Rizal Ramli: Demokrasi Kita Itu Kriminal, Kerja Bukan Buat Rakyat Tapi Bandar
10Berita - Ada pergeseran makna demokrasi dalam setiap pergantian pemimpin negara di Indonesia.
Bahkan menurut mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman era Joko Widodo, Rizal Ramli, demokrasi saat ini sudah melenceng jauh dari makna sesungguhnya.
"Setelah kejatuhan Soeharto hanya jadi demokrasi prosedural. Lama-lama jadi demokrasi kriminal," ujar Rizal Ramli dalam Chanel YouTube Karni Ilyas bertajuk Karni Ilyas Club - Rizal Ramli 'Pak Jokowi Lebih Dengar Saya', Jumat (23/10).
Ia mengatakan, demokrasi dianggap kriminal karena demokrasi sudah tidak bekerja untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
"Tapi bekerja untuk bandar-bandar yang membiayai calon. Jadi yang milih kandidat itu bandar, si calon Gubernur Bupati abis itu dia bantu biaya surveinya, biaya PR-nya. Begitu yang bersangkutan terpilih, dia ngabdi sama bandarnya, bukan sama kepentingan nasional maupun rakyat biasa," jelas RR.
Kondisi tersebutlah yang diakui RR lebih memilih mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Supaya threshold yang jadi sekrup pemerasan dari sistem demokrasi kriminal ini dihapuskan," kata RR.
Ia pun merujuk perpolitikan dunia, yang mana sudah ada sekitar 48 negara yang tak lagi menganut sistem ambang batas. Sedangkan di Indonesia, kata RR, masih menggunakan cara lama dan sudah ketinggalan.
"Kita nih norak dan ketinggalan. Kalau mau jadi Bupati, mesti (mengeluarkan) Rp 60 miliar, jadi Gubernur di Pulau Jawa bisa minimum Rp 300 (miliar) bahkan Rp 1 triliun, inilah yang merusak. Jadi presiden lebih gila lagi, biaya partainya aja bisa hampir berapa triliun itu," pungkas RR. [rmol]