OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 25 Juni 2020

Ternyata KPK Sama Saja!

Ternyata KPK Sama Saja!




Ternyata KPK Sama Saja! 

Surat Ketua KPK perihal Kajian terhadap Program Kartu Prakerja yang ditujukan kepada Menko Perekonomian tertanggal 2 Juni 2020 dan sifatnya segera. Pimpinan KPK rilis pers 18 Juni 2020. Ujungnya adalah rekomendasi.

Poin krusial mengenai kerja sama dengan 8 platform digital hanya direkomendasikan oleh KPK agar Komite Cipta Kerja meminta legal opinion dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung, apakah termasuk pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah.

Selisih 16 hari antara surat dan konferensi pers saja sudah menunjukkan sinyal semua ini sudah dikondisikan. Terbukti tadi saya lihat di Mata Najwa (24/6/2020), Deputi Pencegahan KPK berkali-kali menegaskan itu rekomendasi, tidak memaksa, tidak ada sanksi.

Sebentar lagi akan kita lihat berita Jamdatun mengeluarkan legal opinion bahwa penunjukan platform digital bukan termasuk pengadaan barang dan jasa. Insentif Rp600 ribu akan dicairkan dan masyarakat senang. Kegiatan jual beli video pelatihan dengan alokasi Rp5,6 triliun jalan lagi.

LKPP, KPPU, dan KPK pada akhirnya sama saja: melegitimasi kegiatan jual beli video Rp5,6 triliun sebagai kegiatan yang sah secara hukum. Tak usah lagi dipersoalkan, toh masyarakat sudah senang karena Rp600 ribu cair.

Mohon maaf, sedari awal saya tidak pernah mau melayani pertanyaan mengapa insentif Rp600 ribu belum cair dan sejenisnya. Sebab, posisi saya jelas, mau semibansos atau fullbansos, yang namanya bantuan tunai tidak perlu mensyaratkan pembelian video pelatihan. Soal teknis, tanya saja ke CS Kartu Prakerja. (Para buzzer tolong lihat lagi TOR dari yang order, salah alamat kalau narasinya saya kritik karena insentif tidak cair. Ganti baru saja narasinya).

Saya juga tidak mau membicarakan teknis-teknis materi video yang ada di Youtube, lebih penting beras ketimbang pelatihan, kompetensi pelatih dan sejenisnya, bahkan apakah itu pengadaan barang dan jasa atau bukan.

Argumen saya jelas dari awal: jual beli video berpotensi korupsi dan merugikan keuangan negara. UU Tipikor menyatakan korupsi adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang/korporasi.

Harusnya KPK tekankan unsur-unsur korupsi itu—terutama pada aspek memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi. Bukan rekomendasi minta legal opinion Jamdatun. Ngapain!

Jadi tidak usah berharap banyak KPK akan melakukan aksi-aksi penyadapan, pemantauan rekening bank, tangkap tangan dan sebagainya terhadap aktor-aktor Prakerja yang biayanya triliunan ini.

Di sini penting bicara soal intensi (gagasan, maksud, tujuan yang melatarbelakangi suatu tindakan). Daya cium KPK tidak ke situ. Tidak melihat ada intensi korupsi dalam Kartu Prakerja. Jadi buat apa kita berharap mereka akan serius menguliti dalam perbuatan hukumnya?

Lantas apa intensi pemerintah dalam hal jual beli video pelatihan?

Tidak bisa dibantah Ketua Tim Perumusnya bilang sendiri bahwa platform digital dan lembaga pelatihan adalah penerima manfaat juga dan kegiatan jual beli video tidak dihitung sebagai pengadaan barang dan jasa. Bahasa terang saja bahwa “penerima manfaat” sama dengan “penerima uang”.

Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksananya jelas-jelas bilang begini: “Adanya konsep pelatihan berbayar adalah demi menjamin keberlanjutan dari sebuah ekosistem dunia usaha yang meliputi sarana pembayaran, pengelola pelatihan, dan penyedia jasa pelatihan, serta seluruh rantai usaha yang terlibat.”

