dengan mereka berakhir.

Pak Dadik memberi sejumlah uang, yang katanya untuk ganti rugi mereka. Pun, mereka mengultimatum agar Pak Dadik tidak lagi menerima Ustadz Bachtiar Nasir dan yang sama dengannya. Saya tidak tahu pasti, apa yang dimaksud sama.

Apakah setelah itu selesai? Ternyata tidak!

Kali ini tuntutannya sebagaimana yang disampaikan oleh Kapolres adalah UBN keluar dari hotel. Entah pindah hotel atau keluar Malang. “Saya jamin keamanan beliau selama dalam perjalan,” kata Kapolres.

Sampai di situ saya minggir. Saya tidak ikut-ikut lagi. Saya serahkan bagaimana Mas Reza dan Timnya UBN. Saya naik ke lantai tiga, menemui teman-teman Forum Peduli Bangsa (FPB) yang kebetulan malam itu juga sedang rapat.

Selanjutnya saya sudah tidak tahu apa yang terjadi. Sampai akhirnya terdengar teriakan-teriakan keras. Rupanya UBN sudah dikeluarkan dari hotel, disertai Polisi. Diiringi oleh teriakan orang-orang yang entah. Allahul Musta’an!

Oleh: Ustadz Abrar Rifai

(Sumber: orangramai.id)