10Berita – Dalam dua hari ini Media Sosial WAG dipenuhi dengan diskusi, saling komentar, saling memberikan dalil membaca hasil putusan MA no 44 P/HUM/2019 tentang Pilpres 2019 yang lalu. Pendukung MK dan lembaga-2 koalisinya tentu memberi dalil yang intinya membaca pasal dan ayat2 konstitusi itu disebut “komulatif” (istilah anggota KPU). Intinya putusan MK final dan mengikat. Perpspektif Ilmu hukum membaca pasal pamungkas tersebut.
Bagaimana membaca konstitusi dan pilpres dalam perpektif Ilmu Politik itu?
Persyaratan bagi seorang presiden dapat dilantik dari hasil pemilu bila sesuai dengan pasal 6 A (lihat/baca UUD 1945 yang sudah diamandemen). Kenapa MK waktu itu tidak memutuskan dibuatkan putaran kedua karena belum memenuhi persyaratan menjadi Presiden? Pasal tersebut tidak berbicara tentang jumlah calon, akan tetapi ambang batas perolehan suara kandidat untuk dapat dilantik sesuai dengan bunyi pasal di dalam konstitusi. Bila tidak memenuhi syarakt tersebut seharusnya dilakukan pemilu ulang. Itu konsekwensi dari pemilu langsung.
Di sini logika kualitatif tidak bisa diubah menjadi logika kuantitatif. Misalnya, KPU secara sengaja tidak melaksanakan pilpres di 2 kecamatan, bahkan diaminkan oleh putusan MK dengan dalil tidak akan mengubah hasil pemilu. Namun dalil Ilmu Politik berbicara lain, bahwa ada hak konstitusi warga negara yang secara sengaja dihilangkan oleh KPU dan MK misalnya untuk menentukan pemimpinnya. Hal itu berarti sudah melanggar konstitusi. Hasil pemilunya bisa tidak legitimate.
Sumber: Eramuslim