KPK Diminta Selidiki Potensi Korupsi dalam Proyek Kartu Prakerja
10Berita,Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) meminta pihak Komisi Pemberantasan Korupsi segera melakukan penyelidikan atau setidaknya pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket) atas dugaan korupsi dalam proyek kartu prakerja. Apalagi anggaran tersebut menelan anggaran yang sangat besar, yakni sekitar Rp 5,6 triliun.
"Saya meminta KPK sudah memulai melakukan proses penyelidikan atau setidaknya pengumpulan bahan atau keterangan," kata Boyamin dalam keterangannya, Selasa, 5 Mei 2020.
Boyamin menjelaskan, permintaan itu disampaikannya sebab saat ini telah ada pembayaran secara lunas program pelatihan peserta kartu prakerja gelombang I dan gelombang II. Dengan demikian, jika ada dugaan korupsi, seperti mark-up, KPK dapat langsung bekerja.
"Setidak-tidaknya memulai pengumpulan bahan dan keterangan. Hal ini berbeda dengan permintaan Kami sebelumnya yang sebatas permintaan pencegahan dikarenakan belum ada pembayaran pelatihan kartu prakerja," kata Dia.
Boyamin sendiri mengaku telah memberikan keterangan tambahan disertai contoh kasus perkara lain dugaan penunjukan delapan mitra platform digital, yang diduga tidak sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam bentuk kerja sama kepada analis KPK.
Tanpa beauty contest
Boyamin menduga, penunjukan delapan mitra kerja sama pelatihan kartu prakerja tidak melalui beauty contest, tidak memenuhi persyaratan kualifikasi administrasi dan teknis.
"Karena sebelumnya tidak diumumkan syarat-syarat untuk menjadi mitra, sehingga penunjukan delapan mitra juga diduga melanggar ketentuan dalam bentuk persaingan usaha tidak sehat atau monopoli," ujarnya.
Selain itu, dengan biaya kisaran antara Rp200.000,- hingga Rp1.000.000, Boyamin menilai pelatihan yang diberikan oleh delapan mitra Kartu Prakerja juga terbilang mahal, jika didasarkan pada ongkos produksi materi dan dibandingkan dengan gaji guru atau dosen dalam melakukan proses belajar mengajar di kelas tatap muka. Bahkan, angka tersebut lebih mahal jika dibandingkan dengan pelatihan yang tersedia di youtube atau browsing yang praktiknya gratis dan hanya butuh kuota internet.
"Mestinya delapan mitra sudah mendapat untung dari sharing kuota internet," ujarnya.
Mengenai dugaan mark-up, Boyamin mengutip pendapat Peneliti Indef, Nailul Huda, yang menyebut delapan platform digital yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menyediakan pelatihan kartu prakerja berpotensi meraup untung sebesar Rp3,7 triliun.
Dengan pendapat tersebut, Boyamin menduga delapan mitra Kartu Prakerja mendapat untung sebesar 66 persen dari jumlah uang yang diterima mitra dari masing-masing biaya pelatihan kartu prakerja.
"Padahal, BPK atau BPKP memberikan batasan keuntungan 20 persen, sehingga terdapat dugaan pemahalan harga sekitar 46 persen. Meskipun demikian perkiraan keuntungan ini masih perlu dihitung secara cermat masing-masing mitra dikarenakan terdapat mitra yang memberikan diskon biaya pelatihan," ujarnya.
Diungkapkan Boyamin, pihak KPK telah berjanji menindaklanjuti sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
"Yang tentunya jika ditemukan indikasi , bukti dan unsur korupsi akan diproses sebagaimana mestinya dan jika tidak ditemukan maka akan dihentikan," kata Boyamin.
Konflik kepentingan
Senada, Indonesian Corruption Watch (ICW) pun mengatakan program Kartu Prakerja berpotensi korupsi. Itu melihat dasar penunjukan delapan platform yang menjadi mitra pemerintah dalam Program Kartu Prakerja.
"Delapan platform digital yang diberikan mandat oleh pemerintah ini nyatanya tidak melalui mekanisme atau prosedur terkait dengan pengadaan barang dan jasa," kata peneliti ICW Wanna Alamsyah, dalam sebuah diskusi yang digelar secara virtual, Senin kemarin.
Menurut dia, proses penunjukan platform mitra prakerja itu harus menggunakan mekanisme Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Namun, aturan itu dinilai telah dilangkahi.
"Yang mengakibatkan ini ada semacam konflik kepentingan," kata Wanna.
Wanna menjelaskan, potensi korupsi di sektor perencanaan seperti itu sudah sering terjadi. Untuk itu, ICW mendesak pemerintah mengevaluasi pelaksanaan Prgram Prakerja tersebut.
"Misalnya, bagaimana kemudian proses legislasi itu dilakukan secara tertib. Ini yang menjadi persoalan kita. Kalau kita berkaca dari sejumlah aturan, ini kan memang diberi kelonggaran karena adanya pandemi, jadi seluruh kementerian atau Pemda itu diberikan fleksibilitas untuk menggelontorkan sejumlah uang," ujarnya.
Di sisi lain, Wanna menambahkan, program Kartu Prakerja tidak efektif sebagai bantuan program bantuan sosial untuk menangani pandemi corona atau COVID-19. Hal ini lantaran, pemberi kerja tidak memberi atensi kepada warga yang sedang mencari kerja.
"Prakerja ini rasanya sia-sia diberikan kepada warga, karena ketika mereka lulus tidak ada wadah atau pemberi kerja karena kan situasinya sekarang sedang kerja di rumah. Dan ini juga menjadi kontraproduktif ketika kita lihat dari Rp3,5 juta yang diberikan itu kan Rp1 jutanya masuk ke platform digital itu," imbuhnya.[viva]