YLBHI: Jokowi Otoriter
10Berita, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai selama memimpin Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi otoriter. Pola kebijakan yang ditempuh selama kepemimpinan Jokowi juga menghambat kebebasan masyarakat sipil.
“Ada tiga pola kebijakan yang menandakan pemerintahan Joko Widodo otoriter. Ketiga pola itu, menghambat kebebasan sipil, mengabaikan hukum yang berlaku, dan berwatak represif serta mengedepankan pendekatan keamanan,” kata Ketua YLBHI Asfinawati, seperti dilansir VOA News, Senin(15/6).
Asfinawati menambahkan, YLBHI mencatat ada 27 kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter sejak 2014 sampai 2020. Salah satunya adalah peraturan pemerintah mengenai pengupahan yang bertentangan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan pada 2015.
“Juga Perppu Ormas yang akhirnya menjadi Undang-undang Ormas yang bisa membubarkan organisasi masyarakat tanpa pengadilan,” kata Asfinawati dalam diskusi online “Tanda-tanda Otoritarianisme Pemerintah”, Ahad (14/6).
Pemerintah Jokowi juga melemahkan partai oposisi dengan melawan putusan Mahkamah Agung, menggunakan pasal makar secara sembarangan oleh kepolisian, dan mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan.
“Pasal makar digunakan secara sembarangan oleh polisi,” katanya.
YLBHI juga menyoroti Dwi Fungsi ABRI. Asfinawati mengatakan, TAP MPR NO VI/2020 telah menyebut dwi fungsi ABRI menyebabkan penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri, yang mengakibatkan demokrasi tidak berkembang.
“Jadi setidak-tidaknya ada 30 MoU dengan berbagai kementerian. Dan itu tidak masuk akal. Misalnya, ada 8 kepala dinas pertanian menandatangani MoU upaya percepatan pelaksanaan cetak sawah bersama TNI pada 29 Maret 2019,” katanya.
YLBHI mendesak pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai hukum dan tidak mengeluarkan kebijakan serupa pada masa mendatang. Selain itu, ia meminta DPR menjalankan fungsi pemerintahan sesuai fungsi dan tugasnya.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyebut kebijakan-kebijakan yang otoriter terjadi di antaranya yaitu dwi fungsi aparat dan kriminalisasi warga yang mengkritik pemerintah.
“Ada Undang-undang Ormas, UU Terorisme, UU ITE dan politisasi Polri, dan akhir-akhir ini TNI. (Itu) Berarti pengulangan era orde baru. Kalau dulu TNI sudah berhasil dibersihkan dari dwi fungsi. Sekarang multifungsi dilakukan Polri,” kata Busyro.
Busyro mengusulkan masyarakat sipil memperkuat kerja sama antar organisasi, dan mendorong perubahan Undang-undang yang berpotensi melahirkan pemimpin yang otoriter. [gelora]