Jadi kenapa duit Rp5,6 triliun itu dialokasikan adalah untuk menjamin supaya bisnis platform digital dkk ini tetap jalan. Indikator bisnis berjalan adalah cashflow (pemasukan). Mengapa sampai perlu dijamin begitu? Sederhana saja: mungkin bisnisnya lagi megap-megap juga—butuh disuntik dengan cara cantik dari negara.

Apa buktinya megap-megap?

Baru kemarin Gojek pecat 430 karyawan.

Tahun lalu pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengakui sendiri bahwa bisnis perusahaan teknologi (digitalnya) adalah bakar uang sebesar US$50 juta/bulan.

Itu sekadar contoh. Jika ada yang keberatan silakan rilis laba-rugi perusahaan via media, nyatakan profit berapa besar, laporkan ke pajak sebagai Pph. Jangan hanya rilis berita si A pendanaan serie apa, valuasi sekian triliun, dan sejenisnya. Itu menggoreng berita namanya, bagian dari upaya bandarmology.

Jadi jelasnya siapa yang dijamin keberlanjutan bisnisnya itu?

Ya, begini. Tujuan perusahaan adalah profit. Profit suatu perusahaan cuma dua jenis: 1) dividen (pemasukan-pengeluaran dari aktivitas usaha); 2) capital gain (selisih penjualan, misal ketika pengalihan saham).

50% dari 8 platform digital adalah penanaman modal asing (PMA) dengan pengendali adalah entitas asing. 2 perusahaan adalah PMDN. 1 BUMN. 1 Kemenaker.

Perusahaan-perusahaan terdiri dari berbagai investor/pemegang saham yang telah mengeluarkan modal terlebih dahulu dan berharap keuntungan dari bisnisnya. Mereka butuh exit (jalan keluar), apalagi skema usahanya berbasis venture capital. Mereka sudah beli di harga x, butuh jual di harga x plus.

Coba buktikan bahwa venture capitalist tidak berharap margin dari start up yang didanai kemudian melakukan exit (divestasi dll). Mereka kan lembaga bisnis bukan kementerian sosial.

Bagi saya semua ucapan pemerintah/manajemen pelaksana soal Prakerja yang ramai lagi di media massa belakangan ini adalah omong kosong selama tidak diumumkan secara rinci berapa juta/miliar yang diperoleh Ruangguru dkk masing-masing dari penjualan video, berapa persen komisi jasa yang dibagi kepada lembaga pelatihan apa saja berdasarkan perjanjian kerja sama, berapa pajak yang dibayar dari penghasilan itu, dan buat surat pernyataan rekening bank bersedia diperiksa debit-kreditnya oleh penegak hukum khusus untuk transaksi dari rekening Dana Prakerja untuk memastikan uang yang masuk bebas kickback ke penyelenggara negara dan pihak lain.

Silakan Anda cek sendiri seluruh berita sejak Kartu Prakerja diluncurkan 12 April 2020, tidak akan ada berita/pernyataan resmi pemerintah berapa rupiah yang didapat Ruangguru dkk itu dari hasil penjualan video. Tidak akan ada! Kenapa ditutup-tutupi?

Pimpinan KPK kan digaji negara, kenapa tidak terlihat intensi untuk menyelamatkan keuangan negara dengan tegas mengatakan alokasi Rp5,6 triliun untuk beli video pelatihan itu berpotensi korupsi berupa kickback/suap dan sejenisnya, merugikan keuangan negara (inefisiensi, tidak sebanding dengan harga pasar), memperkaya korporasi, sehingga skema itu harus dihentikan?

Di negara yang macam panggung sandiwara seperti Indonesia dan indeks korupsinya masih rawan, KPK seharusnya mengarah pada pertanyaan siapa sutradara dan aktor utama semua kegiatan yang berpotensi korupsi ini.

KPK yang kredibel dan profesional tidak akan berbangga hati dengan surat rekomendasi. Terlalu mahal negara menggaji kalau hanya begitu.

Salam 5,6 Triliun.

(Agustinus Edy Kristianto)
Surat Ketua KPK perihal Kajian terhadap Program Kartu Prakerja yang ditujukan kepada Menko Perekonomian tertanggal 2...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Rabu, 24 Juni 2020

Sumber http://www.portal-islam.id/