OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 08 April 2020

Pabrik Tetap Buka, Wabup: Makan Buah Simalakama

Pabrik Tetap Buka, Wabup: Makan Buah Simalakama



10Berita – Di saat pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan di sek­tor pendidikan hingga PNS demi memutus rantai penye­baran virus corona (Co­vid-19), banyak perusahaan justru tetap beroperasi se­perti biasa atau dengan skema jam kerja terhadap karyawannya. Padahal, ri­siko terpapar virus di tempat kerja pun cukup tinggi.

Wakil Bupati (Wabup) Bo­gor, Iwan Setiawan, menga­ku sudah mendapatkan keluhan dari beberapa peru­sahaan terkait hal itu. Bahkan, ia menyebut kebijakan pemerintah menerapkan pembatasan di peru­sahaan bagaikan buah simala­kama. Sebab, jika melakukan penutupan dan berhenti beroperasi, maka pendapatan­nya akan berkurang. Namun jika tidak segera dilakukan kebijakan terhadap operasio­nal perusahaan, sangat mun­gkin berdampak secara kese­hatan bahkan bisa terjadi penularan secara masif. ­

”Seperti buah simalakama. Kalau berhenti kan mereka bilang ’mau makan apa? Ma­lah mereka minta order ke kita saking nggak bergeraknya. Untuk perusahaan bidang Alat Pelindung Diri (APD), bisa lah survive. Nah yang gerak di non-APD, pasti down ya selama masa darurat corona ini,” katanya kepada pewarta, Senin (6/4).

Jika harus menerapkan ke­bijakan menutup semua pe­rusahaan, sambung dia, tentu akan memperparah risiko dampak perekonomian. Namun dampak kesehatan secara masif bisa saja terjadi jika tidak ditutup. ”Makanya saya bilang buah simalakama. Buat saya secara pribadi, ya tetap operasi tapi harus ada pemeriksaan sesuai SOP kese­hatan. Itu paling bijak. Ter­masuk misalnya pengawasan dalam ruangan, itu kami se­rahkan dan jadi tanggung jawab mereka,” paparnya.


Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Burhanudin, mengakui pihaknya sulit menerapkan kebijakan penutupan peru­sahaan karena akan berdam­pak secara ekonomi bagi pengusaha dan karyawan. Baginya, tidak meliburkan karyawan dan melakukan skema protokol kesehatan di perusahaan lebih masuk akal ketimbang penutupan. ”Ya, ini memang tidak bisa, ka­rena ada istilah perusahaan kejar target, karyawan juga bilang ’mau makan apa’. Jadi yang penting ada social dis­tancing lah, karena penting supaya nggak tertular,” imbuh mantan camat Cariu itu.

Alasan ekonomi memang jadi salah satu tameng kebi­jakan penutupan perusahaan demi memutus rantai Co­vid-19. Pemkab Bogor se­perti ’sayang’ jika harus men­ghentikan segala kegiatan, dengan alasan memikirkan ekonomi masyarakat. Padahal, kebijakan penutupan justru bisa menyelamatkan eko­nomi masyarakat di tengah penyebaran wabah yang be­lum bisa terkontrol.

”Sudut pandang pemerintah salah dengan penyelamatan ekonomi dulu. Harusnya ka­rantina wilayah lebih utama untuk penyelamatan rakyat, dengan melokalisir penye­baran virus. Sehingga eko­nomi tidak terpuruk seperti ini,” kata Pengamat Ekonomi STIE Kesatuan, Syaifudin Zuhdi.

Ia pun berkaca pada keja­dian di China yang mengka­rantina wilayah Kota Wuhan dan negaranya, sampai Wuhan seperti kota mati. ”Ini harus­nya jadi contoh pemerintah. Dengan mengutamakan penyelamatan ekonomi tidak akan bisa menyelamatkan rakyat. Tapi sebaliknya, penyelamatan rakyat bisa berdampak pada penyelama­tan ekonomi,” tukasnya. (ryn/c/yok/py

Sumber: METROPOLITAN